Waktu dan Orientasi Kemajuan


Drs. Jamhuri, MA[*]

TUHAN dalam al-Kitab menggunakan huruf qasam (sumpah) ketika berfirman tentang waktu : “Demi masa, sesunggguhnya manusia itu tetap dalam kerugian,…”

Firman dalam surat al-‘ashr tersebut dihafal secara baik oleh semua musim dan dikatahui oleh semua orang termasuk yang bukan muslim, karena pentingnya waktu dalam budaya arab dikenal dengan ungkapan “waktu seperti pedang” dan dalam budaya barat disebutkan dengan “waktu adalah uang”. Surat al-ashr ini merupakan surat terpendek dari surat-surat yang terdapat dalam al-Kitab yang hanya memuat  tiga ayat. Kalau kita baca buku-buku tafsir dan juga semua buku yang memuat tentang waktu, seecara umum waktu itu dikelompokkan kepada tiga : yaitu, masa yang telah berlalu, masa kini dan masa yang akan datang. Demikian juga ketika orang-orang belajar tentang ilmu bahasa, hanya mengenal tiga bentuk waktu.

Lalu apa yang tersirat di balik firman tersebut sehingga Tuhan bersumpah tentang waktu, dengan menyebut semua manusia baik muslim atau non muslim dan mengecualikan mereka yang beriman dan orang yang berbuat baik serta mereka yang  saling mengimformasikan tentang kebenaran dan kesabaran.

Tulisan ini ingin melihat sepintas tentang orientasi waktu dalam kaitannya dengan fenomena kehidupan masyarakat, karena banyak anggota masyarakat yang selalu mengagungkan masa lalu seolah masa lalu adalah masa yang paling benar dan paling agung, masa lalu adalah masa yang paling indah, masa lalu yang paling menentukan keberadaan hari ini dan hari yang akan datang. Akibatnya ada sebagian orang tidak berani bahkan tidak mau keluar dari masa lalu, seakan masa sekarang dan masa yang akan datang itu tidak ada.

Pola kehidupan seperti ini kita temukan dalam keseharian masyarakat, diantara ciri yang seperti itu kita temukan pada mereka yang sangat mengagungkan nasab dan garis keturunan, mereka selalu mengatakan bahwa mereka adalah keturunan raja, keturunan orang terhormat, keturunan orang alim, sampai mereka selalu berharap dan merasa mendapat penghargaan dan penghormatan hanya karena garis keturunan.

Kepercayaan pada masa lalu yang menafikan masa sekarang, juga terlihat dalam pemikiran politik, sebagian orang masih percaya bahwa apabila ada orang yang menjadi pemimpin dan ia bukan dari garis keturunan raja maka kepemimpinannya tidak akan dapat bertahan lama. Orang yang seperti ini juga selalu menjual keberhasilan pembangunan  dan jasa perjuangan masa lalu, mereka tidak pernah lupa mengatakan nahwa saya adalah keturunan pulan, keluarga saya adalah orang yang berjasa mendirikan bangsa ini, dan beban yang ada hanya dari kalangan kami yang dapat meikulnya. Dalam analisis budaya pembangunan mentalitas seperti ini adalah merupakan salah satu penghambat percepatan pembangunan atau kemajuan.

Selanjutnya dari pengelompokan waktu sebagaimana telah disebutkan, setelah masa lalu adalah masa kini atau masa sekarang. Pemikran seperti ini pada mulanya berkembang dikalangan masyarakat yang kehidupannya bertani, mereka selalu berpikir bagaimana memenuhi kebutuhan hidup hari ini dan hari esok, dan pada saat kebutuhannya telah terpenuhi mereka tidak lagi mau berusaha mencari lebih. Namun ada juga mereka yang mempunyai pola pikir masa kini dan sangat giat berusaha, tetapi ketika mereka mendapatkan hasil dari apa yang diusahakan mereka membelanjakannya untuk kebutuhan yang sifatnya sesaat. Seperti penghasilan pada saat panen yang melebihi kebutuhan biasa yang harus dipenuhi, mereka membelanjakan hasil panennya untuk kebutuhan yang hanya bersifat tertier atau tahsiniyah (hiburan), mereka tidak membekali diri untuk masa-masa dimana tanamannya tidak ada hasil.

Kehidupan yang menganut pola seperti ini tidak hanya kita temukan pada masyarakat yang berprofesi sebagai petani, tetapi juga pada masyarakat yang menggantungkan hidupnya sebagai Pegawai Pemerintahan (PNS) atau juga Pegawai Swasta. Wujud dari kehidupan seperti ini terlihat pada pola yang dianut untuk memenuhi kebutuhan yang berorientasi pada “semasih ada kesempatan” dan selalu berpikir akan adanya jalan pintas.

Diantara penyebab lahirnya pemikiran “semasih ada kesempatan” atau “jalan pintas” ini adalah ketika di suatu daerah atau instansi tidak memiliki sumber daya manusia (SDM) secara kuantitas dan kualitas tidak mencukupi, seperti penempatan seseorang pada suatu jabatan tertentu karena tidak adanya orang yang memenuhi syarat dalam kepangkatan, atau juga penempatan seseorang pada suatu tempat karena tidak adanya orang yang memiliki keahlian di bidang iru, disamping juga adanya alasan klasik dikalangan para pegawai tersebut yang tidak bisa melepaskan dirinya dari pola pemikiran sebelum ia menjadi pegawai. Alasan kami memisahkan antara mereka yang berpikiran pertanian dengan pegawai dalam tulisan ini adalah dikarenakan pegawai kabanyakannya berdomisili di perkotaan sedangkan para petani berdomosili di kampong.

Dalam analisis kebudayaan kelompok yang berpikir dengan pola pikir kedua ini juga dapat memperlambat kamajuan, karena masih menganut orientasi kekinian dan untuk masa sekarang.

Kemudian masa akan datang, mereka yang memiliki orientasi ke masa yang akan datang tidak sebanyak mereka yang berorientasi ke masa lalu dan masa kini. Untuk mengetahui pola pikir masyarakat, apakah telah berorientasi ke depan atau masih kebelakang atau masih berorientasi ke masa kini, kita dapat melihat dari orientasi pendidikan. Melihat kecenderungan para alumni Sekolah Menengah Atas (SLTA) untuk memasuki Peguruan Tinggi masih terlihat jelas pada peilihan Fakultas, jurusan atau prodi yang menjadi paforit adalah yang tidak berorientasi jauh kedepan. Mereka lebih banyak memilih Fakultas yang berorintasi kepada kerja kendati jumlah alumni yang dihasilkan jauh melebihi kelipatan yang dibutuhkan. Selanjutnya juga orientasi pendiri atau pengelola pendidikan juga masih belum berorientasi kedepan, dimana-mana lembaga pendidikan berdiri orientasi utamanya adalah banyaknya jumlah mahasiswa yang mendaftar, bukan pada apa yang menjadi kebutuhan masa depan daerah.

Belum lagi bila kita melihat sisi lain dari lembaga pendidikan yaitu bahan bacaan yang diajarkan, setiap mata pelajaran yang diajarkan hampir seluruhnya berwawasan ke belakang dan kalaupun ada yang berwawasan ke depan tetapi merupakan hasil pemikiran orang yang berbeda masa dengan zaman sekarang, tentu saja wawasan ke depan yang dimaksudkan dalam tulisan meraka adalah masa depa berdasarkan prediksi mereka, bukan prediksi masa depan kebutuhan kita.



[*] Dosen pada Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.