Oleh : Nia Sutiara Kroenert
Sejak ratusan tahun lampau, koleksi benda-benda suku Gayo dan Alas dibawa dan dikumpulkan di Museum Etnologi Munich. Kini, museum tersebut dikenal sebagai museum yang memiliki koleksi benda-benda kebudayaan suku Gayo dan Alas terlengkap di dunia.
Sejak ratusan tahun lampau, koleksi benda-benda suku Gayo dan Alas dibawa dan dikumpulkan di Museum Etnologi Munich. Kini, museum tersebut dikenal sebagai museum yang memiliki koleksi benda-benda kebudayaan suku Gayo dan Alas terlengkap di dunia. Museum Etnologi Munich yang terletak di jalan Maximillianstrasse ini, adalah Museum Etnologi kedua terbesar di Jerman, setelah museum serupa yang berada di kota Berlin. Sesuai dengan namanya, museum ini merupakan tempat dikumpulkannya berbagai koleksi kebudayaan yang berasal dari berbagai etnik dari seluruh dunia, termasuk dari Indonesia. Pada mulanya, berbagai koleksi yang ada di museum ini merupakan harta karun dari raja-raja Bavaria, Jerman Selatan. Harta karun itu sebagian besar merupakan pemberian hadiah dari para bangsawan Eropa yang baru pulang dari melanglang buana.
Pada tahun 1856, didirikanlah Museum Etnologi atau Staatliches Museum für Volkerkunde. Akan tetapi baru pada tahun 1926, museum ini benar-benar berfungsi sebagai Museum Etnologi. Berbagai koleksi yang istimewa dibawa sendiri oleh pada kolektor benda-benda kebudayaan dari berbagai penjuru dunia ke museum yang megah ini, diantaranya, koleksi milik James Cook, penemu kepulauan Cook di Australia, atau pun koleksi benda-benda kebudayaan yang dikumpulkan dari penjelajahan ke Alaska, Siberia, hingga ke negara-negara di Pasifik Selatan dan Rusia. Koleksi benda-benda kebudayaan dari hutan Amazon, misalnya, dibawa oleh dua ilmuwan Muenchen bernama Spix dan Martius, atau kekayaan kebudayaan dari Himalaya dibawa oleh petualang Schlagintweut bersaudara. Sedangkan kekayaan budaya dari Amerika Selatan dikumpulkan dan dibawa oleh Putri Theresia dari Bavaria. Koleksi di museum itu pun sedikit demi sedikit diperkaya oleh berbagai sumbangan para kolektor, entah itu koleksi dari para bangsawan Eropa seperti dari Maximilian von Leuchtenberg, misalnya, atau pun dari para ahli etnologi dari seluruh penjuru dunia. Hingga hari ini, tercatat kalau koleksi di Museum Etnologi Muenchen ini telah mencapai sekitar 300 0000 obyek yang meliputi berbagai koleksi dari Afrika, dari Amerika Selatan dan Amerika Tengah, serta dari Asia Tenggara dan Asia Selatan.
Tidak banyak yang mengetahui, Museum Etnologi Munich ini juga memiliki koleksi kebudayaan dari suku Aceh dan Batak yang paling lengkap di dunia. Beberapa koleksi bahkan sudah berusia ratusan tahun dan sudah tidak bisa lagi ditemukan di tempat asalnya. Koleksi benda-benda kebudayaan dari Indonesia ini dibawa sekitar 130 tahun lampau, dan merupakan hadiah dari seorang bangsawan Belanda bernama Chevalier de Grez, yang dipersembahkan kepada raja Ludwig II yang berkuasa pada waktu itu. Di Jerman, museum ini dikenal sebagai tempat dikumpulkannya koleksi kebudayaaan Aceh dan Batak, khususnya kebudayaan suku Alas dan Gayo, meski terdapat juga beberapa koleksi dari kebudayaan Jawa Barat. Menurut keterangan Profesor Akifura Iwabuchi, seorang ahli etnologi Jepang yang menspesialisasikan penelitiannya kepada kebudayaan Alas dan Gayo, barang-barang dari suku Alas dan Gayo itu dibawa oleh seorang ahli ilmu bumi Jerman bernama Prof. Wilhelm Volz. Volz yang telah menjelajahi berbagai sudut di Sumatera Utara, khususnya di daerah Batak dan Aceh ini, kemudian mengumpulkan benda-benda kebudayaan seperti peralatan perang tradisional, perhiasan, dan peralatan dapur milik suku Alas dan Gayo. Benda-benda itu sangat tinggi nilainya, karena, menurut profesor Iwabuchi, pada masa sekarang sudah tidak dapat ditemukan lagi di tempat asalnya. „Kalau kita sekarang pergi ke daerahnya, kita tidak bisa lagi menemukan barang-barang serupa itu lagi. Sebab, selama seratus tahun ini, kebudayaan di sana sudah berubah“ kata profesor yang bekerja di Museum Etnologi Munich,“Di Indonesia, ada banyak suku-suku kecil seperti suku Alas dan Gayo yang belum dilaporkan panjang lebar oleh peneliti kebudayaan, sebelum kebudayaannya menghilang, kami, para ahli antropologi, harus mencatat kebudayaan-kebudayaan tersebut, yang nantinya berguna bukan hanya bagi masyarakat Indonesia saja, tetapi juga bagi masyarakat dunia“
Selain koleksi dari suku-suku Alas dan Gayo yang amat langka itu, Museum Etnologi Munich juga tercatat memiliki koleksi kebudayaan dari kepulauan Enggano, yang terletak di propinsi Bengkulu. Ada sekitar sepuluh benda-benda kebudayaan milik suku Enggano, berupa tombak tradisional, topi yang terbuat dari rambut babi, dan sebagainya. Sayang sekali, koleksi dari Indonesia itu disimpan di dalam gudang bawah tanah Museum Etnologi dan pengungjung dilarang melihat atau memotretnya. Barang-barang langka itu baru bisa dinikmati jika memang sedang dipamerkan. Museum Etnologi Munich memang menyelenggarakan pameran benda-benda bersejarah secara berkala, dengan tema sesuai negara asal benda-benda tersebut. Giliran kebudayaan Indonesia, yang diwakili oleh kebudayaan suku Gayo, Alas dan Enggano ini, baru akan dikeluarkan pada beberapa tahun mendatang. Bagaimana pun setelah mendengar bahwa benda-benda berharga bersejarah itu tersimpan rapi di Museum Etnologi Munich, kita dapat menarik nafas lega. Setidaknya, ada warisan nenek moyang kita yang tidak dilupakan dan tidak punah. (- Majalah Dewi Edisi Mei 2002.)