KontraS: Terapkan Hukum Sesuai Dengan Aturannya

Banda Aceh | Lintas Gayo – Destika Gilang Lestari selaku Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh mengharapkan pihak kepolisian untuk berlaku secara professional dalam menangani dugaan perkara tindak pidana pembakaran yang dilakukan oleh massa terhadap kantor Komite Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Gayo Lues pada 11 April lalu.

Profesionalisme yang dimaksud dengan adanya enam warga Gayo Lues yang menyerahkan diri kepada Polda Aceh terkait kasus tersebut, artinya, polisi selaku institusi penegak hukum dan sebagai pengayom masyarakat bertindak secara cermat, teliti, dan mengedepankan azas praduga tidak bersalah dalam penanganan kasus.

KontraS Aceh berharap kejadian tentang penangkapan empat warga kota Blangkejeren,  Kabupaten Gayo Lues oleh pria yang menggunakan sebo dan senjata api yang diketahui kemudian sebagai polisi menjadi pembelajaran yang penting bagi intitusi Polri.

Destika kembali menuturkan bahwa peristiwa penangkapan pada 28 April lalu telah menimbulkan keresahan terutama bagi keluarga korban menyangkut keberadaan anggota keluarga mereka yang ditangkap. Perilaku tidak terpuji dalam penangkapan tersebut bisa mencoreng nama baik institusi kepolisian.

Atas dasar tersebut, Destika menekankan bahwa  tindakan yang dipraktekkan oleh pihak kepolisian justru memperlihatkan betapa prinsip kedudukan yang sama semua warga negara di hadapan hukum masih menjadi persoalan dalam penegakan hukum deawsa ini.Seharusnya mereka yang diduga sebagai pelaku anarkis pembakaran kantor KIP mendapatkan surat pemanggilan dari pihak kepolisian guna kepentingan penyelidikan.

Namun hingga saat ini, mereka-mereka yang diduga sebagai pelaku tidak mendapatkan surat pemanggilan tersebut, seperti ke enam orang tersebut yang kemudian merasa khwartir akan mengalami tindakan seperti kejadian pada 28 April lalu, dimana diketahui bahwa ada empat warga Gayo Lues yang ditangkap oleh pria bersebo dan bersenjata api.

Padahal, sebagai negara hukum, prinsip-prinsip hukum mestinya menjadi komando tertinggi dalam penyelenggaraan negara. Inilah yang disebut sebagai prinsip negara hukum yang dianut oleh Indonesia. Akan tetapi kejadian sehari-hari seringkali bertolak belakang dari prinsip ini. Hampir setiap hari media massa memberitakan bobroknya mental penegak hukum.

Hal ini juga membuat pangkal persoalan  pembedaan antara warga negara “golongan atas” dan “golongan bawah” dalam dinamika penegakan hukum. Polri selaku aparat penegak hukum dituntut untuk mampu berperan dalam menunjang terwujudnya supremasi hukum. Kehendak untuk mewujudkan supremasi hukum merupakan tantangan bagi Polri, karena Polri diharapkan untuk mampu meningkatkan profesionalisme  dan kinerjanya melalui penerapan paradigma baru dalam proses penegakan hukum.

KontraS Aceh melihat perilaku yang tidak sesuai dengan filosofi “Dwi Warna Purwa  Cendikia Wusana” dan belum dapat mewujudkan perilaku Polri yang “Mahir, Terpuji dan Patuh Hukum” sebagai filosofi pendidikan Polri saat ini. Penegakan hukum dengan pola represif  masih lebih dikedepankan daripada pola perlindungan, pengayoman maupun pelayanan masyarakat.  Partisipasi masyarakat masih kurang mendapatkan respon  secara baik (Community Policing) dan masih mengedepankan hukum dengan pendekatan respresif.(SP/red.04)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.