Tangerang | Lintas Gayo – Gayo memiliki keragaman istilah kekerabatan atau tutur. “Ternyata, tutur Gayo itu lengkap sekali,” kata Muhammad Daud Gayo beberapa waktu yang lalu. Sayangnya, selama ini, masalah ini kurang diteliti, publikasi, dan didokumentasikan. Akibatnya, banyak yang tidak tahu.
“Saya baru tahu setelah membaca buku Snouck Christian Hurgronje Het Gajoland ez Zijne Bewoners (1903) yang telah diterjemahkan Budiman S (1996) dan Hatta Hasan Aman Asnah (1996)” aku alumni Universitas Beograd Yoguslavia itu
Ditanya terpisah, Selasa (22/5/2012), Yusradi Usman al-Gayoni, penulis buku Tutur Gayo membenarkan pernyataan Muhammad Daud Gayo. “Tutur Gayo kaya sekali. Sayangnya, kita kurang mengenalnya. Karena, alih budaya kurang berjalan dengan baik dalam masyarakat Gayo. Apalagi, dalam bentuk tertulis,” sebutnya.
Menurut Yusradi, ada sepuluh tingkatan tutur dalam masyarakat Gayo mulai dari rekel yang berada pada tingkatan teratas dan piut pada tingkatan terendah. “Kemungkinan, di atas rekel masih ada lagi,” ungkapnya. Hal itu dijumpainya saat penelitian lapangan 14 Agustus 2009-8 April 2010 lalu di Takengon. Untuk membuktikannya, sambungnya, masih perlu penelitian lanjutan.
Belakangan, banyak pihak yang mengeluhkan kepunahan tutur, bahasa, dan budaya Gayo. “Buku ini jadi jawaban kekhawatiran kita selama ini. Mudah-mudahan, buku ini diterima masyarakat luas. Lebih dari itu, dapat dijadikan koleksi perpustakaan dan bahan muatakan lokal di sekolah-sekolah yang ada di Gayo. Dengan demikian, bisa dipelajari secara formal,” harapnya.
Oleh karena itu, saran penulis buku Ekolinguistik, A.R.Moese: Perjalanan Sang Maestro, dan 7 Tahun Ikatan Mahasiswa Takengon (IMTA)-Sumut (2001-2008) itu, perlu inisiatif dan andil dari pihak-pihak terkait yang ada di Gayo. Khususnya, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan Kabupaten Bener Meriah, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah di empat daerah tersebut (Win Djanur/red.03)