Ahoi Wiw dan Benyang serta Seladang Mengulang Resam

Catatan Win Ruhdi Bathin*

KAMPUNG TOWEREN SONTAK SEPI. Tak ada aktipitas di Kampung yang merupakan bagian sejarah Linge dengan Syiah Utamanya. Padahal kampong ini biasanya ramai dengan kehidupan penduduknya yang petani dan nelayan.

Rumah reje Baluntara yang tak terawat menunggu rubuh dimakan zaman , berada di sudut kampong yang dibangun tanpa paku dan berusia ratusan tahun, seolah semakin membuat Susana menjadi hening.

Ada apa di Kampung Toweren?. Rumah –rumah papan yang berderet dan sangat sederhana memisahkan antar Kampung dan belah (puak), lengang. Kehidupan seolah terhenti. Padahal ini lagi musim panen padi dan musim kuyu depik.

Sementara diujung sana, tak jauh dari sisi pantai Kuala, terdengar sorak sorai. Suara perempuan Gayo yang mulawi dan berteriak , “Ahooooi Wiwwwwwwwwww”…..

Apa sesungguhnya sedang terjadi?. Perempuan berkelubung  upuh panyang yang lama disimpan di lemari kayu, kini menghiasi setiap kepala perempuan disana. Bukan hanya para kaum tua, juga anak-anak perempuan yang diberi ibunya solek pemanis wajah lugu.

Lelaki Toweren tak mau kalah, celana Yy yang berasal di era tujuhpuluhan menghiasi tubuh bersama upuh kerung diikat dikepala dengan rokok ulung lipah. Sebilah golok atau lopah bertengger di pinggang mereka.

Toweren benar-benar berada pada era dimana kearifan lokal dan bersahabat dengan alam begitu kental. Tikon serule, raden-raden, jamur ume ari serule, belat, mujek menggunakan kaki, tepok didong hingga depik dedah bersama belah rum serta gelas ari uluh, tersedia.

Suasana begitu indah. Dimana tehnologi dan produk plastic belum mengintervensi nilai-nilai luhur yang menjadi tradisi. Belum lagi rapalan do’a –do’a dan prosesi lainnya begitu mulia. Dimana sebutir padi begitu mendapat tempat terhormat karena telah memuliakan manusia.

 Waktu seolah kembali kezaman dimana adab dan sopan santun dipertaruhkan sebagai sikap dan tindak. Tak ada pertarungan manusia dan alam. Apalagi kerakusan mengekploitasi alam sekitar tempat tingggal. Hingga berbalas bencana sebagai bentuk serangan balik dari alam yang marah.

Semuanya begitu bersahaja. Jamur dibuat beratap daun pohon serule yang tumbuh diseputar kampung. Tiangnya dari tersik atau bambu dengan ikatan jalinan rotan. Kondisi jamur bisa dinaikturunkan hanya dengan menggunakan keuatan suutas tali (Knockdown).

Belum lagi benyang yang dibuat dari bambu dengan jalinan tali dari hutan yang berfungsi sebagai tempat munangin dengan pepanyi dan pepilo sebagai tanda arah angin serta kapan bili diangkat menajurkan padi.

Memisahkan bulir padi yang berisi dan membuang ampa. Jangin , didong, suling serta ahoi wiw adalah seni penyeling waktu menunjukkan espresso gembira dari beberu yang berpakaian ilang ijo kuning karena senang hatinya.

Hidup menjadi demikian bermakna. Apalagi menjalani hidup dengan arif. Menyeimbangkan akal, hati dan rasa Terima Kasih pada Sang Khaliq dalam setiap gerak napas, langkah dan interaksi social. Materi bukanlah tujuan, tapi hanya sebuah bagian dari puluhan, ratusan, ribuan dan bahkan jutaan cara hidup dengan santun dan bertanggungjawab.

Toweren mengulang masa. Dalam era adab dan sopan santun serta budaya yang tinggi sebagai pagar agama. Kearifan lokal yang telah lama hilang selama puluhan tahun. Pada Minggu, 10 Juni 2012 coba dibangkitkan kembali.

Seolah mengenang keindahan masa lalu yang penuh adab itu, tak tua atawa muda, semua berperan serta. Masyarakat Toweren menyambut baik kegiatan Resam Berume yang diadakan Dinas Kebudayaan Pariwisata Aceh Tengah.

Antusiasme warga beralasan kuat. Toweren adalah lingkungan yang diapit Danau Luttawar, sawah serta kawasan pegunungan. Sejak lama, kearifan lokal begitu kental di Kampung yang masuk Kecamatan Luttawar ini.

Pelaksanaan syariat Islam sudah lama dilakoni warga dengan cara nyata. Bukan teori. Dulu, bukti pelaksanaan syariat Islam di Toweren adalah adanya “Keben Syariet”. Artinya semacam tabungan dari sedekah dan infaq warga yang dikumpulkan untuk membiayai kegiatan agama.

Seperti untuk melanjutkan sekolah dan keperluan social yang dananya disediakan dan dikelola bersama. Selain itu, hingga kini masih  dipisahkan Mersah untuk kaum ibu dan kaum bapak. Masuknya tehnologi mesin dan plastic, secara bertahap, kearifan local diberangus zaman hingga menyisakan berbagai alat tradisional sebagai simbol masa lalu.

Benda peninggalan Resam Berume sekitar duapuluhan tahun ini, menjadi bahasa tanpa kata. Setiap benda kemudian berbicara dengan bahasanya sendiri. Seperti bahasa jangkat untuk membawa beban di puncak warga Gayo.

Seperti bahasa bili untuk wadah padi saat munangin rom atau alas maram yang berasal dari kertan yang terkena air sehingga tampak lapuk. Lihatlah bagaimana rapalan anan-anan saat benoh pertama sampai ke seladang.

Tangkai-tangkai padi yang disebut raden diangkut bebujang ke seladang, oleh seorang tua, diperlakukan seperti seorang bayi yang harus diperlakukan dengan hormat dan lembut karena telah melakukan Sunatullahnya menyambung hidup manusia.

 Rapalan manat berupa lantunan ayat suci dan kata-kata bijak berbahasa Gayo, seolah sedang melakukan komunikasi dengan mahluk hidup, adalah bagian penting berume. Air yang ditempatkan di keni atau botol menjadi perantara “bahasa” dua dunia itu.

Maknanya, ujar seorang tua yang berkelubung dan mulutnya merah karena sirih, berfilsafat. Ada padi yang jatuh dari tangkainya, bertebar di tanah dan patal-patal yang tak mungkin dilelesi satu persatu diharapkan akan kembali menyatu dengan raden yang telah ditempatkan didalam seladang, semoga menyatu. Sehingga tak ada yang sia-sia atau disia-siakan.

Kesadaran akan terbatasnya kemampuan manusia dan tak ingin membuat padi kecewa. Disana juga dedingin sebagai alat tawar. Serta sebuah batu yang bertanda empat arah mata angin. Barulah setelah manat disyahadatkan pada padi, raden-raden disusun empat persegi dalam seladang.

Mulailah para kaum lelaki beraksi. Menggunakan kekuatan kedua kaki merontokkan padi dari radennya. Dua bershaf memanjang. Di bagian hilir, sudah ada beberu yang akan mengolah raden menjadi jempung dan menjatuhkan sisa padi yang mungkin terjebak dalam tumpukan jerami yang kini terurai.

Penyangga kaki yang bekerja mundur kebelakang, menghadap seladang,  mugerbol, dipakai tikon atau tongkat dari serule yang daunnya untuk atap seladang. Sambil berdidong atau bersiul menyenandungkan lagu bahagia.

Saat raden menjadi jempung, teriakan Ahoi Wiw kembali menggema disertai gelak tawa perempuan yang tersenyum hatinya di panen raya. Membuang jempung ke tempat terakhir perjalanan  padi.

Hari belum malam. Resam berume belum pula di ujung senja. Tanda berakhirnya hari digantikan malam. Setelah mujek selesai, kerjaan berbagi. Apalagi mentari masih diatas pusar .Kini kaum perempuan Gayo mengambil peran. Padi dikumpulkan untuk dibersihkan. Namanya Munangin.

Munangin adalah proses dimana padi dipisahkan dari sampah dan ampa. Caranya, seorang kaum ibu menaiki tangga dari bambu. Bambu berbentuk segitiga ini ditempat tak jauh dari Seladang. Tinggi Benyang diatas satu meter.

Pepanyi atau sebuah tiang bambu yang dipasang dengan kain dipuncak bambumenandakan arah angin saat pepanyi berkibar. Pepilo juga berpungsi sama. Mulailah padi dalam bili dijatuhkan dengan tangan kanan seperti menari-nari lincah.

Ampa terbang jauh, padi jatuh ke alas yang dibawahnya persis ada keni..

Ahoi wiw……ahoi wiw..

….

Toweren berubah pada hari Minggu itu. Lelaki perempuan berada di sawah. Anak lelaki dan juga perempuan sekolah dasar dan menengah. Mereka berpakaian tradisional Gayo dengan kelubung. Sementara anak lelaki berkopiah dan upuh kerung yang diselempangkan di tubuh mereka. Gayo banget.

Sehari sebelum acara resam berume digelar,  Kemukiman Toweren, seperti Toweren Antara, Toweren Uken, Toweren Toa dan Waq Toweren, tampak sibuk. Lelaki tua dan perempuan berusia setengah abad turun tangan.

Mereka semua tampak bergairah. Bak mengulang sejarah, kaum bapak masih cekatan menyematkan tali rotan pada jamur untuk seladang. Mengukir bamboo dan menyiapkan benyang. Mereka bergotong royong, menapikan aktipitas harian mereka demi   mengembalikan keindahan masa lalu, Resam berume.

Sebuah proses pembelajaran tentang kearifan ala Gayo. Yang kaya akan makna filosofi tentang adat dan budaya yang mendahulukan adab. Sementara lelaki Gayo yang lebih muda, menyaksikan kerja kaum tua.

Masih belum terlambat mengulang masa yang indah dan bijak dari resam berume. Karena masih ada tangan terampil dan bukti keindahan masa lalu dari barang sisa yang tak lagi diproduksi karena digantikan plastik dan mesin.

Bili menjadi barang antik yang sudah kusam serta beberapa bagian disikat tikus. Alas disimpan beriringan dalam santon. Demikian halnya jangkat yang meri serta keni yang retak di para buang.

Demikian para ibu di empat Kampung. Mereka membantu kaum bapak menyiapkan besok yang meriah. Ada keakraban yang lama tak terjalin. Ada kerinduan akan masa lalu yang ahoi wiw.

Marak meriah resam, tak hanya pada prosesi dan ritual panen padi. Masing-masing kampung menyiapkan acara makan siang dengan menu tradisional Gayo. Disana ada depik dedah yang sedikit asam sehingga menambah nasi karena menggugah selera.

Cecah agur, jantar masam jeng serta belah rum, menambah suasana semakin larut akan resam berume. Baong, sapaan untuk Pj bupati Aceh Tengah yang nama aslinya Ir.Moch. Tanwier bersama Dandim Aceh Tengah Letkol Inf Sarwoyadi, cicipi belah rum serta meminum kopi bergelas bambu dengan gula aren sebagai pemanis. Bukan itu saja, anggota Muspida ini juga menjajal rokok olong.

Semuanya dilakukan disawah Kuala Toweren yang terhampar dengan terpaan angin kencang. Teratak yang dipasang digulung angin Toweren. Untung tak ada korban. Tapi empat jamur serule yang disebut seladang, mampu menahan goyangan angin barat.

Duh indahnya tak terperi kata. Semua orang tersenyum hatinya. Tak tua, apalagi yang muda.Ahoi wiw tak terhitung jumlahnya. Melantun di udara, entah sampai kemana. 18 giga memori Munawardi, tak cukup merekam suasana.

Puluhan fotographer lokal dari berbagai media, tampak sibuk mengambil sudut dan moment yang tak  didapat berpuluh tahun kecuali dalam foto lama yang mulai lapuk. Akh…banyak orang sama, agar acara serupa diulang tahun depannya.

Untuk dijadikan agenda tahunan yang mampu membangkitkan semangat baru akan masa lalu yang begitu arif. Semoga disahuti wakil rakyat yang kini tampak tambun dengan safari berkantong empat dan mobil trendi keluaran terbaru.

Apalagi kini, para wakil rakyat ini diimingi materi berlimpah mengelola uang aspirasi diatas Rp.1 milyar persatu orangnya. Wakil rakyat menjadi soal sendiri yang dicibir karena mewakili massanya nikmati plesiran dan gaji berbelas juta.

Salut dan perlu diacungi jempol bagi penggagas resam berume ini. Karena telah mengembalikan jati diri Gayo . Memang tak ada yang sempurna. Tapi penghargaan dan penghormatan layak diterima.

Toweren 10 Juni 2012. Suara didong dan tari tradisi digelar didampingi organ tunggal. Inilah pembeda antara dulu dan sekarang. Teratak dan organ tunggal. Plastik dan mesin perontok padi yang membunuh seladang.

Tikar plastik membuat alas dari kertan hanya turun saat upacara adat semata. Tak ada anan yang munoleng kertan disagi kampung dalam kulem. Mesin-mesin prontok padi dan penangin telah berhasil mematikan kearifan lokal.

Semuanya kembali kepada para penjaga tradisi. Akan terus melanjutkan pelajaran berharga ini atau membiarkannnya mati setelah coba mekar. Semuanya teserah Kepada kita semua.

Tak ingin pulang rasanya dari Toweren. Apalagi suara suling masih terdengar. Suara bebelen bernada sendu masing terngiang. Aku memang Gayo, tapi Gayo lelang yang tak tahu tradisi  dan benyang berkaki tiga…aku adalah Gayo lelang yang dininabobokkan mesin tikar plastik. Ahoi wiwww .

Akankah kulihat lagi, nangkap jemur, begegaloh, getih, kekepak, mumio , pepantaran….aku tak yakin. Tak mampu menjaga tradisi tak lagi menjadi diri sendiri. Tidak pula menjadi lebih, kecuali menjadi manusia instant. Manusia transisi ke pinggir jurang materi berupa uang, kekuasaan,perempuan dan korupsi serta jual beli kasus dan hukum. Kalau ada uang semuanya bisa dibeli.

Semoga resam berume Toweren membuat kita sedikit berkaca tentang hati, adab,dan nurani. Bahwa ada bahasa tak berhurup yang bisa dibaca. Kecuali dilakukan dengan perasaan. Dan itu yang kita tidak punya……. (Toweren, 10 Juni 2012. Resam Berume)

 *Pemimpin Redaksi Media Online Lintas Gayo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments