Oleh: Sabirin,S.IP,MA*
KITA tahu bahwa seluruh Indonesia saat ini telah melakukan pemilihan gubernur serta bupati/walikota secara langsung, bahkan sampai pemilihan Kepala Desa juga secara langsung. Usaha untuk mewujudkan demokrasi yang ditunggu ketika kita berada dibawah rezim orde baru benar-benar sudah terwujud di era reformasi ini. Sayangnya masih ada penilaian sumbang terhadap reformasi yang kebablasan saat ini.
Dibalik itu, saat ini juga ada yang terpilih menjadi kepala daerah (bupati/walikota) harus mendekam di balik penjara, akibat melanggara “sumpah” tidak korupsi kalau sudah menjabat. Disis lain, ada juga bupati yang sudah terpilih ke 2 kali namun berkeinginan terpilih kembali yang ke 3 kali dengan kendaraan politik yang berbeda dan itu sungguh sangat sangat naïf sekali.
Ada yang terpilih menjadi bupati yang melakukan perzinahan, jadi ketika yang bersangkutan bersumpah akan mencegah dekadensi moral nanti kalau sudah menjabat. Intinya jangankan yang bersangkutan peduli terhadap pemilihnya (umat) dalam kehidupannya pun belum tentu perduli dengan keluarga maupun anak kandungnya sendiri.
Salah satu perangkat yang beroperan penting dalam Pemilukada itu yakni Komite Pemilihan Umum (KPU), yang baru terbentuk tahun 2007 selang 2 tahun setelah pemilu 2009 sedangkan Bawaslu di bentuk oleh KPU pada saat itu di resmikan pada tahun 2008. Hal yang sangat kita sayangkan adalah, pembentukan KPU belum dilandasi oleh aturan hukum dan perundang-undangan yang kuat.
Dapat kita lihat dari ke 2 lembaga ini masih memiliki aturan dan mekanisme yang sama di dalam UU. Seharusnya ke 2 lembaga ini di ikat dengan satu peraturan UU dengan hanya berbeda mekanisme dan aturan main saja. Sehingga tidak akan terjadi kecacatan dalam demokrasi kita. (Mantan Ketua Bawaslu Pusat, Bambang Eka Cahya pada seminar nasional 24 mei 2012 di Universitas Muhammadiya Yogyakarta)
Bukti nyata kemudian adalah, maraknya kerusuhan pasca Pilkada di daerah dengan berbagai macam bentuk kasus-kasus yang berbeda pula, adanya pembengkakan suara, ada kandindat yang melakukan politik uang, ada pula yang menerapkan sistem otoriter terhadap bawahan nya, dan lain sebagainya.
Berbicara Mahkamah Kontitusi barang tentu kita mengenal lembaga ini sebagai lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Keberadaan sebagai sebuah lembaga negara yang bertujuan menegakkan konstitusi sedikitnya terpengaruh dan terinspirasi oleh keberadaan Mahkamah Konstitusi dari negara-negara yang telah lebih dahulu menganutnya seperti Jerman, Albania, Perancis, Thailand, Kolumbia, Georgia dan negara lainnya. Untuk melihat lebih dekat keberadaan MK Indonesia khususnya bagaimana eksistensi, kedudukan dan wewenangnya maka membandingkan dengan beberapa negara yang menganut sistem peradilan konstitusi akan lebih memudahkan memahaminya.
Sedangkan MK memiliki wewenang sebagai judicial review (praktik pengujian UU), Pengujian undang-undang terhadap UUD oleh Mahkamah Konstitusi di Thailand agak berbeda. Untuk mengajukan gugatan harus melalui dua tahap yakni melalui ombusman kemudian diseleksi untuk menentukan yang layak diajukan di sidang Mahkamah Konstitusi. Agak beberda dari Thailan adalah terbukanya ruang untuk mengajukan ke Mahkamah Konstitusi mengenai kualifikasi anggota dewan, anggota senat, menteri dan pejabat tinggi negara. Substansi dari ketiga praktek konstitusi ditujukan untuk menjamin kelangsung demokrasi konstitusional dan demi tegaknya hak-hak asasi manusia dari kemungkinan pelanggaran yang dilakukan oleh suatu produk perundang-undangan yang dihasilkan oleh legislatif dan eksekutif. (Jurnal Equality Vol. 14 No. 2 Februari 2007 Fisipol UGM).
Dari jurnal politik di atas dapat kita lihat bahwa tugas dan wewenang MK sudah sangat jelas. Jadi seharusnya pelanggaran-pelanggaran di pemilu dan pemilukada tidak ditanggani oleh MK. Menurut saya pakar ketatanegaraan, akademisi dan pakar politik serta di dukung oleh pemerintah harus mendesain format baru didalam ranah sistem pemilu kita. Perlu adanya di bentuk lembaga baru yang khusus menangani pelanggaran-pelanggaran pemilu di tingkat negara, provinsi, kabupaten dan kota. Sebab, hal yang sangat penting menurut saya pemicu konflik pemilu itu terdapat di akar bawah yaitu di tingkat pemilihan kepala daerah (bupati/walikota).
Perlu di kaji lebih jauh kenapa kemudian setiap Pemilukada tingkat kabupaten dan kota selalu terjadi konflik horizontal sebab tidak tertatanya sistem dan koordinasi yang kuat antara KPU sebagai penyelenggaran pemilu dan Bawaslu sebagai pengawas pemilu. Sehingga banyak KPUD dan Pawaslu tingkat daerah yang selalu dijadikan kambing hitam oleh komunitas masyarakat yang kandidat jagoannya kalah dalam pertarungan di Pemilukada.
Untuk menata itu semua bukan perkara mudah, KPU dan Bawaslu pusat harus membenahi dari segi pengrekrutan ketua maupun anggota di tingkat kabupaten/kota. SDM di daerah harus betul-betul memenuhi kreteria yang kredibel, tegas dan paham akan mekanisme dan aturan yang di tetapkan oleh KPU dan Bawaslu pusat, koordinasi pusat juga menentukan transparansi anggota di tingkat daerah dengan terjun langsung tim dari pusat untuk memantau pemilukada di tingkat kabupaten bukan hanya provinsi. Sebab, di tingkat provinsi pemilihan gubernur jarang kita mendengar kerusuhan yang mengarah ke tindakan anarkis dengan merusakan fasilitas umum seperti yang terjadi pada pemilihan bupati.
Solusi
Dengan mekanisme dan aturan yang belum tegas dan mash abstrak ini penulis mengajak masyarakat agar lebih cerdas melihat pemimpin dan wakil kita di tingkat DPR RI, DPRD Provinsi, Kabupaten serta Kota. Penting hal nya yang kita pilih adalah kejujuran serta budi pekertinya seimbang dengan kecerdasan intelektualnya. Dengan memiliki seni pendekatan kepemimpinan yang baik dalam bertutur kata serta prilaku dan perbuatan.
Jadi kita sebagai masyarakat yang cerdas perlu melihat titik temu moral“ seseorang dengan ilmu orang tersebut serta seni yang bersangkutan pada tataran aksiologi (bukti nyata tindakan di tengah masyarakat), karena pengetahuan tidak hanya berhenti pada tataran epistimologi (teori atau konsep pengetahuan) dan ontologi (substansi ) semata, tetapi juga pada tataran aksiologi secara filosofis harus berdialektika.
Kandidat pemimpin yang bijak dapat dilihat dari dialog antar para tokoh ilmu (akademisi, ulama, tokoh adat). Ilmu tanpa moral akan lumpuh ketika hanya mengandalkan kekakuan disiplin ilmu akan buta karena kesesatan yang tanpa mengandalkan kekuatan ilmu.
Untuk para tokoh adat dan ulama serta strong man di tingkat bawah harus transparansi dan mampu mengontrol masyarakat agar lebih cerdas dalam berpolitik, budaya dan kearifan local yang telah berabad-abad menjadi pedoman masyarakat kita menjadi satu hal yang harus di tumbuh kembangkan kembali. Seperti amanah muyang datu te “ Reje musuket sifet, Petue musidik sasak,Imem muperlu sunet, Rayat genap Mufakat”. Pesan ini menurut penulis ibarat idiologi yang mampu merubah paradigm berpikir dan mengubah tatanan hidup bermasyarakat yang memiliki derajat yang tinggi di antara bangsa lain, selama ini kita bangga dengan semboyan Demokrasi padahal jauh sebelum negara Amerika membombandir idiologi demokrasi ke berbagai negara termasuk Indonesia, idiologi Demokrasi ini telah berjalan dan terbukti dalam pemerintahan Sarak Kopat di negeri Gayo tercinta kita.
Saya mengajak kepada semua kalangan baik pelajar, mahasiswa, akademisi serta masyarakat gayo untuk mengubah cara pandang kita terhadap politik praktis yang selama ini telah meracuni tatanan bermasyarakat kita, kita sebagai masyarakat yang memiliki identitas dan nilai budaya yang tinggi harus terus berjuang mempertahankan dan memperkenalkan kepada dunia bahwa sistem politik lokal kita (sarak opat) yang berlandaskan musyawarah dan mufakat menjadi suatu senjata politik yang ampuh menuju tatanan masyarakat modern.###
*Mahasiswa Pascasarja UGM Yogyakarta asal Takengon
KPU/KIP bagaikan bandar, KANDIDAT sebagai pemin sementara itu BAWASLU/PANWAS bagaikan macan ompong, KPU/KIP bagaikan Tuan/majikan sementara BAWASLU/PANWAS bagaikan pembantunya. Kenapa Kandidat selalu menang? karena dana Pilkada bersumber dari APBD, untuk pencairannya banyak syarat yang harus dipenuhi oleh KIP termasuk sekenario pemenangan incumbent, sebaiknya dana Pilkada langsung dari APBN baru kelihatan Jantan atau tidak para Kandidat incumbent. Pengecualian di Bener Meriah mesin penyiram “money politik” Incumbent sudah bekerja maksimal tapi habis ke laut alias jadi kotoran pilihan tetap hati nurani, kondisi ini mungkin dapat dijadikan contoh dan pelajaran bagi para Kandidat 2017 mendatang.
terimakasih …. dan yang sangat setuju, adalah;
Saya mengajak kepada semua kalangan baik pelajar, mahasiswa, akademisi serta masyarakat gayo untuk mengubah cara pandang kita terhadap politik praktis yang selama ini telah meracuni tatanan bermasyarakat kita, kita sebagai masyarakat yang memiliki identitas dan nilai budaya yang tinggi harus terus berjuang mempertahankan dan memperkenalkan kepada dunia bahwa sistem politik lokal kita (sarak opat) yang berlandaskan musyawarah dan mufakat menjadi suatu senjata politik yang ampuh menuju tatanan masyarakat modern
Terimaksih saudaraku atas kontribusinya demi kebaikan Negara ke depan secara keseluruhan, ini mungkin baik sebagai konsep pendukung dari yang sudah ada:
1. kenali diri pribadi calon tersebut, bagaimana hubungannya dengan Tuhannya?
2. kenali dahulu pribadi Calon tersebut, apakah dia benar-Benar setia terhadap dirinya sendir?
3. kenali dahulu diri pribadi Calon tersebut dan hubungannya dengan Ibu, Bapaknya dan keluarganya, apakah mereka setia dengan mereka “bukan KKN”
4.Kenali dahulu diri Pribadi Calon tersebut dan hubungannya dengan tetangga atau masyarakatnya, apakah dia prduli dan setia kepada mereka?