AR Moese, Catatanku dan Lagu “Tangke Nate”


Oleh: Jauhari Samalanga

Kehadiran pemain Biola asal Amerika Ed Van Nes di Takengon pada tahun 2007 silam, memiliki arti khusus bagi AR Moese. Dalam keadaan sakit kala itu, AR Moese menerima kunjungan orang yang tak dikenalnya sama sekali, termasuk Ed Vanes juga tak mengenal siapa AR Moese. Namun pertemuan itu cukup mengharukan, Ed Van Nes mengenal AR Moese dari beberapa biola yang dijinjing para gadis di Takengon, dan dia yakin, biola-biola  milik gadis Gayo itu karena kehadiran seorang guru, AR Moese.

Kedatangan Ed van Nes ke Takengon waktu itu sebagai pemateri pada Workshop “Aceh World Music” yang digelar Komunitas Nyawoung Aceh. Ed Van datang bersama pemusik Kim Sanders (Australia), Nyak Ina Raseuki  (Ubiet), Rafly  (penyanyi Aceh),  Andi Ayunir  (Komposer di Jakarta),  dan Bens Pasaribu (Medan).  Dari acara itulah Ed Van melihat beberapa biola ditangan anak-anak Gayo, hingga akhirnya Ed Van meminta panitia mengantarkannya bertemu AR Moese. Ed Van yakin, AR Moese pastilah orang hebat.

Keyakinan Ed Van Nes itu benar, Moese memang hebat. Tapi bagi saya kehebatan Moese bukan pada karya lagu yang dia miliki. Saya melihat kemauan Moese  kembali ke Gayo, dan kemudian membangun pembaruan pada lagu-lagu Gayo. Itu sebuah kemauan luar biasa.

Di Gayo Moese kemudian mengadopsi lagu-lagu Gayo karya Didong dari pencipta besar seperti Lakiki di lagu  “Pegasing” , atau Ibrahim Kadir dengan lagu berjudul  “Batil” ,  disamping beliau sendiri mempopulerkan lagu karya sendiri yang syahdu “Tangke Nate”.

Khusus lagu Tangke ni Ate, Moese punya catatan tersendiri, dan Moese memamng mempersembahkannya kepada sang kekaksih yang kemudian menjadi pendamping hidupnya, hingga akhirnya cukup menyatu dengan setiap pendengar lagu itu.

Pada tahun 1980-an, saya termasuk beruntung karena bisa mendengarkan Moese bernyanyi di kaset “Mentari” yang tidak beredar di pasaran. Saya mendapatkannya dari abang yang berada di Jakarta.  Beberapa lagu seperti  “Bango Iyo” dan “Uyem” di versi swing folksong. AR Moese dan beberapa abang-abang di jakarta menggarap lagu itu sebagai bagian dari Sanggar mentari ketika itu.

Saya betul-betul baru salut kala beliau mulai menyatukan diri secara total dengan Gayo. Luar biasa memang. AR Moese  kemudian bertapa dan menyelesaikan sebuah alat musik yang di sebut “Musik Perahu”, yakni sebuah alat musik dari perahu yang dipotong setengah, kemudian lengkungannya digunakan untuk menampung suara dengan 21 snar dari tali klos sepeda motor. Alat musik ini hampir menyerupai alat musik Harva di China.

Lalu bersama beberapa seniman Gayo lainnya, seperti Syeh Kilang dan Aman Pinan merancang alat musik “Gerantong”. Disini saya melihat ada perbedaan AR Moese dan seniman lainnya. Dalam rancangan alat Musik gerantong AR Moese membuatnya dengan menggunakan kayu keras, hampir mendekati alat musik ‘Kulintang’ dari Sulawesi.

Tetapi dalam konser-konsernya selain alat “mirip kulintang”, Moese selalu menyertakan gerantung asli yang biasa digunakan untuk kalung kerbau yang biasa digunakan peternak untuk mengenali kerbau miliknya. Itu terlihat pada lagu “Peruweren” karya Ceh Daman. Lagu ini tidak direkam sehingga dokumentasi satu-satunya hanya ada pada audio konser AR Moese di Ancol pada tahun 1993 silam yang diprakarsai Fikar W Eda.

Alat gesek yang diciptakan AR Moese berasal dari pengiris tembakau, diberi nama alat musik  Perajah. Ketiga alat musik ini kemudian dimainkan secara bersamaan.

Lagu “Renem Jejem” karya Moese yang menjadi juara II pada festival lagu daerah tingkat nasional di Jakarta, rupanya juga tidak menyertakan alat musik tradisi karyanya itu. Dalam lagu itu Moese menggunakan alat musik standar Gayo seperti bedug, teganing, gegedem, suling, gitar akustik, dan kontra bass.

Alat musik perahu baru digunakan pada festival Musik Rakyat tingkat nasional di Taman Ismailmarzuki pada tahun 1993. kala itu AR Moese bersama penyanyi Zuhra, dan pemain musik pahu Zoel tampeng. Tapi tidak menang, malah etnomusikolog Frangky Raden menyebutnya sebagai musik pop biasa.

Frangky Raden benar, Moese membawakan komposisi lagu “Bajang-Bajang” yang dinyanyikan dengan syahdu, tetapi meleset, karena tidak mampu menaikan emosi sebagai musik rakyat. Kata Frangky Raden pada saya kala itu, musik rakyat itu yang mampu menghibur. namun secara komposisi sudah cukup kuat dan baik.

Saya baru melihat AR Moese itu hebat setelah album Tengke Nate dirilis. Album sederhana itu, meyakinkan saya kalau AR Moese punya kemampuan membuat album dengan Aransemen yang hebat. Saya mendengar album itu betul-betul sebagai album dengan ‘ilmu musik” yang bagus.

Pada komposisi yang dibikin dengan program R-8, bersuara Keyboard, AR Moese tampak menyiapkan space-space khusus untuk diisi oleh generasi berikutnya. Album Tangke Nate adalah sebuah album sederhana yang sebenarnya dirancang untuk orkestra, tetapi keterbatasan dana membuat Moesemenanggalkan banyak celah album itu menjadi orkestra, ada wilayah-wilayah yang seharusnya diisi string dibiarkan bolong, ini pertanda Moese meninggalkan kenangan untuk genarasi mendatang.

Dalam catatan pribadi saya. AR Moese hanya menyanyikan jumlah lagu belasan saja, selebihnya dia memilih penyanyi perempuan. Orang yang paling melekat dengan lagu-lagunya diawali oleh Mayang  Murni, Lela, dan terakhir Zuhra. Tapi di kaset-kasetnya, AR Moese lebih melibatkan keluarga, seperti Neta, Pia, dan lain-lain.

Belasan laguyang dinyanyikan langsung oleh AR Moese anatara lain Tawar Sedenge, Bines, Merbok, Pegasing, Mukale, Ranto, Tah Toh ya Uren, Lane, Uyem, Takingen, Tampok Pinang, dan Tangke Nate. Ada beberapa lagu lainnya tetapi tidak sampai direkam.

Khusus lagu “Tah Toh Ya Uren” Moese pernah melantunkannya pada acara Maulid masyarakat Aceh se-Jabotabek yang digelar Taman Iskandar Muda Jakarta pada tahun 1984 di Istora Senayan Jakarta.

Masih ada beberapa lagu lainnya, namun Moese tidak merekamnya sehingga banyak yang tidak mengenalnya, kecuali sebagian kecil murid-murid AR Noese saja. seperti lagu Ama, Jegermi Ine, dan Peruweren.

Masih seabreg kenangan saya bersama almarhum. Kalaulah dijadikan tulisan maka akan panjang sekali, termasuk kenangan bersama almarhum kami duduk menyanyikan beberapa lagu keroncongyang dinyanyikan Dahlan Maulata. Serta beberapa catatan pentingdari penyanyi-penyanyi Ar Moese sekitar tahun 1978, plus pengalaman dari anak muridnya di paduan suara yang kini menyebar ke seluruh Aceh.

AR Moese lahir tahun 1938 di Takengon. Dia mulai menekuni dunia seni sejak kecil. Pada tahun 1958-1961 Moese masuk sekolah musik di Jogyakarta, selepas di Jogya Moese melanjutkan pendidikan ke IKIP Rawamangun sekitar tahun 1982-1986. Lalu kembali ke Takengon dan menjadi kasie budaya di dinas Pendidikan dan kebudayaan Aceh tengah.

AR Moese juga pernah terlibat dalam kelompok musik pimpinan Maerstro Biola Idris Sardi di Group Ever Green padatahun 1962-1966.

Lagu pertama yang diciptakan AR Moese pada tahun 1954 berjudul “Renggali”,setelah itu baru lahir lagu-lagu seperti Petukel Maji, Garipo, Tawar Sedenge, Tangke Nate, Lane, Ama, Renim jejem, dan terakhir Payung kertas (2003) dan Jejari (1984).

Pada 16 Oktober 2007 silam, anak-anak muda Takengon ikut memeriahkan malam Mengenang komponis Gayo AR Moese di terminal Bus Takengon. Saya termasuk yang bangga pada antusiasme pengisi acara, karena acara itu kami yang gagas bersama. seniman dan penyanyi yang ikut berpartisipasi antara lain, seperti Fikar W Eda, Ujang Lakiki, Zuhra, Zombee, G-Kos, Jusapel, dan Zola.

Malam itu, yang paling ditekan kepada pemerintah kabupaten Aceh Tengah agar lagu karya AR Moese, Tawar Sedenge, yang dijadikan pemerintah Aceh Tengah sebagai laguwajib daerah  melalui Perda No.09/XI/28/2008 sebagai lagu wajib mendapat perhatian khusus, dan ahli waris mendapat hak matrial yang setimpal, karena karya memiliki hak cipta yang kuat. Namun hingga kini tidak terwujud, lantaran pemerintah Aceh Tengah tidak memahami mekanisme hukum penggunaan lagu.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.