New York | Lintas Gayo – Presiden Liga Inong Acheh (LINA) Shadia Marhaban menjadi satu-satunya perwakilan Indonesia yang berpidato di Pertemuan Dewan Keamanan PBB dalam Hari Perempuan Internasional, Kamis (8/3) di New York, Amerika Serikat. Shadia menjadi satu dari tiga orang yang diberi kesempatan untuk memberikan rekomendasi bagi Dewan Keamanan PBB terkait promosi hak-hak perempuan se-dunia.
Kegiatan yang dinamakan Pertemuan Formula Arria di New York tersebut merupakan pertemuan antara para anggota Dewan Keamanan PBB dan ahli dalam isu tertentu, untuk membahas upaya partisipasi perempuan yang lebih besar dalam mediasi dan resolusi konflik. Pertemuan ini mengundang tiga tokoh untuk berpidato, yaitu Betty Atuku Bigombe, Menteri Negara Sumber Daya Air dari Uganda, Jamal Benomar, Penasihat Khusus Sekertaris Jendral untuk Yaman, dan Shadia Marhaban, Presiden Liga Inong Acheh (LINA) dari Indonesia.
Dalam pidatonya Shadia mengungkapkan, proses perdamaian di Aceh merupakan model dunia untuk resolusi konflik. Namun, sebagaimana terjadi di banyak wilayah konflik, isu perempuan termarjinalkan dari pembahasan. Oleh karena itu, perdamaian tidak hanya tentang mengakhiri kekerasan dan menghancurkan senjata, tetapi juga membangun masyarakat yang lebih baik dimana hak-hak semua orang terlindungi, termasuk pengakuan atas peran perempuan.
Shadia juga menyayangkan kurangnya komitmen pihak yang bertikai terhadap pemenuhan aspek keadilan yang terlihat dari belum terlaksananya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Ketika proses perdamaian hanya fokus pada pelaku dan bukan para pembangun perdamaian, serta mengabaikan keberagaman sosial, maka hal ini dapat berdampak buruk bagi hak-hak perempuan.
Dengan menekankan Resolusi 1325 DK PBB tentang perempuan, perdamaian dan kekerasan, peran perempuan harus diperluas melampaui dinding isu gender. Perempuan harus didukung kapasitasnya dalam proses transisi politik pascakonflik. Upaya ini bisa dilakukan dengan dukungan organisasi perempuan dan membangun jaringan dengan lembaga yang relevan baik di tingkat regional maupun internasional.
Menyoal pengalaman Aceh, Shadia menutup pidato dengan menyimpulkan bahwa proses perdamaian bukanlah untuk mengakomodir semua tuntutan para pihak, melainkan mencari kompromi seimbang antarpihak yang tidak mengabaikan hak-hak rakyat. Hal itu hanya bisa dilakukan dengan sikap inklusif, sehingga memberikan martabat bagi solusi perdamaian.
LINA adalah lembaga perempuan yang berdiri sejak tahun 2006 dan memperjuangkan pemberdayaan sosial politik bagi perempuan dan kelompok masyarakat sipil generasi muda di Aceh. Setelah menjadi satu-satunya negosiator perempuan dalam perundingan damai di Helsinki tahun 2005 lalu, saat ini Shadia Marhaban juga menjabat Executive Board Asia Pacific Forum dan peneliti di Weatherhead Center for International Affairs, Universitas Harvard, AS.(SP/zf hulwah)