by

Menimbang Nalar Kekuasaan “Zikir”

Muhamad Hamka*

LENGKAP sudah dominasi Partai Aceh (PA) dalam jagad perpolitikan Aceh. PA tak hanya menguasai hampir setengah dari kursi parlemen (DPRA), tapi juga menguasai “eksekutif” pasca kemenangan dr. Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf (Zikir) dalam Pilkada 9 April lalu.

Kemenangan Zikir ini tentunya memunculkan harapan baru dalam benak seluruh warga Aceh. Karena sesuatu yang bersifat baru (apalagi dalam konteks pemimpin baru) pasti diikuti dengan spirit dan harapan baru dari seluruh rakyat. Tinggal bagaimana Zikir mengelaborasi dan mengartikulasikan harapan rakyat ini bagi terwujudnya kedamaian, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh warga Aceh.

Kekuasaan yang diamanahkan oleh rakyat Aceh kepada Zaini dan Muzakir diharapkan bisa dimaksimalkan sebagai medium oleh dua mantan tokoh GAM ini sebagai batu tungku dalam meningkatkan harkat dan martabat seluruh rakyat Aceh (kedamaian, kesejateraan dan keadilan). Kalau tiga hal ini bisa diaktualisasikan oleh Zikir, maka bisa dipastikan masa depan Aceh akan cemerlang.

Namun semua itu berpulang pada nalar kekuasaan Zikir, apakah kekuasaan yang mereka miliki bisa dipraksiskan sebagai sarana untuk membangun kemaslahatan bersama (seluruh rakyat Aceh) atau sarana hegemoni dalam rangka melanggengkan dinasti kekuasaan? Kalau kekuasaan di posisikan sebagai sarana membangun kemaslahatan bersama, maka ada beberapa hal mendasar yang harus dilakukan oleh Zikir.

Pertama, membangun etika karakter (character ethics) dalam laku kepemimpinan mereka. Stepen R Covey, seorang pakar manajemen terkemuka dunia meniscayakan etika karakter sebagai dasar keberhasilan pemimpin-pemimpin dunia. Menurut Covey, etika karakter meliputi; integritas, kerendahan hati, keberanian, keadilan, hingga kerja keras.

Kedua, harus berpikir universal. Pemimpin dalam locus apapun harus menanggalkan pola pikir yang sectarian, primordial dan chauvinistic. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mengapresiasi dan toleran dengan kemajemukan (pluralitas). Dengan memosisikan pluralitas sebagai sebuah keniscayaan dalam kehidupan. Sehingga kosekwensi logisnya, apapun problema yang dihadapi, kehendak publik (res-publica) tetap diposisikan diatas kehendak privat (res-privata).

Ketiga, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tak takut dikritik. Tapi memosisikan kritik sebagai penyeimbang lajunya roda kekuasaan. Meminjam petuah seorang Sosiolog Jerman, “kritik terhadap kekuasaan yang tak jemu-jemunya dan dari saat ke saat, menjaga agar pohon kekuasaan tidak bakal bertumbuh mencakar langit.”

Seturut dengan sosiolog Jerman diatas, beberapa abad lampau Khalifah Umar telah mengajarkan kepada kita tentang pentingnya sebuah kritik. Alkisah, dalam suatu kesempatan, seorang sahabat, Khudzaifah bin Al Yaman mendatangi Khalifah, Ia mendapati Umar dengan raut muka yang muram, penuh kesedihan. Ia bertanya, “Apa yang sedang engkau pikirkan wahai Amirul Mukminin?” jawaban Umar sama sekali tak terduga oleh Khudzaifah. Kesedihan dan kegalauan hatinya, bukan karena banyak masalah rakyat yang sudah pasti membuatnya letih.

Kali ini Umar justru tengah khawatir memikirkan kondisi dirinya sendiri. “Aku sedang dihinggapi ketakutan, jika sekiranya aku melakukan kemungkaran, lalu tak ada orang yang mengingatkan dan melarangku melakukanya, karena segan  dan rasa hormatnya padaku,” ujar Umar pelan. Sahabat Khudzaifah segera menjawab, “Demi Allah, jika aku melihatmu keluar dari kebenaran, aku pasti akan mencegahmu.” Seketika itu, wajah Umar bin Khattab pun langsung berubah sumringah.

Keempat, memosisikan intelektual atau cendekiawan kritis sebagai mitra yang sebangun dan sejajar. Di Aceh, dinamika dan kompeleksitas wacana keilmuan bertumbuh subur. Namun kecendrungannya selama ini, intelektual atau cendekiawan yang kritis dipinggirkan dari jantung kekuasaan. Padahal mereka sangat potensial melakukan gerak perubahan.

Seperti yang dikemukakan Sartono Kartodihardjo (1984), intelektual sangat potensial untuk merealisasikan perubahan, karena didasarkan oleh beberapa hal, (1) dapat mengidentifikasi situasi serta permasalahan, (2) menghadapi berbagai gejala dan permasalahan secara kritis, (3) menginterpretasikan gejala sosiokultural untuk memberikan maknanya, (4) mentransendesikan realitas kekinian dan membuat proyeksi ke masa depan.

Inilah beberapa hal mendasar yang mesti dipertimbangkan oleh dr. Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf (Zikir) untuk memperkokoh nalar kekuasaanya, guna membawa Aceh ke tangga perubahan. Tentu, semuanya berpulang pada kehendak politik Zikir, apakah kekuasaan yang mereka miliki saat ini betul-betul diwujudkan sebagai sarana membangun kemaslahatan umum (bonum comunie). Atau sebaliknya, sebagai medium untuk membangun dinasti politik dalam rangka hegemoni kekuasaan?###

*Analis Sosial/berdomisili di Takengon

Comments

comments