Takengon Atau Takengen?

Catatan : Bahtiar Gayo

TAKENGEN – Pemda Aceh Tengah sampai saat sekarang ini masih mempergunakan Takengon sebagai Ibukota Kabupaten Aceh Tengah. Sementara DPRK Aceh Tengah dalam perayaan hari jadi kota di negeri dingin yang ke- 435, memasang banner besar, menuliskan Kute (kota- Red) Takengen, bukan Takengon. Mana yang benar, Takengen atau Takengon?

Penetapatan hari jadi Takengen sebagai kota, menurut DPRK Aceh Tengah bukanlah kehendak penguasa, namun  setelah melalui proses yang sangat panjang. Seluruh tokoh Gayo diundang dan menyampaikan pandangannya. Tim Panmus dibentuk dewan, untuk menentukan hari jadi Kute Takengen.

Walau Takengon merupakan peninggalan Belanda, namun Pemda Aceh Tengah masih tetap menabalkan nama tersebut sebagai ibukota resmi Aceh Tengah secara pemerintahan.

“Dari seluruh media yang ada, hanya Waspada yang berani melakukan terobosan. Mengembalikan sejarah Gayo dengan menyebutkan Takengen, bukan Takengon. Kami ucapkan terima kasih kepada Waspada dan kami sudah sampaikan piagam penghargaan, walau ke pribadi wartawannya,” sebut Muhammad Ridwan, anggota DPRK Aceh Tengah, menjawab Wapada, Kamis (26/7) di Takengen.

Menurut ketua Panmus penetapan HUT Kute Takengen ini, sejak diputuskan dalam qanun dua tahun yang lalu, Waspada sudah menabalkan nama Takengen. Mengapa Pemda Aceh Tengah masih tetap dengan nama Takengon? Pertanyaan yang disampaikan Ridwan ini, dijawabnya sendiri.

“Merubah nama Takengen dari Takengon, walau hanya satu huruf prosesnya panjang dan rumit. Harus ada hukum resmi. Harus dirubah dalam lembaran negara, karena nama Takengon sudah dituangkan dalam lembaran negara,” sebut Ridwan.

“Dana untuk merubah satu huruf itu cukup besar dan melalui proses yang panjang. Makanya untuk sementara kita tetapkan Takengon adalah nama lain dari  Takengen,” sebut Samar Nawan, anggota DPRK Aceh Tengah lainnya.

Demikian bila ada wacana merubah nama Kabupaten Aceh Tengah menjadi Kabupaten Tanoh Gayo. Prosesnya panjang dan membutuhkan biaya. “Makanya untuk sementara kita pakai yang ada saja dulu, yakni Takengon, walau orang Gayo tetap tahu yang sebenarnya Takengen,” sebut Samar.

Penetapan Takengen sebagai ibukota kabupaten Aceh Tengah, sudah dilakukan DPRK setempat pada ahir 2010 lalu. Sebelumnya makna kota di negeri dingin itu diterjemahkan beragam. Ada yang menyebutkan Takingen, Takengon dan Takengen. Namun setelah diundang tokoh Gayo, ahirnya ditetapkan nama Takengen dan tahun awal berdirinya kota ini,1577 Masehi atau 435 tahun yang lalu.

Hampir semua tokoh masyarakat yang diundang dewan, saat penetapan hari jadi Kute (kota) Takengen, menceritakan bahwa, Kute Takengen sudah ada pada masa kerajaan Linge. Keturunan reje (raja) Linge inilah yang melahirkan raja terkemuka Aceh Darussalam.

Sudah menjadi catatan sejarah putra Linge, Meurah Johan yang mendirikan kerajaan Aceh Darussalam. Sebelum raja Aceh Darussalam, Sultan Iskandar Muda wafat,  Takengen sudah ada, sebut M. Jihad tokoh masyarakat dari Bintang dan Rasyidin tokoh masyarakat Linge.

Iskandar Muda wafat, sebut Jihad tahun 1636 M. Sebelumnya Qurata Aini atau yang lebih dikenal dengan sebutan Datu Beru, yang merupakan anak dari reja Linge, sudah bolak-balik ke kuteni reje (sekarang Banda Aceh). Empur Beru wafat pada tahun 1500 M.

Kata-kata Takengen, keluar dari mulut Sengeda anak reje Linge yang akan mengantarkan gajah putih ku Kute Ni Reje. Sengeda menempuh rute dari Linge via Serule, menuju arah timur Danau Lut Tawar.

Di sanalah terucap kata-kata “sentan ku engon (saat kulihat), maknanya alam yang sangat indah. Dan dibulatkanlah musyawarah (keng ni pakat). Takengen sendiri merupakan perpaduan dua kalimat itu, indahnya alam Gayo dengan bulatnya pakat, sebut Jihad.

Dari Tekengen berubah menjadi Takengon seperti saat sekarang ini, merupakan peninggalan penjajahan Belanda. Pihak kolonial merubah huruf e menjadi o. sehingga nama Takengen berubah menjadi Takengon.

Perubahan nama yang ditabalkan Belanda bukan hanya Takengen, namun Bebesen dirubah menjadi Bobasan. Remesen dirubah menjadi Ramasan. Belang Gele dirubah colonial menjadi Blang Golo.

Namun karena nama Bebesen, Blang Gele dan Remesen tidak tertuang dalam lembaran negara, untuk mengembalikannya ke nama asalnya sangat mudah. Berbeda dengan perubahan dari Takengon menjadi Takengen. Harus dituangkan dalam lembaran negara dan membutuhkan biaya yang besar.

Menurut Muhammad Ridwan, pemakaian nama Takengon tidak menjadi masalah, bila belum dirubah ke Takengen, karena orang Gayo tahu maknanya. Tidak ada tutur kata di Gayo,baik dalam didong (seni khas daerah), saer, melengkan (pepatah Gayo) yang menyebutkan Takengon, tetapi semuanya sejak dahulu kala tetap menyebutnya dengan Takengen. (Sumber : Waspada Edisi 26 Juli 2012)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. Pada masa Era Kolonial Belanda Kota Takengon | Takengen di tulis Takingeun

    Nama Kota Takengon| Takengen pada Era kolonialism Belanda di tulis Takingeun.