Sukuisme adalah Hak Azazi, Tapi…

Pasca hebohnya berita tentang ucapan rasis dari seorang anggota DPRA terhadap para demonstran yang terdiri dari berbagai elemen mahasiswa yang berasal dari suku minoritas di Aceh. Saya membuat sebuah catatan, yang berisi tentang pandangan saya mengenai masalah ini.

Karena memang temanya adalah SARA, catatan ini pun tidak bisa tidak tentu saja mendapatkan berbagai komentar bernuansa SARA. Dan pada beberapa komentar ini bisa saya lihat, kalau ada dua kelompok besar pendapat. Yang satu menunjukkan kemarahan atau rasa jengkel, yang lain berusaha merasionalisasi dan membuat pelbagai alasan supaya saya dan kelompok minoritas lain yang merasa dilecehkan bisa memaklumi dan menganggap kecil masalah ini.

Meskipun beberapa orang dari kelompok kedua ini juga mengecam yang bersangkutan, tapi nuasnsanya tetap beda dengan kecaman yang dikeluarkan kelompok pertama. Kecaman dari kelompok kedua meskipun kadang keras, tapi tetap ada nuansa membela.

Dan sekilas saja, kita dengan mudah dapat melihat, siapa yang ada di kelompok pertama dan siapa yang berada di kelompok kedua. Yang jelas dalam kasus ini kita depat melihat dengan jelas, betapa masih kentalnya nuansa sukuisme di Aceh.

Sebenarnya, sukuisme dalam perngertian merasa nyaman tinggal berdampingan dengan suku sendiri adalah manusiawi dan dalam kadar tertentu itu adalah hak asasi.

Tapi kalau perilaku ini sudah dibawa ke ranah politik yang erat kaitannya dengan kekuasaan untuk mengatur hajat hidup semua golongan, tentu saja perilaku semacam ini akan meresahkan orang yang didiksriminasi, jika perilaku seperti ini dilakukan diam-diam pun orang masih resah, apalagi ini ditunjukkan terang-terangan.

Kalau seseorang yang memiliki kekuasaan politik tetap membawa perilaku seperti ini, bagaimana kita yang didiskriminasi bisa merasa yakin kalau yang bersangkutan akan bisa bersikap netral berdiri di atas semua golongan dalam menggunakan kekuasaan politik yang dia punya?…itu karena yang bersangkutan kurang pendidikan?…alasan ini bisa kita terima, tapi seharusnya pendidikan ini diberikan sebelum yang bersangkutan diberi kuasa. Ini kenyataannya dalam kebodohannya, yang bersangkutan sudah memiliki wewenang untuk membuat undang-undang.

Ini sangat mengerikan….

Yang lebih mengerikan lagi, orang yang sesuku dengan sang politikus juga cenderung menganggap kecil masalah ini, sebagian kecil memang mengecam, tapi jauh lebih banyak yang membela dengan berbagai alasan. Padahal ketika dulu sukunya didiskriminiasi oleh Jawa, yang membela ini pun dulunya bersikap persis seperti kami, ketika mereka berada di posisi seperti yang kami alami sekarang.

Untuk ini kesimpulan saya, cara pandang korban memang selalu beda dengan cara pandang pelaku rasisme, bahkan seorang korban pun ketika berada pada posisi pelaku, jadi sama rasisnya dengan orang yang dulu pernah bersikap rasis padanya. Jadi ini juga adalah sebuah renungan bagi orang Gayo dan suku minoritas lain.

Cuma pada akhirnya saya hanya ingin mengatakan, melihat fenomena yang ada sekarang, ketika seorang wakil rakyat resmi bisa tanpa rasa takut mengeluarkan sebuah ucapan RASIS di gedung parlemen. Dan pernyataan rasisnya itu pun mendapat banyak pembelaan dari orang sesukunya. Maka jelas, potensi konflik sudah di depan mata.

Sebelum potensi ini berkembang menjadi aksi, ada baiknya mulai sekarang langsung dipikirkan untuk memisahkan administrasi pemerintahan antara etnis-etnis yang dilecehkan dari etnis yang melecehkan.

Dan untuk ini diperlukan kesiapan dari kedua sisi, bukan hanya dari sisi suku Aceh sendiri.

Untuk bisa membuat provinsi sendiri, Gayo dan suku-suku minoritas lain membutuhkan beberapa tokoh yang cukup mumpuni yang punya visi, yang mampu mengelola sebuah provinsi. Bukan hanya sekedar beretorika.

Saya sepakat sekali dengan apa yang dikatakan oleh Awaluddin Goinvestsabang di catatan saya. Saat ini faktanya…..WARNA POLITIK MASIH BERPIHAK PADA EKS KOMBATAN GAM.

Ini perlu menjadi bahan pikiran bagi kita semua orang Gayo dan suku-suku minoritas lain.

Kalau tidak mau terus-terusan dilecehkan, kita juga harus membuktikan KITA MEMANG PUNYA KEKUATAN, sebab memang realitas politik di negeri ini hanya berpihak dan hanya mau mendengar suara yang KUAT.

Abdullah Saleh berani melecehkan kita, karena dia tahu kita cuma BACRIT padahal pada kenyataannya kita tidak bisa berbuat apa-apa. Kita cuma bisa MENGGERTAK saja, tapi akan lari terbirit-birit waktu benar-benar ditantang. Persis seperti kasus pencaplokan tari SAMAN, ribut sebentar, sesudah itu diam dan menerima keadaan.

Wassalam

Win Wan Nur

Anggota suku minoritas yang ada di Aceh