Politik Mobokrasi

Oleh: Muhamad Hamka*

POLITIK dalam batasan tertentu pasti selalu bersinggungan dengan kekerasan. Hal ini boleh jadi di ilhami oleh “virus” yang dicetuskan oleh Filosof Politik Italia, Niccolo Macheaveli yang menghalalkan segala cara dalam merebut kekuasaan, sekalipun itu licik dan picik. Sehingga tak heran politik kekerasan menemukan habitusnya dalam pelbagai kontestasi politik di belahan dunia manapun.

Dalam interaksi dunia politik modern, praktik kekerasan politik ini merupakan paket yang tak terpisahkan dari demokrasi. Dimana demokrasi yang belum didukung oleh kualitas dan mental berdemokrasi yang baik dari masyarakat, kekerasan akan selalu menemukan tautannya. Mentalitas kekerasan ini adalah antitesa dari demokrasi yang notabene memosisikan kesantunan/keadaban sebagai pendulum berdemokrasi.

Seperti yang diberitakan oleh situs berita online, Lintas Gayo.com, Ketua DPRK Aceh Tengah, Zulkarnain dipukul oleh Bambang Syahroni, Warga Kampung Rawe, Kecamatan Lut Tawar di Pendopo Bupati Aceh Tengah, Rabu 25 Juli 2012 pukul 01.00 WIB. Pemukulan tersebut terjadi setelah rapat Forum Komunikasi Pemerintah Daerah (FKPD) dengan tim suskes 9 kandidat calon Bupati/Wakil Bupati Aceh Tengah, diskor.

Kita miris sekaligus malu dengan kejadian ini, karena tindakan kekerasan tersebut justru terjadi di Pendopo Bupati didepan bupati dan kapolres pula serta terjadi pada waktu bulan suci Ramadan, bulan istemewa yang seharusnya jauh dari pelbagai bentuk tindakan kekerasan. Pemukulan yang menimpa ketua DPRK Aceh Tengah ini boleh jadi sebagai bentuk praktik politik mobokrasi.

Mobokrasi sendiri adalah kekuasaan yang dikendalikan oleh “mob”, yakni kerumunan yang secara emosional dan irasional muncul untuk menjalankan aksi-aksi yang penuh destruksi (Lukmantoro, 2009). Politik mobokrasi ini merupakan ekspresi politik yang paling purba. Hanya orang-orang yang tak punya nalar dan kearifan politik saja yang berani melakukan hal seperti ini.

Politik mobokrasi ini adalah pejawantah dari rapuhnya mentalitas berdemokrasi. Apapun alasan pelaku memukul Ketua DPRK Aceh Tengah ini tetap tak bisa dibenarkan dari spectrum manapun. Apalagi tindakan anarkisme ini justru terjadi pada waktu bulan suci Ramadan; bulan penuh ampunan, penuh kemuliaan dan penuh petunjuk kebaikan. Terus pertanyaan bagi kita semua umat muslim di Aceh Tengah adalah dimana spirit kemuliaan dan petunjuk kebaikan bulan Ramadan tersebut?

Khalwat Politik

Untuk itu kita berharap dan mengajak para elite politik Aceh Tengah agar Ramadan bisa dijadikan sebagai momentum yang tepat untuk sejenak melakukan khalwat (kontemplasi) politik. Sehingga bisa memahami serta dapat mendudukan setiap persoalan secara arif dan jernih. Nabi Muhammad saw misalnya, sebelum memulai gerakan transformasi total untuk masyarakatnya, ia ber-khalwat, menyendiri di Gua Hira selama 40 hari. Kebanyakan pemimpin besar dunia dimasa lalu seperti Mao Tse Tung atau Ibnu Saud juga melakukan hal yang sama (Hermawan, 2008).

Dengan khalwat politik ini nantinya diharapakan akan muncul ide dan gagasan bernas dalam mentransformasi perspektif politik. Dari perspektif politik yang sekadar memosisikan politik sebagai sarana mendulang kekuasaan, menuju perspektif politik Islam yang memosisikan politik sebagai medium membangun kemaslahatan bersama atau politik untuk kemanusiaan.

Sehingga proses dan dinamika politik tidak lagi diwarnai oleh semangat segala cara dihalalkan dalam bentuk politik mobokrasi, tapi politik yang senantiasa diwarnai oleh semangat kearifan. Karena ketika politik diwarnai oleh praktik politik mobokrasi maka dampaknya tidak hanya menggerus spirit demokrasi itu sendiri tapi juga akan menimbulkan pelbagai kemungkaran sosial. Mulai dari kebohongan politik, rekayasa politik, hingga kekerasan politik.

Untuk itu kita menaruh harapan sekiranya kehadiran bulan suci Ramadan bisa menjadi oase yang menyegarkan ditengah kegersangan perilaku elite politik Aceh Tengah. Harapannya, bahwa elite politik ini betul-betul memikirkan nasib seluruh rakyat Aceh Tengah dalam setiap consensus dan bargaining politik yang mereka bangun. Bukan sekadar melulu memikirkan egoisme kelompok, karena egoisme inilah yang menjadi pemicu dari politik mobokrasi.

Politik mobokrasi hanya akan menjauhkan tujuan politik dari ruang kemaslahatan umum. Untuk itu, marilah berpolitik dengan menjunjung tinggi moralitas yang dilandasi oleh semangat kearifan dan kebajikan. Sehingg politik bersenyawa dengan kebaikan/kemaslahatan umum.(for_h4mk4@yahoo.co.id)

*Analis Sosial & Politik Aceh tinggal di Takengon

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.