Demokrasi Tanpa Diskriminasi di Aceh

Sabela Gayo*)

OBJEKTIF

Demokrasi merupakan kata yang berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari 2 suku kata yaitu demos dan kratos. Demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan. Sehingga secara harfiah demokrasi diartikan sebagai sebuah pemerintahan rakyat. Demokrasi pertama kali berkembang di sebuah kota kecil yunani yang bernama Sparta dan Athena. Dimana masyarakatnya meletakkan sistem demokrasi langsung yang melibatkan seluruh warga kota Athena dan Sparta dalam memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di legislatif dan eksekutif.

Konon, masyarakat Sparta dan Athena hidup dalam sebuah kota yang disekelilingnya berdiri tembok yang menjadi pembatas antara kekuasaan Athena dan Sparta dengan dunia luar.

Kehidupan kota yang seperti itu memberikan kesempatan kepada masyarakat warga kota Athena dan Sparta untuk memilih langsung para pemimpin dan wakil-wakilnya. Dan mempraktekkan sistem demokrasi langsung pertama di dunia.

JENIS DEMOKRASI

1. Demokrasi Langsung (Direct Democracy).

Demokrasi langsung diterapkan dalam rangka memenuhi keadilan masyarakat terhadap seorang pemimpin yang benar-benar diharapkan oleh rakyat. Demokrasi langsung kembali mulai dipraktekkan di Indonesia pasca reformasi, hal ini bisa kita lihat baik dalam proses pemilihan Bupati/Walikota, Gubernur/Wakil Gubernur bahkan Presiden/Wakil Presiden. Keinginan masyarakat yang begitu kuat untuk melaksanakan konsep demokrasi langsung merupakan hal yang masuk akal. Karena sudah sedemikian lama, masyarakat hanya menjadi penonton dalam demokrasi dimana para pemimpin-pemimpinnya dipilih oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat II. Dewan Perwakilan Rakyat tingkat I, dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Dalam pelaksanaan demokrasi langsung faktor-faktor kedekatan masyarakat secara etnisitas, agama, dan kekeluargaan menjadi tidak terelakkan karena dalam konsep demokrasi berlaku suatu adagium “vok populi vox dei” (Suara Rakyat adalah Suara Tuhan), sehingga masing-masing kubu berusaha mengumpulkan massa pendukung sebanyak mungkin dengan tujuan menraih kemenangan. Jika kita menelaah secara lebih mendalam proses demokrasi langsung di Aceh dimana Gubernur/Wakil Gubernur dipilih langsung oleh rakyat maka sekat-sekat kelompok minoritas dan mayoritas akan semakin terbuka. Kelompok masyarakat yang mayoritas tentu tidak akan mau bahkan hampir tidak mungkin untuk menyerahkan kekuasaan kepada kelompok minoritas. Hal itu disebabkan karena kelompok mayoritas sudah sangat diuntungkan secara ekonomi, politis dan sosial-budaya dengan kekuasaan yang selama ini telah dipegangnya. Seandainya masyarakat Gayo ingin menjadi Gubernur di Propinsi Aceh, maka masyarakat Gayo harus melihat sejarah panjang Amerika Serikat dimana di sebuah Negara yang menganut asas demokrasi dan persamaan hak bagi semua warga negaranya pun berlaku hukum diskriminasi antara kelompok minoritas dan mayoritas berdasarkan warna kulit. Sama halnya dengan kondisi di Aceh sekarang ini yang juga berlaku hukum diskriminasi antara kelompok mayoritas dan minoritas berdasarkan perbedaan bahasa dan budaya. kalau kita mau buat hitung-hitungan secara matematis maka tidak akan mungkin bagi orang Gayo untuk menduduki posisi Gubernur Aceh dalam setiap proses pemilihan langsung Gubernur/Wakil Gubernur Aceh. Ketika seorang anak Gayo lahir ke dunia, dia tidak akan pernah bermimpi dan bahkan tidak akan mungkin mempunyai cita-cita ingin menjadi Gubernur Aceh karena adanya mitos hukum diskriminasi antara kelompok mayoritas dan minoritas.

Amerika Serikat sudah memproklamirkan kemerdekaannya sekitar tahun 1776. pada proses perjalanan panjang kemerdekaannya di Negara sebesar Amerika Serikat yang dianggap sebagai kiblat demokrasi dunia pun berlaku hukum mayoritas dan minoritas berdasarkan warna kulit. Dan mitos hukum diskriminasi antara kelompok mayoritas dan minoritas itu baru runtuh setalah Barrack Obama, seorang calon presiden kulit hitam pertama terpilih sebagai Presiden AS pada tahun 2008 yang lalu. Kalau kita menghitung mundur dari 2008 ke 1776 maka dibutuhkan waktu sekitar 234 tahun bagi Amerika Serikat untuk menghancurkan mitos diskriminasi antara mayoritas dan minoritas berdaasrkan warna kulit. Kalau kita melihat kembali ke Aceh, apakah Aceh juga bisa menghancurkan mitos hukum diskriminasi tersebut dalam waktu 234 tahun seperti apa yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat? Atau apakah mungkin bisa lebih cepat dari itu?, apakah orang Gayo mau dan sanggup menunggu 234 tahun lagi untuk bisa menduduki posisi sebagai Gubernur Aceh melalui sebuah proses pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur langsung? Kalaupun mau dan sanggup, tetapi harus dicatat bahwa Amerika Serikat mampu menghancurkan mitos hukum diskriminasinya dalam jangka waktu 234 tahun karena tingkat pemahaman masyarakatnya terhadap nilai-nilai demokrasi sudah sedemikian tinggi, rasa toleransi antar sesama kelompok begitu kuat, nilai-nilai objektifitas dan ilmiah pun selalu dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Semua pilihan kembali kepada masyarakat Gayo itu sendiri, terserah mau memilih yang mana, karena sesungguhnya hidup ini adalah pilihan. Tetapi yang perlu di garis bawahi adalah Gayo bukan bangsa “budak” yang harus selalu berada “dibawah” dan menjadi “pengikut”, melainkan Gayo adalah keturunan dari bangsa “penguasa”, hal ini terlukis dalam sejarah Aceh dimana banyak keturunan Reje Linge menjadi Raja di seluruh pelosok Aceh. Marwah sebagai bangsa “penguasa” inilah yang harus selalu tertanam di dalam setiap jiwa orang Gayo, dimanapun, kapanpun dan dalam keadaan apapun dan hal itu tidak boleh lekang oleh waktu.

2. Demokrasi Perwakilan (Representative Democracy).

Sebelum diamandemennya UUD 1945, Indonesia adalah salah satu Negara yang menganut asas demokrasi perwakilan, dimana para pemimpin eksekutifnya di masing-masing tingkatan, dipilih oleh anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Tingkat I, dan Dewan Perwakilan Rakyat Tingkat II. Ternyata, pada kenyataanya sistem demokrasi perwakilan menimbulkan berbagai ketidakpercayaan publik terhadap independensi dan objektifitas para wakil rakyat dalam memilih seorang calon pemimpin. Dalam setiap proses pilihan, para wakil rakyat terkooptasi oleh kepentingan pribadi dan kelompoknya. Dan cenderung berpikir praktis dengan melakukan kesepakatan-kesepakatan politik dengan imbalan. Sehingga sistem demokrasi perwakilan dirombak total pasca reformasi yang ditandai dengan amandemen-amandemen UUD 1945. selangkah lebih maju bagi Indonesia, yang telah merubah sistem pemilihan eksekutif dari sistem tidak langsung ke sistem langsung. Walaupun masih ada beberapa elit politik partai hasil pemilu 2009, yang ingin setback (mundur ke belakang) dengan mengeluarkan ide untuk kembali memilih para calon pejabat eksekuti kabupaten/kota, propinsi dan presiden dengan menggunakan sistem tidak langsung. Alasannya kurang masuk akal, yaitu untuk menghemat biaya dan mengurangi konflik antar sesama pendukung calon. Jika kita berkaca pada ucapan Warren Buffett,”Butuh waktu 20 untuk membangun reputasi dan lima menit untuk menghancurkannya. Jika Anda memikirkan hal itu, anda akan melakukan sesuatu dengan cara yang berbeda”. Kalau kita cermati secara lebih dalam, kita butuh waktu bertahun-tahun bahkan melalui demonstrasi mahasiswa yang sempat menimbulkan korban jiwa dalam memperjuangkan dan merubah sistem demokrasi sehingga seperti pada keadaan sekarang ini. Kemudian dengan serta merta para penguasa sekarang mau mengembalikannya pada situasi semula sebelum adanya perubahan?. Yakinlah, bahwa rakyat akan bertindak dalam mengkritisi setiap kebijakan-kebijakan yang tidak populis.

DEMOKRATISASI RAKYAT GAYO

Rakyat Gayo sebenarnya memiliki sistem demokrasi yang hampir sempurna, dimana jauh sebelum pihak barat mengekspor ideologi demokratisasi ke Negara-negara dunia ketiga, tanoh Gayo beserta rakyatnya sudah mengenal demokrasi. Bahkan sifat demokrasi rakyat Gayo sama dengan demokrasi yang dipraktekkan oleh masyarakat kota Sparta dan Athena pada masa itu yaitu demokrasi langsung. Sehingga seorang petualang Eropa yang bernama Marcopolo, pernah mencatat dalam buku harian sewaktu ia melakukan perjalanan ke Sumatra, dalam catatannya ia menyebutkan bahwa “ada sekelompok masyarakat yang tinggal di tengah-tengah hutan belantera Sumatra yang memiliki adat budaya serta tatanan kehidupan yang hampir sama dengan tatanan hidup masyarakat Eropa pada masa itu”. Hal ini menunjukkan bahwa kejayaan dan kemuliaan struktur adat dan budaya serta sifat demokratisasi sistem kehidupan masyarakat Gayo sudah diakui oleh bangsa luar jauh sebelum berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam dan diproklamirkannya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tetapi mengapa hari ini rakyat Gayo sendiri sudah mulai melupakan bahkan meninggalkan warisan nenek moyangnya yang demikian mulia dan telah diakui oleh bangsa asing?, tidak akan pernah ada bangsa atau masyarakat yang besar jika bangsa atau masyarakat tersebut tidak mau meghargai jerih payah dan jasa para pendahulunya. Jika rakyat Gayo mau sedetik saja merenungkan sebait kata-kata tersebut maka kemungkinan kebangkitan kembali kejayaan dan kemuliaan rakyat Gayo sudah menanti di depan mata. Tetapi jika rakyat Gayo tetap mau dan betah dengan kondisi serba kekurangan dan kesulitan seperti sekarang ini maka itu adalah suatu pilihan hidup yang setiap orang berhak untuk memilih jalan hidupnya masing-masing. Yang ia anggap itu adalah yang terbaik baginya. Bukankah Al-Quran sudah menyampaikan pesannya kepada kita bahwa apa yang kita lakukan salama di dunia ini akan dimintai pertanggung jawabnnya kelak di akhirat.

Rakyat Gayo harus berani menatap dunia dengan kepercayaan diri dan kebanggaan terhadap kemuliaan dan kebesaran sejarahnya yang luar biasa. Hal itu harus dibuktikan dengan tindakan nyata yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Unsur-unsur yang terkandung di dalam struktur pemerintahan adat SARAKOPAT yang terdiri dari:
1. Reje Musungket Sipet,
2. Imem Muperlu Sunet,
3. Petue Musidik Sasat,
4. Rayat Genap Mupakat,

Merupakan sebuah konsep luar biasa dan nyaris sempurna serta memberikan sumbangsih pemikiran yang berharga bagi perkembangan konsep demokrasi dalam konteks kekinian. Seharusnya, bukan rakyat Gayo yang belajar demokrasi ke Negara-negara Eropa dan Amerika tetapi sebaliknya merekalah yang harus belajar Demokrasi ke Tanoh Gayo. Karena jauh sebelum Negara-negara Eropa modern dan Amerika berdiri atas nama demokrasi, Tanoh Gayo sudah lebih dahulu mempraktekkan sistem demokrasi langsung sebagaimana yang dilukiskan oleh John Locke.

Emmanuel Kant seorang filsuf dan ahli hukum terkenal berkebangsaan Jerman, dalam pemikiran kritisnya yang disebut enlightenment (pencerahan) mengatakan bahwa orang-orang yang tercerahkan adalah orang-orang yang mampu keluar dari ketidakmapanan yang ia ciptakan sendiri. Menurutnya, ketidakmapanan itu bukan disebabkan oleh orang lain dan juga bukan karena pengaruh kekuatan asing yang mempengaruhi kehidupan suatu kelompok masyarakat, melainkan menurutnya ketidakmapanan itu diciptakan sendiri oleh orang atau kelompok masyarakat itu sendiri.

Kalau kita mau instropeksi diri dan merenungi sebentar saja apa yang pernah dikatakan oleh Emmanuel Kant itu, maka kita mungkin akan menemukan setitik ilham, apakah benar yang disampaikan oleh Emmanuel Kant itu atau tidak?, apakah ada bentuk-bentuk ketidakmapanan sepertin yang dikatakan Emmanuel Kant, yang selama ini terjadi bahkan sampai hari ini masih berlangsung di tengah-tengah masyarakat kita?, kalau memang ada bentuk-bentuk ketidakmapanan tersebut, dan masih terjadi sampai hari ini maka kita harus segera membuangnya jauh-jauh agar kita mampu meraih kemapanan hidup yang kita cita-citakan.

Bangsa Jepang mempunyai suatu budaya kerja yang mapan yang disebut kaizen, kaizen adalah sebuah konsep manajemen yang berorientasi pada proses, hal ini ditandai dengan dilakukannya perbaikan dan pembenahan secara terus-menerus dan menyeluruh terhadap suatu pekerjaaan. Konsep budaya kaizen ini sangat berbeda dengan konsep manajemen barat yang berorientasi pada hasil. Di dalam pemikiran masyarakat Jepang, proses untuk mecapai hasil adalah lebih penting daripada hasil itu sendiri. Kalau prosesnya dilakukan dengan benar maka pasti hasilnya juga benar. Demikian juga sebaliknya. Tetapi pada masyarakat barat, proses tidak begitu penting, yang penting bagi mereka adalah bagaimana memperoleh hasil sebagai akibat dari perencanan yang dilakukan.

Demokrasi yang tanpa diskriminasi dan bebas dari faktor-faktor perbedaan etnisitas, agama, warna kulit, bahasa dan budaya merupakan dambaan dari setiap kelompok masyarakat. Sebenarnya, adalah sebuah keniscayaan membangun pondasi demokrasi tanpa sekat-sekat etnis, agama, warna kulit, budaya dan bahasa. Apalagi masyarakat kita adalah masyarakat timur yang tumbuh dari sebuah masyarakat dengan paham komunal (kebersamaan) yang sangat erbeda dengan situasi masyarakat barat yang tumbuh dari paham individualisme. Semoga cita-cita demokrasi bagi adanya persamaan hak dapat terwujud di bumi Merah Johansyah Al-Kharar (Aceh) ini.

*) Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Pemuda Gayo (PP IPEGA) dan Direktur Eksekutif Biro Bantuan Hukum-Sentral Keadilan (BBH-SK) Banda Aceh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.