Pagi itu mendung. Di sela perbukitan angin yang menyejukkan, langit biru yang tampak sedikit pekat. Pelan-pelan Awan pun menghilang. Dari berbagai penjuru Angin berhembus. Orang bilang kota di wilayah Tengah Provinsi Aceh adalah kota dingin. Kota yang kaya dengan hasil kopinya.
Jarum jam di dinding mengarah pada angka 8.12 Wib. Teringat janji dengan salah seorang di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Bener Meriah. Membungkus badan dengan kain tebal, jaket parasut yang berlapis. Dengan ucapan singkat, “Bismilah”, Aku berangkat ke Bener Meriah. Dari arah simpang empat, lampu-lampu jalan dua jalur seperti jembatan gantung mulai padam.
Seperti biasa. Aku singah, di café batas kota, “penikmat kopi tanpa batas,” Paya Tumpi. Disinilah kebiasan ku ngopi. Rasanya tanpa secangkir kopi, pikiran tak akan terbuka.
Kembali ke peraduan. Menunggangi sepeda motor, melalaui arah jalan dua jalur itu, hanya sampai satu kilometer, melewati batas kota, jalan pun kemudian menyatu menjadi satu. Disebelah kiri jalan ada jurang kedalaman satu meter, bekas kerokan, sudah 5 tahun jurang itu dibiarkan begitu saja, banyak korban kecelakaan di lokasi itu.
Konon, jalan propinsi ini dikerjakan rekanan lokal dengan sumber APBK. Sepanjang simpang arah Terminal Paya Ilang di sebelah kiri dan simpang Paya Serngi sebelah kanan. Setelah dikerok, yang tersisa hanya badan jalan, jalan ini dibiarkan ternganga begitu saja .
Padahal ini jalan utama Takengon – Bireuen yang dilewati pejabat daerah dan anggota DPRK jika keluar daerah, tapi dibiarkan begitu saja. Tak peduli berapa sudah banyak korban. Ini hanya sebuah gambaran yang terjadi.
Alasan ganti rugi tanah yang menyebabkan pembangunan jalan ini tak dilanjutkan, sementara korban kecelakaan terus berjatuhan.
Sekitar satu kilometer kedepan, antara perbatasan kampung Paya Tumpi dan Kampung Bukit sama Kecamatan Kebayakan, ruas jalanya menjadi luas sekitar 12 meter, gunung-gunung dibelah demi pelebaran jalan Takengon – Bieruen, dengan mengunakan sumber dana APBA Tahun 2012.
Dengan pelebaran jalan tersebut. kini, hanya 2 jam Jarak tempuh ke kabupaten Biereun. Lebih cepat 1 jam dari sebelum pelebaran jalan itu.
Tikungan jalan tidak lagi begitu tajam, kini kelokan jalan berkisar 30 derajat dari 50-60 derajat. Di simpang teriti kabupaten Bener Meriah, Aku memilih jalan pintas menuju kantor DPRK Bener Meriah.
Dari simpang Teritit , belok kanan . Sepanjang 1 kilometer ada pelebaran jalan. Jalannya bagus, namun hanya sekitar satu kilometer, lucunya selesai tanjakan kampung Blang Panas, Kecamatan Bukit, jalan mulai banyak berlubang dan berbatu.
Di Pengkolan Uning Bersah, jarum speed meter sepeda motor ku menunjukan angka 1322 kilometer, itu artinya sekitar 15 kilometer jarak tempuh dari rumahku ke Uning Bersah, kampung Blang Panas. setelah melampaui satu tikungan dan bertemu jembatan, Aku berhenti sejenak.
Selasa Pekan lalu, aku melihat orang sedang menambal jalan berlubang. Lubang jalan yang berukuran dua meter persis di dekat jembatan. Dekat tikungan tajam, sempit dan berlubang. Bagi penguna jalan memang harus berhati-hati, kalau tidak akibatnya bisa patal. Bisa-bisa masuk ke bawah jembatan.
Sepeda motor, aku parkirkan dibelakang vespa sprint berwarna putih bercampur kuning 1976. Diam-diam aku menghampiri laki-laki setengah baya itu.
Ia mengenakan topi coklat dengan pakain kaos warna merah hijau, model gaya anak muda, dilegan kanannya bertuliskan angka 8. Baginya kaos angka 8 itu adalah angka keramat. Postur tubuhnya berisi, tingginya sekitar 157 cm. Kulitnya putih, muka berbentuk opal, mancung, raut wajah sedikit berkerut, umurnya sekitar 61 tahun.
Namanya Firdaus Chalid, Vespa sprint 1976 itu adalah kenderaanya. di kendaraanya adas golok, oli bekas, gergaji. Aku menghampiri dan mengamatinya, ia sedang memegang linggis dan skop semen penghalus. Alat Itulah yang ia pakai dalam menambal jalan.
Kemanapun Firdaus pergi , matanya nanar melihat dan memetakan lokasi jalan yang rusak serta berlubang. Sehingga beresiko kecelakaan.
Lubang-lubang ditengah jalan inilah yang kemudian ditambal Firdaus . Tak peduli batas wilayah, Takengon atau Redelong. Ia hanya sendiri menambal jalan dengan material seadanya.
Terkadang, Firdaus membawa kepingan aspal yang dibalur oli sebagai pencairnya dari tempat lain . Kemudian diratakan dengan sendok semen penghalus. Jalan berlubang pun menjadi enak untuk di lalui.
“Enak dek, enak,” begitu katanya ketika seorang cewek cantik melintasi jalan berlubang yang sedang ditambal Firdaus.
Itulah salah satu keseharian Firdaus. Seorang Fotographer tiga zaman yang hingga kini masih aktip. Meski usianya tak lagi muda, namun semangat berkarya dan berbakti untuk orang banyak, dilakoni Firdaus dengan nyata. Tanpa banyak teori dan orasi, Just Do It.
Firdaus yang kukenal, orangnya kocak, suka seloro, dan suka marah juga, kalau sesuatu yang sudah menjadi aturan dan dilanggar. Ia pasti akan marah. Tak peduli siapapun pelanggarnya. Itulah seorang Firdaus, seoarang ayah yang bebas dan merdeka dalam berkarya dan beramal.
Tikungan dekat jembatan Blang Panas memang sempit. Sesaat Firdaus harus menyetop kendaraan dari arah Kampung Blang Panas, dan mendahulukan kendaraan dari arah Simpang Tiga Redelong, begitu seterusnya secara bergantian, demi menghindari kecelakaan.
Sesaat kendaraan sunyi melintas jalan, Firdaus melanjutkan menambal lubang kembali.
Para pengendara motor kadang merasa aneh melihat Firdaus, bekerja sebagai penambal jalan. Terkadang ada yang senyum sambil mengelekson kendaraan, ada yang cuek, ada yang mengelekson dengan kuat, untuk menyuruh minggir. Itulah suka dukanya menambal jalan yang dirasakan Firdaus langsung.
“Lubang ini, kedua kalinya saya tambal,” kata Firdaus kepada ku sambil mengeluarkan air dari genangan lubang. Parit itu, harus dibersikan, supaya air tidak keluar mengalir ke badan jalan. Dinas Pekerjaan Umum kerjanya hanya bisa membuat, tapi tidak dapat memperbaiki, seharusnya kan di rawat,” Kesalnya.
Korupsi, kata yang ia benci. Pembuatan jalan salah satu contohnya. Banyak kontraktor mengurangi volume material jalan dari yang sudah di standarkan. “Mengurangi volume material itu kan korupsi, jadi wajar jalan disini cepat rusak,” Kata Firdaus.
Pernah mantan Kepala Dinas Pekerja Umum Aceh Tengah, memanggil Bang Daus, pangilan akrabnya. Ketika itu dia dengan seoarang tukang becak sedang menutup lubang sebesar kubangan di persimpang Wariji Takengon.
“Jangan di urus itu jalan, karena itu jalan Provinsi dan itu kerjaanya, bukan kamu” kata pak Sanu kepada Bang Daus, yang saat itu masih menjabat kepala Dinas Pekerjaan Umum kabupaten Aceh Tengah.
Betul itu jalan Provinsi Bang, tapi 95% warga kabupaten Aceh Tengah yang mengunakan jalan ini,” jawab Bang Daus. “Anda Bandel” kata Pak Sanu yang kini sudah menjadi Bupati Aceh Tenggara.
Firdaus tergerak sebagai relawan penambal jalan karena mengikuti Sunah Nabi, bahwa barang siapa yang membuang duri dari jalan ia akan mendapat pahala. Namun baginya bukan hanya sekedar pahala yang di cari, tapi soal bagaimana para pengendara tidak mengalami kecelakaan akibat masuk lubang.
Semakin hari, semakin terbiasa ada kenikmatan menggeluti profesi sebagai relawan penambal jalan. “Ada rasa puas saat melihat orang melewati jalan itu dengan nyaman,”. Katanya sambil melempar senyum kepadaku.
Perkenalan ku dengan Firdaus berawal dari minum kopi di café batas kota, “penikmat kopi tanpa batas” disinilah para awak wartawan berkumpul, mengetik dan mengirim berita.
Saya mengira Firdaus juga adalah seorang wartawan, karena diberbagai tempat dan peristiwa serta kejadian, Firdaus selalu muncul untuk mengambil foto.
Ternyata Firdaus bukanlah seorang wartawan, namun yang menjadi pertanyaanku, untuk siapa dan keperluan apa ia mengambil foto ? Foto-foto yang ia ambil ternyata untuk di koleksi, dan terkadang ada juga yang memesan hasil jepretanya.
Tak jarang pula foto koleksinya yang sudah bertahun atau berpuluh tahun miliknya dibukanya kembali. Banyak orang yang sudah meninggal dan ada di koleksi fotonya, biasanya akan diberikan Firdaus pada keluarganya. Jadi bukan soal uang.
Menurut penuturan seorang sahabat Firdaus, Win Ruhdi , Firdaus adalah sosok orang yang selalu berpikir dan bertindak optimis. Prinsipnya, lakukan saja. Jangan banyak pertimbangan dan teori apalagi gengsi.
“Banyak jalan menuju Mekah. Bukan banyak jalan ke Roma ya…”, ujar seringkali. Bagi Firdaus , tidak ada tapal batas wilayah. Terkadang Firdaus terdengar kabarnya sudah di Jakarta.
Tanpa sungkan, naik kenderaan roda dua dari Jakarta, Dia sudah terdengar di Bandung, Cicalengka, Purwakarta dan kembali ke Jakarta. Demikian halnya di Takengon. Terkadang dia terdengar melakukan kontak telepon dari kawasan tertinggal di Takengon.
Pernah juga ia mengambil gambar di tower telkomsel di daerah kabupaten Gayo Lues, Propinsi Aceh. Saat itu, ia mengambil gambar di salah satu desa di Kabupaten Gayo Lues. Dengan meminta izin pada pihak telkomsel dan membawa tali seadanya untuk mengkikat badan di atas tower.
“Tanga demi anak tangga saya naiki, saat dipuncak terasa seperti mau jatuh, angin sangat kencang di atas,” kisah Firdaus pada Ku.
Saat di puncak tower, terdengar dering handpone di saku celana ku, ternyata Iwan Gayo penulis Buku Pintar memangil,
”Di mana kau Daus, suaramu ndak jelas, terdengar suara angin” tanyanya.
“Di Gayo Lues Bg,” oh iya Bg, saya lagi dipuncak tower telkomsel,” kata daus sambil tertawa.
“Gila kau daus, turun,” suruh Iwan agar turun dari puncak tower. Begitu ia becerita padaku.
Selain itu, di tahun 1999 membocengi robongan klub pencita Alam, Gentala (Generasi pencita Alam Aceh Tenggara). Dengan Vespa sprint 1976 dari Aceh Tengah ke Aceh Tenggara, kurang lebih sekiar 200 kilometer, dulu jalannya bukan seperti jalan sekarang, terpaksa harus menginap satu malam di tengah hutan,” kisah Firdaus.
Dari tukang becak hingga jendral ia kenal, jangan pernah anggap remeh pada siapapun, itu yang ku petik dalam makna berteman dengan Firdaus.”Peduli kepada lingkungan, sukurilah dan rawatlah yang sudah ada,” ia berpesan padaku.
Firdaus kini mempunyai satu orang istri yang berkerja sebagai Guru SMA Muhammadiyah di Takengon.dikarunia dua anak, anak sulungnya bernama Helinda Maldiara, ki sudah memasuki Perguruan Tinggi dan si bengsu bernama Mardhatillah yang sedang duduk di bangku SLTP. (Maharadi)