DUA tesa penulis di atas adalah kesimpulan tidak langsung dari kajian teoritis penulis. Saat ini penulis sedang merampungkan tesis S2 Ilmu Hukum, kebetulan penulis mengambil konsentrasi hukum tata negara, karena itu teori-teori yang terkait seperti negara hukum, pembagian kekuasaan, kewenangan, organ, fungsi, dan sebagainya; bisa dikatakan sedang berseliweran di kepala penulis. Karena yang sedang dikumpulkan itu hakikatnya adalah pisau-pisau analisis, maka kadang-kadang penulis menghubungkan konsep-konsep itu dengan fakta empiris di bidang ketatanegaraan kita saat ini. Akhirnya muncullah tesa-tesa ”liar” dan ”radikal” seperti judul di atas.
Selanjutnya, apa yang dituliskan di bawah ini adalah hasil diskusi penulis dengan beberapa rekan di jejaring sosial “Facebook”, dimana penulis melontarkan gagasan-gagasan liar ini dan mendapat sambutan yang cukup hangat dari rekan-rekan atau komunitas FB. Sebagian dari gagasan-gagasan tersebut adalah seputar penting tidaknya DPRD (parlemen daerah) dan partai dalam sistem ketatanegaraan kita saat ini; yang menurut penulis keduanya sudah tidak perlu lagi dan sudah saatnya di-delete dari sistem ketatanegaraan kita. Alasan untuk kedua statemen atau tesa tersebut masing-masing penulis paparkan dalam dua paragraf panjang berikut ini.
Untuk mewakili dan menyuarakan aspirasi masyarakat daerah sudah ada DPR dan DPD, tinggal cantolkan saja atau tambahkan saja fungsi pengawasan pada mereka. Lagipula seperti yang pernah penulis katakan, untuk mengawasi potensi pelanggaran kepala daerah, sudah ada pengawasan Internal (inspektorat Depdagri dan Inspektorat Daerah); lembaga pengawas eksternal lebih banyak lagi: ada BPKP, BPK, kalau sudah ada indikasi korupsi: maka sudah ada Kepolisian, Kejaksaan, KPK, bahkan kalau perlu lebih baik diaudit oleh auditor independen, biar lebih bisa dipertanggungjawabkan. Singkatnya, saya tidak menemukan fungsi pengawasan apa-apa dari DPRD.
Cobalah kita berkaca dari kasus retaknya hubungan kepala daerah dengan DPRD di Aceh Barat Daya, Aceh Barat, Aceh Utara dan di DPR Aceh sendiri, semuanya sangat mengganggu kelancaran tugas kepala daerah. Kepala Daerah nggak datang dengar pendapat saja DPR-nya tersinggung jadi, kepala daerah habis waktunya melayani mereka belum lagi jika para anggota DPRD itu punya perusahaan atau koneksi dengan pengusaha atau kontraktor. Akibatnya bisa merambah ke proses pengesahan APBD yang berlarut-larut hanya mencocokkan keinginan-keinginan yang berbeda banyak program yang diajukan dinas/badan yang dicoret di DPRD karena tidak sesuai dengan “selera” mereka, padahal program itu sudah disusun di SKPD masing-masing belum lagi saat ini ada istilah dana aspirasi setiap anggota Dewan yang jumlahnya milyaran untuk satu orang kalau seluruh Indonesia ada dana aspirasi maka negara harus menyediakan trilyunan.MasyaAllah, padahal kalau BBM nggak dinaikkan saja maka semua penduduk Indonesia bisa menikmatinya singkatnya, banyak anggaran negara hanya diboroskan untuk membelanjai lembaga-lembaga yang sebetulnya tidak perlu sama sekali. Fungsi perencanaan DPRD bisa dijalankan oleh Bappeda yang terbukti jauh lebih kompeten daripada anggota DPRD. Fungsi legislasi apalagi, bisa dimainkan oleh Biro Hukum atau Fakultas Hukum, sebab selama inipun DPRD hanya numpang kop dan cap pada setiap draft qanun.
Penulis juga sudah sampai kepada hipotesa (kesimpulan sementara) bahwa saat ini kita tidak butuh lagi yang namanya Partai Politik sebagai kenderaan untuk menyalurkan aspirasi atau mau jadi pemimpin. Konsep calon independen seharusnya men-delete konsep partai dari sistem ketatanegaraan dan sistem demokrasi kita. Kita harus sadar, semua masalah korupsi besar di Indonesia saat ini karena ulah orang partai. Centurygate, Wismaatletgate, dan gate-gate lainnya sangat berbau keterlibatan partai yang sangat menyengat.
Peran partai politik, untuk saat ini sudah bisa digantikan dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan yang lain, yang lebih representative mewakili komunitasnya, misalnya organisasi keagamaan, organisasi profesi, organisasi kepemudaan, organisasi olahraga, organisasi musik, organisasi buruh, dan sebagainya. Semua organisasi ini memiliki anggota yang jelas sesuai karakter organisasinya. Dari semua organisasi itu, yang paling layak untuk menggantikan peran partai adalah organisasi profesi. Segala profesi dapat dibentuk organisasinya, dari organisasi insinyur sampai tukang sayur bisa dibuat organisasinya. Organisasi profesi akan mengumpulkan orang berdasarkan kepentingan yang nyata, misalnya persatuan guru republik indonesia (PGRI) yang akan berjuang untuk kesejahteraan guru, Persatuan Buruh akan berjuang untuk kesejahteraan buruh, Persatuan Mahasiswa akan berjuang untuk mahasiswa. Kelebihannya jika sistem perwakilan berdasarkan profesi ini, setiap masalah yang timbul dalam profesi dirasakan dan dipahami betul oleh komunitas dari profesi itu dan solusi yang mereka perjuangkan tentunya mereka sendiri yang mengetahuinya.
Bandingkan dengan jika semua aspirasi dari semua komunitas itu disuarakan oleh orang partai yang tidak jelas latar belakangnya. Lebih parah lagi jika pengurus partai adalah mantan pengangguran yang menunggu giliran untuk nominasi anggota Dewan. Dalam masyarakat madani saat ini, sistem perwakilan berbasis organisasi profesi-lah yang paling fair. Selain organisasi, organisasi masyarakat yang mewakili kelompok seperti organisasi perempuan, organisasi pemuda, organisasi kesenian, organisasi lingkungan seperti Walhi, dan sebagainya layak menempatkan wakilnya di parlemen. Organisasi-organisasi ini pasti menempatkan figur yang paling matang, sebab dalam dunia profesi yang akan menang adalah yang paling pandai, bukan yang paling banyak duit.
Kalau dalam partai, siapa yang paling banyak uanglah yang akan menjadi ketua. Dalam organisasi profesi, anggota profesi itulah yang tau siapa yang layak menjadi wakil dari profesi atau komunitas itu.
Demikianlah wacana yang penulis lemparkan, sebagai kajian akademik maka saya berharap wacana-wacana “panas” dan “menyengat” ini ditanggapi secara akademis. Mari kita selesaikan masalah bangsa ini dengan rasional, bukan dengan emosional, sebab perdebatan akademik adalah perdebatan yang paling aman dan paling fair.
*Mahasiswa Magister Hukum Unsyiah