Oleh: Mukhlis Muhdan Bintang
MALAM itu, jam di telepon genggam bututku menunjukan pukul 00.30 WIB. Mata setengah indahku, tidak bisa kupejamkan. Alis berkerut, kepala pusing tujuh keliling. Rasanya seperti ada segerombolan anak manusia, yang sedang berolah raga marathon malam dalam kepalaku. Oh Tuhan, Sakit. Selain kepala, Gigiku juga sakit sekali. Kalau di kepalaku rasanya seperti orang yang sedang marathon malam, lain halnya dengan di gigiku. Sakit yang menderanya, seperti orang yang sedang menyinso pohon vinus di hutan kerajaan Linge abad ke-15.
Lengkap sudah penderitaanku. Mulutku kembali mendesah, menahan rasa sakit yang teramat sangat. Kemudian aku memijat-mijat kepalaku, berharap agar sakit berhenti seketika. Mulutku melapalkan mantera-mantera alias mejik bintang, yang di berikan oleh awanku yang berasal dari negeri Linge. Hasilnya jangan ditanya! Jangankan berhenti, yang ada malah sakitnya semakin menjadi-jadi. Saat itu, pikiranku melayang entah ke mana. Kadang terlintas di pikirku, mungkin aku tidak lama lagi meninggalkan dunia yang penuh sandiwara ini.
“Subhanallah, subhanallah, subhanallah.” Aku bertasbih pada Allah. Lama aku bertasbih, dicampur dengan rintihan kesakitan. Tanpa ada satu anak manusiapun yang peduli. Kuberanikan diri keluar kamar, berharap agar setidak-tidaknya pikiran ini tidak melayang ke mana-mana. Kulangkahkan kakiku yang rasanya sangat berat sekali, ke luar kamar menuju gazibu setengah lusuh.
Aku duduk terdiam, tanpa aktivitas. Tanpa gumaman mejik bintang lagi, sudah tak mempan. Angin barat daya malam, sangat dingin. Mulai menusuk pori-pori kulitku yang kering. Aku menggigil, namun aku tetap bertahan di posisiku. Entah karena apa, telingaku sangat peka malam itu. Serasa mendengar lolongan anjing yang sangat banyak sekali. Dari banyak suaranya, mungkin anjingnya berjumlah seribu anjing. Suaranya pun sangat bervariasi. Ada yang melolong, seperti lolongan anjing yang sedang melihat setan. Ada pula seperti anjing yang lagi mengejar pencuri martabak telur pak Hasbi. Aku tidak tahu, entah dari mana asal suaranya.
Kudengar juga, suara cicak di dinding yang sedang bernyanyi. Suaranya seperti orang yang lomba parade lagu keroncong saja. Suara dedaunan, dari lebat pohon nangka dan belimbing. Berisik sekali, di terpa angin malam barat daya. Sebenarnya aku tidak betah berada di bibir rumah. Ingin sekali kembali masuk ke dalam, tapi entahlah saat itu seperti ada yang menahan langkah kakiku menuju kamar yang tak nyaman.
Lama aku mendesah, menahan sakit. Mataku menatap tajam, ke arah pohon mangga. Tapi tanpa ada makna sedikitpun. Tiba-tiba batinku gelisah seperti biasa. Pikirku berpikir entah ke mana. Biasanya kalau datang penyakit itu, aku seperti orang setengah gila. Kemudian pertanyaan yang biasa muncul adalah pertanyaan klasik, kenapa ya aku seperti ini? Kenapa aku seperti mayat hidup? Ke mana aura positifku? Segudang pertanyaan itu datang dari otak bagian kananku, kemudian mengalir dalam dada. Setelah proses itu, pasti darah dengan suka rela mentransfer pertanyaan itu ke iga mulut. Terakhir, mulut pun tanpa di perintah langsung mengucapkannya. Walau kadang bunyi suaranya hanya mampu didengar raga. Aku ini bak manusia tanpa makna, aku bagaikan orang yang berjalan di penatnya malam. Tanpa tahu arah, tanpa tujuan, tidak bisa meraba. Tuhan, Rabbul Jalil. Aku hampa. Sekarang, aku berada di titik tanpa klimaks. Aku benar-benar berhenti. Benar-benar bisu, tidak bisa bergerak.
Detik jam di jam tanganku berlari kecil, namun pasti. Detik itu berubah menjadi menit, menitpun tak mau ketinggalan. Berjalan pelan, kemudian berubah menjadi jam. Tanpa terasa jam berganti menjadi hari, hari berganti hari. Kemudian menjadi satu minggu dan begitu seterusnya. Seperti biasa, saat malam menjadi penguasa kegelapan. Rembulan beralih posisi menjadi bidadarinya malam, mengalahkan indahnya kicauan burung di senja hari yang mencari tempat peraduannya. Taburan bintang gemintang sang pangeran malam, menampakan cahaya keperkasaanya terhadap manusia. Lebih dari itu, sebenarnya ingin menunjukan pada sang bidadari malam. Dia berharap dengan sepenuh harap, agar rembulan mau menjadi permaisurinya.
Malam berganti malam sudah kulalui, kalau disejajarkan dengan umurku, yang sudah mendekati dua puluh tiga tahun ini. Berarti sudah ribuan malam kulewati. Aku merasa malam-malam yang telah kulewati hampa tanpa ada makna sedikitpun. Qiyamullail yang dianjurkan kanjeng Nabi sangat jarang, bahkan hampir tak pernah kutunaikan. Hanya ada sejuta keresahan, ribuan keluhan. Aku selalu kalut. Tapi ketika kutanya sendiri pada raga ini, kenapa aku kalut? Aku tak menemui jawab.
Kurebahkan tubuh ini, ke atas gazibu yang beralaskan bambu Jawa. Tanganku kuletakkan di dada. Mataku menatap ke atas, masih dalam proses perenungan keresahan. Daun dari pohon nangka berjatuhan, bebaslah ia ke bumi Gusti Ilahi yang sering di rusak oleh tangan-tangan rakus manusia. Serakus kucing kelaparan, memakan ikan di atas meja. Tanpa pernah berpikir, bahwa ikan itu adalah milik tuannya yang seharusnya dijaga.
“Ya Rahman, Ya Rahim. Gusti Allah SWT, betapa indah ciptaan-Mu.” Suaraku lirih. Kutatap rembulan yang elok rupawan. Di samping kanan kirinya, ada dua bintang yang gagah seakan ikut berlomba menggodanya. Aku tersenyum, namun anehnya batinku tidak merasa bahagia. Pikirku kalut. Oh, Gusti Allah SWT, kenapa?
Lama beradu pandang, dengan sang primadona dan pangeran malam. Aku bingung, kenapa mereka tidak mau senyum padaku ya? Aku berujar. Mereka diam, hanya menatapku. Lantas beberapa saat, mulutnya seakan terbuka lebar. Selebar semesta alam, bagai teriak. Aku yakin terikan itu, dialamatkan kepadaku.
“Sungguh engkau wahai anak manusia, benar-benar orang yang merugi. Kau sia-siakan waktumu, kau lewatkan kesempatan besar yang sangat berguna bagi hidupmu. Aku tahu kau mempunyai sejuta mimpi. Akupun mengerti bahwa kau ingin jadi ini, kau ingin jadi seperti itu. Tapi akupun paham, semua hanya seperti mimpi yang tak akan pernah tercapai. Engkau menghabiskan waktumu hanya untuk sejuta khayalan, keluhan. Bukankah engkau telah mempelajari pelejaran fisika, ketika masih duduk di bangku SMA. Bahwa usaha sama dengan hasil, yang artinya apabila usahamu besar maka kau akan mendapatkan hasil yang besar pula. Begitu juga sebaliknya. Sejauh apapun cita-citamu, Sebagus apapun anganmu, tidak akan pernah berhasil kalau usaha yang kau lakukan hanya berusaha mengkhayal. Menjadi orang besar, harus dengan proses yang besar juga.”
Rembulan itu, bernada semakin tinggi. Seperti sang motivator ulung ala James Okhan dari Negeri Ratu Elisabeth. Sungguh tak berhenti di situ saja. Dia bagi tak heneti terus memberikan suguhan-suguhan pada benakku.
“Wahai jiwa yang tak berguna. Sudah berapa lama kau belajar agama Ilahi? Sudah berapa hadist yang kau hafal? Sudah berapa ayat Al-Qur’an, yang sudah kau simpan dalam memorimu? Bukankah kau sering baca firman-Nya? Al-qur’an, surat Al-Asri. “Wal asri” yang artinya ”demi masa”. Demi waktu, sungguh jangan pernah menyia-nyiakan waktu. Karena siapa yang menyia-nyiakan waktu, dia adalah orang-orang yang merugi. Jika kau bermain dengan waktu, sungguh engkau akan dimakan zaman. Betapa juga sering kau dengar dari ustad kondang seperti K.H Zainuddin M.Z, yang dikenal dengan K.H sejuta umat dalam siraman rohaninya. Malontarkan pepatah arab, Al waktu kasaif yakni Waktu adalah pedang bermakna. Jika kau sibuk hanya dengan mimpi-mimpimu saja, tanpa ada kerja keras. Kau akan hanya menjadi pecundang. Kau orang aneh wahai anak manusia, Kau tahu tapi hanya tahu saja. Kau hafal tapi hanya sekedar hafal saja. Kau juga mengerti, tapi hanya berhenti di kata-kata paham saja. Seterusnya kau hanya berdiam, seperti baja kaca.” Dia menghardikku. Rembulan itu, Oh Tuhan! Aku terpukau, aku tertunduk.
—
Malang, tengah malam, Rabu 14 Desember 2011
BIODATA:
Mukhlis Muhdan Bintang, S.S. Lahir di Bintang, 4 Oktober 1986. Dosen Bahasa Inggris STAI Gajah Putih Takengon. Duta Wisata Provinsi Aceh.