FATS Domino, seorang penyanyi dan pianis ternama, dengan candanya pernah mengatakan ‘a lot of fellows nowadays have a BA, MD, or Ph.D. Unfortunately, they don’t have a J.O.B’. Begitulah kenyataannya. Kita tidak lagi bisa menjamin semua sarjana akan memperoleh pekerjaan yang layak. Sebagian dari mereka berpotensi terdepak ke jurang pengangguran.
Bagi para pengangguran, keadaan ini merupakan masalah yang sangat serius, sebab mereka tidak hanya berpotensi menghadapi kesulitan ekonomi, namun sekaligus juga bisa dipandang melalui kaca mata masyarakat sebagai beban sosial. Suatu ketika Iwan Fals pun bernyanyi : “Kalaulah aku bukanlah penganggur, sudah ku pacari kau….”. Mungkinkah lagu ini ratapan penyesalan karena sulitnya menghadapi calon mertua tanpa modal pekerjaan? Ataukah lagu ini dapat dipandang sebagai sebuah kritikan karena penguasa tidak pernah mampu merealisasikan janji-janji politiknya saat kampanye dulu? Sebab pengangguran adalah masalah sensitif yang tidak pernah lepas dari konsumsi politik calon kepala daerah.
Tentu tidak asing lagi terdengar di telinga kita bahwa Tanah Gayo saat ini kelebihan sarjana. Banyak dari mereka yang tak dapat terserap ke dalam institusi formal. Sementara untuk memulai usaha sendiri pun bukanlah perkara yang mudah di tengah lesunya ekonomi saat ini. Keadaan ini jangan dibiarkan terus berlangsung, karena punya bahaya laten, yakni berpotensi meningkatkan angka stres dan kriminalitas. Masalah stres penulis pikir sangat jelas, siapa pengangguran yang tidak tertekan jiwanya? Lalu masalah kriminalitas, inipun bisa saja terjadi, bahkan dalam bentuk yang lebih mengerikan : kriminalitas yang dimotori oleh manusia intelek. Sudahkah pemerintah daerah melakukan antisipasi?
Sebelum membahas terlalu jauh, pertanyaan utama yang perlu kita renungkan ialah apakah sesungguhnya para pengangguran itu memang menganggur atau dianggurkan? Kenyataannya masih banyak para pengangguran yang merasa tidak pernah tersentuh oleh kebijakan, atau oleh “dampak menetes ke bawah” yang seolah-olah telah menjadi candu di dalam benak perumus kebijakan. Banyak pengangguran yang merasa tidak diberdayakan kapasitas dan kapabilitasnya.
Problem mereka yang pertama, untuk berkompetisi masuk institusi formal dewasa ini bukanlah perkara mudah. Masalahnya terkadang bukan saja sulitnya persaingan, tapi bagaimana memenangkan pertarungan melawan kompetitor yang punya uang dan koneksi. Ironisnya sudah menjadi rahasia umum, ‘siapkan dana maka saudara kami urus’. Mau jujur, siap-siap gigit jari, karena kejujuran adalah rahmat sekaligus kutukan. Dan dunia survival of the fittest di daerah ini sepertinya tidak berlaku sepenuhnya. Yang terjadi adalah survival for the rich and strong connection.
Problem mereka yang kedua, tidak hanya di institusi formal, namun juga beredar kabar bahwa di institusi sekelas pendidikan tinggi di daerah inipun sepertinya berlaku istilah ‘pertalian darah’, ‘titipan’, dan ‘permainan orang dalam’. Memang ini adalah sebuah fenomena yang sangat sulit diantisipasi di Tanah Gayo tercinta ini. Apakah ini buah dari kedekatan suku kita dalam hubungan keluarga? Ataukah ini hanya menyangkut problem moralitas pribadi? Entahlah. Tetapi secara umum posisi ini akan sangat merugikan daerah sebab yang terjadi bukan lagi penempatan the right man in the right place. Sementara putera-puteri daerah yang punya potensi kabur ke luar, sebab di negeri sendiri pun rasanya mereka tidak mendapat tempat.
Dunia pendidikan kita pun perlu melakukan refleksi. Hanya ada sedikit institusi pendidikan yang punya semangat memanusiakan manusia. Ironisnya sebagian dari mereka adalah institusi pencari uang di mana pendidikan seolah-olah di lempar ke pasar.
Banyaknya pengangguran dewasa ini mungkin karena ada yang salah dengan sistem kurikulum yang kita terapkan. Institusi pendidikan di negeri ini yang bertanggungjawab dan mendorong lulusannya untuk kreatif bisa dihitung jari. Kenyataan menunjukkan banyak lulusan hanya mampu mengemis pekerjaan dan bahkan ada yang merasa malu atau tabu untuk membangun usaha sendiri. Mungkin hal ini karena rakyat kita masih terpengaruh mentalitas negeri jajahan (peninggalan Belanda), di mana pekerjaan sebagai pegawai negeri atau pamong dipandang memiliki status yang lebih baik, meskipun dengan gaji yang pas-pasan. Orang tua pun terkadang malu melihat anak-anak mereka yang telah mengenyam pendidikan tinggi pada akhirnya terjun ke dunia perdagangan, meskipun kata Nabi ‘sembilan dari sepuluh pintu rezeki ada di sana’. Apalagi mengingat dunia perdagangan sekarang seperti setengah berspekulasi, dan penghasilannya kadang berlebih kadang tidak ada sama sekali. Itu adalah risiko yang harus dihadapi.
Meskipun telah banyak contoh pengusaha yang sukses di Tanah Gayo, tidak sedikit pula yang gulung tikar dan bahkan terlilit hutang yang tidak sedikit jumlahnya. Ironisnya banyak warga masyarakat yang lebih bercermin kepada mereka yang gagal daripada mereka yang sukses. Akhirnya dunia wirausaha ibarat surga atau peluang bagi para pencintanya dan neraka atau bahaya bagi para pembencinya. Sebagian besar adalah tipe yang kedua.
Bagi para pencinta dunia usaha, terutama bagi entrepreneur muda, banyak juga yang akhirnya mengubur mimpi karena terkendala alasan klasik : tidak cukup modal. Mereka ini seharusnya dapat terpantau oleh Pemerintah Daerah, lalu difasilitasi. Kenyataannya, jauh panggang dari api. Ini adalah realitas yang harus dicari solusi penyelesaiannya. Maka rasional juga kalau pada akhirnya mereka berebut kursi pegawai negeri, sebab bagi calon pengusaha muda sekalipun, pegawai negeri adalah batu loncatan, terutama untuk memperoleh modal pinjaman dari Bank. Namun taruhlah suatu saat mereka sukses dalam dunia usahanya, mata KPK siap mengawasi harta kekayaan pegawai negeri. Bukan posisi yang cukup enak juga.
Memang mengatasi masalah pengangguran ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun isu ini cukup krusial dan tetap mendapat perhatian utama dalam konteks peperangan kursi orang nomor satu di Aceh Tengah. Dengan begitu mendesaknya masalah pengangguran, maka siapapun pemimpin yang mampu mengatasinya, menurut Iwan Fals, ia akan diangkat menjadi ‘Manusia Setengah Dewa”. Ini adalah penantian panjang, meskipun tak kunjung datang.***
*Penulis adalah Dosen dan Warga Kota Takengon
mari kita mengkaji ulang tetntang orientasi pendidikan dan sejauhmana tanggung jawan Pmda dan Perguruan Tinggi