Oleh Johansyah*
ACEH adalah daerah yang diberi keistimewaan oleh Pemerintah pusat. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999, tentang Penyelenggaraan keistimewaan Aceh, pasal 3, ayat (1) dijelaskan bahwa keistimewaan merupakan pengakuan dari bangsa Indonesia yang diberikan kepada Daerah karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat yang tetap dipelihara secara turun temurun sebagai landasan spiritual, moral, dan kemanusiaan. Selanjutnya pada ayat (2) disebutkan bahwa penyelenggaraan keistimewaan Aceh meliputi; penyelenggaraan kehidupan beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaraan pendidikan, dan peran ulama dalam menata kebijakan di daerah.
Dari aspek struktural, pemerintah pusat memang telah memberikan payung hukum bagi Aceh untuk melaksanakan keistimewaannya. Persoalannya adalah dalam konteks realitas sosial apakah keistimewaan dimaksud berjalan dan kita rasakan bersama. Ataukah keistimewaan Aceh ternyata hanya menjadi ‘doping’ dalam meredam konflik Aceh beberapa waktu lalu.
Secara kelembagaan, wadah untuk menyelenggarakan keistimewaan ini memang sudah terlihat. Dalam penyelenggaraan agama misalnya, di Aceh telah dibentuk Dinas Syari’at Islam dalam upaya menata penyelenggaraan syari’at Islam. Untuk penyelenggaraan adat sendiri telah ada Majelis Adat Aceh (MAA), atau lembaga yang serupa di beberapa daerah Aceh. Sementara untuk penyelenggaraan pendidikan Aceh memiliki Majelis Pendidikan Daerah (MPD). Dan untuk ulama sendiri diberi wadah yaitu Majelis Permusyawaran Ulama (MPU).
Dalam tataran implementatif, peran lembaga-lembaga di atas kelihatannya masih minim. Misalkan saja DSI yang dibentuk untuk membangun syari’at Islam di Aceh, baik di tingkat provinsi maupun di tingkan kabupaten/kota. Di antara indikator minimnya peran tersebut adalah masih banyak masyarakat kita yang memandang sempit syari’at Islam sehingga syari’at dianggap beban, padahal syari’at merupakan kebutuhan spiritual kita sehari-hari. Atau coba saja Tanya pada orang sekitar kita, apa itu syari’at Islam?. Ini artinya peran DSI selama ini masih minim.
Dalam penyelenggaraan adat juga demikian, bahwa MAA kiranya tidak cukup dengan menyelenggarakan seminar dan loka karya adat Aceh. Atau apakah keistimewaan Aceh cukup dengan pengakuan dunia terhadap saman?, tentu jawabannya tidak. Keistimewaan dalam menyelenggarakan adat tentunya sangat terkait dengan bagaimana menjadikan adat Aceh agar tetap eksis dan tidak mengalami pengikisan disebabkan perubahan zaman. Di samping bagaimana upaya generasi saat ini untuk mewariskan nilai-nilai budaya yang telah ada ke generasi berikutnya secara estafet.
Lalu, bagaimana pula dengan pendidikan dengan MPD-nya?. Yang jelas wajah pendidikan Aceh saat ini tidak ada bedanya dengan pendidikan di provinsi lain. Jika di Aceh ada dayah, di tempat lain kita mengenan pesantren. Jika di Aceh ada sekolah umum dan madrasah, di tempat lain juga demikian. Artinya, letak keistimewaan pendidikan Aceh belum jelas kelihatan.
Di sisi lain, padahal qanun demi qanun pendidikan sudah pula dihasilkan, misalnya qanun nomor 23 tahun 2002, qanun nomor 11 tahun 2006, dan qanun nomor 5 tahun 2008. Namun pada kenyataannya, qanun ini hanyalah hiasan-hiasan simbolis yang ternyata belum mampu mengubah wajah pendidikan Aceh dengan menonjolkan keistimewaannya.
Sementara itu, keistimewaan keempat tentang peran ulama dalam menentukan kebijakan di daerah juga belum kita lihat wujud nyatanya. Jika merujuk pada UU nomor 44 tahun 1999, bahwa di sana jelas bagaimana ulama diberi kewenangan berperan dalam penentuan kebijakan pembangunan. Tapi berapa daerah yang melibatkan pemerintah dalam penentuan kebijakannya?, ini jelas masih sedikit sekali.
Meskipun demikian, penulis yakin semua pihak yang terlibat dalam pembangunan Aceh memiliki niat tulus dalam menata Aceh ke arah yang lebih baik. Upaya-upaya terkait dengan penyelenggaraan keistimewaan Aceh tentu sudah ditempuh sejak lama. Keistimewaan untuk Aceh ke depan diharapkan mampu diwujudkan melalui rencana starategis implementatif.
Untuk memotivasi para pemimpin kita, barangkali mereka perlu diingatkan dengan sejarah kerajaan Aceh tempo dulu yang memang unggul dalam agama, adat, maupun pendidikan. Terbukti banyak ulama namanya cukup menggLebih dari itu, kita mengharapkan pada gubernur/wakil gubernur terpilih beung di Nusantara seperti Syeh Nuruddin Ar-Raniry, Syamsuddin Sumatrany, Abdul Rauf Al Sinkily, dan beberapa ulama lainnya yang cukup dikenal. Tapi itu tetap sejarah, dan jika kita mau mengulang masa keemasan itu, tentunya semua pihak harus kerja keras dan kerja cerdas, terutama pemerintah.
Kebijakan Pro Keistimewaan
Pemerintah provinsi adalah dapur olah dalam menata beragam kebijakan terkait pembangunan, termasuk kebijakan tentang keistimewaan Aceh. Kita tau, saat ini Aceh memasuki era dan pemimpin baru yang dikomandoi oleh Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf. Kita berharap di tangan keduanya format keistimewaan Aceh lebih kongkrit dan dapat terimplementasi.
Untuk merealisasikan langkah tersebut, pemerintah sebagai regulator dan pemengang kendali kebijakan setidaknya terus berperan aktif dan mendorong lembaga-lembaga yang menangani keistimewaan Aceh untuk terus membangun strategi implementatif sehingga keistimewaan Aceh dapat membumi. Dalam hal ini, tentunya yang dibutuhkan bukan sekedar dukungan moril, melain dukungan material, dengan menganggarkan dana untuk itu, sembari diikuti dengan pengawasan yang baik sehingga hasilnya maksimal.
Langkah lain yang perlu ditempuh oleh pimpinan Aceh terpilih adalah dengan melibatkan pakar-pakar berkompeten dalam bidang keistimewaan Aceh, baik agama, adat, dan pendidikan. Kita yakin, saat ini dari kualifikasi pendidikan banyak pakar-pakar di Aceh yang mampu memberikan kontribusinya untuk permasalahan ini.
Terakhir, untuk merealisasikan misi besar ini, langkah lain pemerintah Aceh dan pemerintah daerah yang sangat penting adalah menata birokrasi sedemikian rupa. Saat ini birokrasi kita dililit berbagai permasalahan, terutama yang terkait dengan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Jika permasalahan ini tidak mengecut dan tetap seperti kondisi saat ini, maka ini akan menjadi penghambat utama dalam mewujudkan keistimewaan Aceh.
*Penulis adalah Mahasiswa PPs IAIN Ar-Raniry Banda Aceh