Wajah Islam dalam Konteks Pariwisata Indonesia dan Malaysia

Catatan Win Wan Nur*

KALAU kita membandingkan Indonesia dan Malaysia dalam hal kekayaan potensi wisata, perbedaannya ibarat bumi dan langit.

Tidak usah jauh-jauh kita kaji, cukup hanya membandingkan Malaysia dengan Sumatera dan Kalimantan, dua pulau utama Indonesia yang berbagi sejarah dan kebudayaan dengan mereka.

Mulai dari Aceh, kita memiliki taman laut Pulau Rubiah yang keindahannya diakui semua wisatawan yang sudah pernah berkunjung ke sana, kita punya danau Lut Tawar dan keunikan pacuan kuda tradisional, kita punya taman nasional Gunung Leuser dan bentangan pantai yang indah di sepanjang pantai barat dan selatan. Di Sumatera Utara kita punya Danau Toba dan Nias dengan keunikan budayanya. Di Sumatera Barat kita memiliki Ngarai Sianok dan Kepulauan Mentawai, ada Belitong di Babel serta pulau-pulau indah di kepulauan Riau, Kerinci di Jambi, Gajah di Lampung, Rafflesia di Bengkulu dan banyak lagi keindahan alam serta budaya di Sumatera yang tidak dimiliki oleh Malaysia yang tidak mungkin kita sebutkan satu per satu.

Begitu pula di Kalimantan, Malaysia hanya memiliki kurang dari sepertiga pulau itu, selebihnya adalah milik Indonesia yang tentu saja potensinya jauh lebih banyak di bagian milik Indonesia.

Selebihnya segala potensi dahsyat pariwisata Indonesia di Jawa, dengan segala kekayaan budayanya mulai dari keunikan budaya Baduy di Bandung, angklung di Jawa Barat  dipadu dengan keindahan alam mulai dari pantai gunung berapi sampai kebun teh, masuk ke Yogyakarta dengan segala keunikan budaya Jawa dan keraton, Borobudur dan Prambanan di Jawa Tengah, Bromo dan  kawah Ijen di Jawa Timur. Bali sudah tidak perlu dibicarakan lagi, lalu ada Lombok dengan kepulauan Gili, kemudian Komodo, laut Banda, Tana Toraja, Bunaken, Raja Ampat, kebudayaan Dani dan Asmat. Tak akan cukup satu halaman artikel kalau kita mau membahas segala potensi wisata yang kita punya yang tidak dimiliki oleh Malaysia.

Hebatnya lagi, dengan segala keberagaman suku bangsa di Indonesia ini, bangsa kita begitu toleran terhadap pendatang dan jarang sekali terjadi konflik antara suku-suku ini karena semua merasa sebagai Bangsa Indonesia.

Tapi dengan segala keunggulan potensi wisata yang kita miliki, nyatanya kita kalah jauh dari Malaysia dalam hal jumlah kunjungan wisatawan. Banyak dari kita yang bertanya-tanya, mengapa?.

Saya teringat pada ucapan Garin Nugroho dalam sebuah sesi pelatihan pembuatan film yang pernah saya ikuti. “Potensi tidak sama dengan realisasi, potensi akan selamanya hanya jadi potensi kalau tidak diekseskusi”. Kata Garin waktu itu. Tentu saja ketika mengatakan itu Garin berbicara potensi dalam konteks film. Sebut saja misalnya seorang sutradara memiliki satu konsep hebat tentang sebuah film, ada ide cerita yang bagus, penuh dengan gambar yang indah dan special efek yang dahsyat. Tapi ketika dalam pelaksanaannya, dia tidak didukung oleh kameramen yang hebat, setting lokasi yang bagus, aktor yang berbakat, penulis skenario dan hebat, special effect yang mumpuni dan yang paling penting dana yang memadai. Film yang dihasilkan akan sangat jauh dari potensinya ketika masih berupa ide mentah. Dan kenyataannya, di Indonesia sulit sekali untuk merealisasikan sebuah potensi ide hebat untuk menjadi sebuah film yang hebat.

Dan apa yang dikatakan Garin dalam konteks film ini, ternyata juga berlaku untuk konteks pariwisata.

Malaysia, kalau dibandingkan dengan Indonesia, memang potensi pariwisata mereka tidak seberapa, tapi potensi yang tidak seberapa itu mereka eksekusi dengan sangat sempurna dan rapi dengan sebuah semboyan dahsyat “Malaysia Truly Asia”, . Dan semboyan ini tidak hanya tinggal semboyan bagi mereka, tapi semboyan itu benar-benar mereka tanamkan secara massif ke benak segenap calon wisatawan di seluruh dunia dengan berbagai strategi yang mereka eksekusi dengan tepat.

Salah satu yang menjadi fokus perhatian pemerintah Malaysia adalah mempermak citra Islam, agama mayoritas penduduk Malaysia yang reputasinya terlanjur buruk di mata para calon potensial pelaku wisata.

Perlu kita sadari, bahwa calon wisatawan di luar sana, rata-rata alergi mendengar kata “ISLAM”, bagi mereka ISLAM itu identik dengan segala macam pembatasan, tidak boleh ini dan tidak boleh itu, bahkan belakangan lebih parah lagi, Islam dalam bayangan mereka identik dengan pemaksaan, kekerasan bahkan teror. Jadi sama sekali tidak cocok dipadukan dengan PARIWISATA. Inilah sebabnya, kenapa ketika bicara Asia Tenggara dalam konteks pariwisata yang pertama kali terbayang di benak wisatawan adalah Thailand bukan yang lain. Tampaknya ini sangat disadari oleh Malaysia.

Beberapa waktu yang lalu saya menonton sebuah program acara di “National Geographic” yang menampilkan tentang alam dan budaya Malaysia. Acara ini dipandu oleh Jason Scott Lee, aktor Hollywood asal Hawaii yang pernah berperan sebagai Bruce Lee dan juga sebagai Mowgli dalam film The Jungle Book.

Dalam acara itu, Jason ditampilkan berkeliling Malaysia, berlatih silat dengan seorang guru silat lokal, menginap di rumah warga di sebuah kampung khas Melayu pedalaman, menyatu dengan warga setempat di Bulan Ramadhan di mana di sana ditampilkan, Jason yang bukan penganut Islam ikut berbuka puasa sambil tertawa lepas bersama warga, lalu dengan memakai kopiah dan sarung dan ikut ke mesjid bersama warga, masuk ke dalam mesjid dan duduk  bersila di pojokan menyaksikan warga setempat melaksanakan shalat tharawih. Jason juga ikut dilibatkan membuat kue-kue lebaran khas Melayu. Ketika lebaran, oleh tuan rumah tempatnya menginap Jason dibelikan baju koko, sarung dan kopiah dan diajak serta untuk berziarah kubur, seolah dia juga bagian dari keluarga begitu alami dan mengalir, tidak terlihat seperti disetting dengan sengaja.

Apa point paling menonjol yang ingin ditunjukkan oleh penggagas acara ini kepada para penonton yang mereka sasar?.

Jelas itu adalah FAKTA bahwa Islam agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Malaysia adalah agama yang damai dan toleran, tidak diskriminatif terhadap orang yang berbeda keyakinan. Sangat jauh berbeda dengan bayangan yang sudah tertanam dengan kuat di benak calon wisatawan. Dan itu semua ditampilkan dengan sangat sempurna dalam acara yang dipandu oleh Jason Scott Lee itu. Islam yang dalam benak orang-orang di luar sana dipahami sebagai agama yang kaku sempurna, oleh Jason ditampilkan menjadi sebegitu menariknya.

Pembentukan citra Islam yang seperti ini tampaknya menjadi point perhatian penting pemerintah Malaysia. Acara-acara yang menampilkan kelembutan dan daya tarik budaya Islam versi Malaysia  ini tidak hanya mereka tampilkan melalui satu acara seperti itu. Berbagai acara di jaringan televisi global yang mencakup berbagai segmen, juga mereka rambah untuk memperkuat citra Islam yang ingin mereka tonjolkan. Untuk segmen anak-anak, ada banyak sekali film kartun Malaysia di jaringan disney channel yang menampilkan citra Islam yang lembut dan bersahaja. Salah satunya adalah Upin dan Ipin yang sekarang mulai mendunia.

Nah dari sisi ini saja, mari kita bandingkan citra Islam yang ditampilkan oleh Malaysia kepada calon wisatawan di luar sana dengan citra Islam yang ditampilkan oleh Indonesia.

Meskipun pada kenyataannya, jika Jason Scott Lee datang ke Indonesia ke kampung-kampung yang dihuni oleh masyarakat Islam di manapun juga. Apa yang akan dia alami juga akan sama seperti yang dia alami di Malaysia. Tapi fakta ini tidak banyak diketahui oleh orang-orang di luar sana, paling-paling yang mengetahui hal seperti ini hanya segelintir orang yang sudah pernah mengalaminya dan menyampaikan dari mulut ke mulut kepada sanak dan kerabatnya.

Tapi citra Islam di Indonesia yang secara massif diketahui orang-orang, para calon wisatawan potensial di luar sana seperti apa?

Orang-orang bersorban yang mengacungkan senjata sambil berteriak Allahu Akbar, menghancurkan Mesjid Ahmadiyah, mengusir orang yang beribadat di gereja, mengusir Irsyad Manji, menolak Lady Gaga, hukum cambuk dan penutupan gereja di Aceh yang mengharu biru dengan Syari’at Islamnya, menteri yang mati-matian ngeles dan menyalahkan istri presiden negara lain ketika terpergok bersalaman dengan Michelle Obama, teror bom di mana-mana. Inilah informasi tentang Islam di Indonesia yang beredar luas di luar sana.

Dan karena pemerintah Indonesia melalui kementrian pariwisata apalagi kementrian informasi,  jelas tidak pernah bahkan mungkin tidak pernah terpikir untuk membuat sebuah program acara yang secara cermat dibuat untuk menampilkan Citra Indonesia yang sebenarnya, yang ingin dikomunikasikan kepada orang-orang di luar sana. Sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia melalui departemen pariwisata mereka. Ya seperti itulah, citra Islam di Indonesia yang diketahui oleh orang-orang sedunia.

Jadi begitulah, meskipun kita memiliki potensi yang demikian berlimpah, tapi karena kita tidak pernah benar-benar serius untuk ‘mengeksekusi’-nya dalam sebuah kemasan informasi  yang benar (belum sampai ke tahap baik), semua potensi itu sampai hari ini hanya tetap menjadi potensi.

Sehingga bahkan hanya dari sisi citra tentang preferensi agama yang ditampilkan ke luar ini saja, sebenarnya kita sudah tidak perlu heran dan bertanya-tanya, mengapa wisatawan yang berkunjung ke negara kita kalah jauh secara jumlah dengan yang berkunjung ke Malaysia.

Karena, coba bayangkan kalau kita sendiri yang berada dalam posisi calon wisatawan di negara non Islam yang telah menabung bertahun-tahun dan ingin menghabiskan uang yang kita tabung untuk berwisata dengan harapan mendapatkan kesenangan dan kegembiraan yang optimal. Ketika salah satu faktor yang membuat kita memilih tujuan wisata adalah perilaku beragama penduduknya.

Membandingkan citra Islam yang begitu lembut, toleran dan bersahaja di Malaysia dengan citra agresif dan hiruk-pikuknya Islam di Indonesia. Jika pilihannya adalah antara Indonesia dan Malaysia, negara mana yang akan kita pilih untuk berlibur, menghabiskan uang untuk menenangkan diri dan bersenang-senang ?

Kalau yang berada di posisi itu adalah saya, saya jelas akan memilih Malaysia. Dan kenyataannya, semua orang normal (sebagaimana mayoritas calon wisatawan potensial) juga lebih memilih Malaysia. []

*Pemerhati Pariwisata, tinggal di Tangerang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.