“Bika Aceh” Oleh-oleh Trendy Bayangi “Bika Ambon”

Catatan: Muhammad Syukri*

Saat menempuh perjalanan darat dari Banda Aceh ke Medan, tepatnya di kilometer 130 dari Banda Aceh, terdapatlah sebuah tempat yang bernama Simpang Empat Meureudu Kabupaten Pidie Jaya Provinsi Aceh. Sepanjang sisi jalan ketika memasuki kawasan ini, terdapat toko dan kios-kios kecil yang menyediakan lemari berisi pajangan kotak persegi empat dengan aneka warna.

Kotak itu digunakan sebagai wadah untuk mengisi penganan khas Meureudu yang bernama “adee” atau “bika aceh” yang juga terletak dibagian bawah lemari kaca tersebut. “Bika aceh” itu terletak dalam wadah bulat yang baru dikeluarkan dari oven, ada yang masih hangat dan ada juga yang sudah dingin.

Setiap produk “adee” diberi nama sesuai dengan nama pembuatnya. Karena pembuatnya adalah seorang perempuan maka “bika aceh” itu diberi nama “adee kak mah,” ada juga yang bernama “adee kak nah,” atau “adee kak nur.” Penulis mencoba mencari “adee” yang bermerek ibu, ternyata tidak ada. Semua diawali dengan nama kak, berarti para pembuatnya masih muda-muda.

Apabila berada di kota Medan, penganan yang paling banyak dijadikan oleh-oleh adalah bika ambon yang pusat pembuatannya di Jalan Mojopahit Medan dan tersedia juga di Bandara Polonia. Sebaliknya, oleh-oleh dari Aceh yang layak untuk dibawa pulang adalah “bika aceh” atau oleh masyarakat setempat disebut dengan “adee.”

Akhir-akhir ini, menenteng “bika aceh” sudah menjadi trendy atau pertanda bahwa yang bersangkutan baru melewati Simpang Empat Meureudu. Sayangnya, oleh-oleh istimewa ini belum tersedia di Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) Banda Aceh. Mereka yang bisa menikmati “bika aceh” ini hanya yang mengambil jalur darat dari Banda Aceh menuju Medan.

Penganan yang rasanya manis dan lezat ini dibuat dari tepung beras atau singkong. Cara membuatnya cukup sederhana, kata Kak Mah, salah seorang penjual “bika aceh” itu. Bahannya terdiri dari tepung beras, gula, telor, santan, garam dan perasan daun pandan, serta beberapa adonan rempah-rempah yang hanya diketahui oleh si pembuat. Adonan itu diaduk dengan tambahan air secukupnya sampai benar-benar cair.

Kemudian, adonan cair itu dimasukkan dalam wadah bulat lalu dibakar dengan oven tradisional supaya aromanya khas. Sebenarnya, kata Kak Mah, bisa juga menggunakan oven berbahan bakar gas, tetapi aroma dan rasanya berbeda. Karena itu, para pembuat “bika aceh” itu tetap bertahan dengan oven tradisional, selain karena bahan bakarnya tersedia dalam jumlah melimpah di desanya.

Membakar “adee” menggunakan oven tradisional yaitu sisi atas dan bawah dari adonan yang sudah diisi dalam wadah bulat dibakar dengan ukuran besaran api yang terkontrol. Bahan bakar yang digunakan adalah tempurung kelapa, pelepah dan kulit kelapa kering. “Kemampuan mengatur api akan menentukan enak atau tidaknya produk adee,” ungkap Kak Mah.

Harga sebuah “bika aceh” tidak terlalu mahal, hanya Rp.25 ribu untuk ukuran besar dan Rp.15 ribu untuk ukuran kecil. Supaya “bika aceh” bisa tahan lama, sampai di rumah dapat dipanaskan lagi dalam microwave atau oven biasa. Kalaupun tidak sempat dipanaskan, penganan ini masih terasa lezat meski sudah tiga hari.

Sayangnya, bagi pembeli yang tidak suka rasa manis, sampai saat ini belum tersedia “bika aceh” yang rasa asin atau tawar. Padahal, kalau rasanya asin, “bika aceh” itu sangat lezat dimakan dengan sambel tomat, keju tabur, kuah tiram atau kuah kari. Tidak mustahil, “bika aceh” itu bisa menyaingi pizza atau penganan sejenis lainnya.

Penulis menyarankan kepada Kak Mah supaya mereka juga membuat variasi “bika aceh” rasa asin atau tawar yang bisa dimakan dengan bumbu khas Meureudu yaitu kuah kari. Kah Mah terlihat manggut-manggut atas gagasan itu, sepertinya dapat diterima akalnya. “Saya akan coba,” kata Kak Mah.

Kemudian, hendaknya produk “bika aceh” itu dapat juga dipasarkan di Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) Banda Aceh sehingga dapat menjadi oleh-oleh bagi orang yang ingin berpergian ke luar Aceh. Kak Mah sependapat dengan saran itu, karena akan menjadi lapangan kerja baru bagi kaum perempuan di desanya. Namun, dia sangat mengharapkan Pemda setempat dapat berperan memfasilitasinya. “Kami belum memiliki ilmu sampai ke tingkat itu,” kata Kak Mah.

*Pengamat ekonomi, tinggal di Takengon

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.