PENDIDIKAN adalah segalanya karena melalui pendidikan akan tercipta kondisi lingkungan akan menjadi masyarakat madani. Dengan pendidikan, kita mampu merubah sikap, pola fikir, tingkah laku dan perbuatan yang penuh berarti dan berbudaya. Masa transisi dalam kehidupan bangsa Indonesia yang ditandai oleh berbagai perubahan yang dahsyat dalam konteks tuntutan kehidupan kini dan esok, menghendaki pertumbuhan kesadaran di masyarakat kita untuk meningkatkan mutu pendidikan kita.
Kesadaran tersebut tidak terlepas dari perspektif ilmu pendidikan yang secara ilmiah harus memenuhi persyaratan ilmu yaitu:
– Basar pembenaran ilmu menurut pengaturan kerja ilmiah diarahkan pada perolehan derajat kepastian
– Bersifat sistematik dan sistemik
– Sifat intersubjektif ilmu atau pengetahuan ilmiah tidak didasarkan intuisi dan sifat subjektif melainkan kesepakatan dan pengakuan kadar kebenaran ilmu dalam hubungan menyeluruh ilmu tersebut
Namun sistem pendidikan di lapangan mengalami perubahan kompleks yang luar biasa. Mungkin juga karena perguruan tinggi (negeri maupun swasta) memperluas cakupan bidang ilmu seperti berbagai cabang psikologi, teknologi, matematika dan gender. Keseluruhan perkembangan ilmu dan teknologi menambah proses pertumbuhan dunia ditandai oleh proses interdependensi di dalam dinamika budaya, tradisi dan jaringan sistem pendidikan yang terkena juga oleh dampak arus global dan internal.
Berbagai tekanan eksternal mempengaruhi orientasi universitas pada berbagai bidang penelitian yang di masyarakat ditandai oleh informasi dan pengetahuan. Bersamaan dengan itu, fungsi perguruan tinggi yang bergejolak dalam era global sedang terlibat dalam restrukturisasi dunia yang memperlihatkan peluang untuk berpartisipasi (participation opportunity) dan peluang berpartisipasi itu menuntut perkembangan kemampuan manusia (human capacity development, HCD), yang diakui memperlihatkan rentangan berbeda bagi daerah terpencil, gender dan rakyat miskin.
Diakui juga bahwa HCD ini adalah lebih dari human resource development (HRD), yang dilandasi paradigma supply and demand dan link and match yang pada hakekatnya mengkunci perkembangan kemampuan manusia sesaat. Kemampuan yang terkunci tersebut cocok untuk saat tersebut tetapi akan bersifat kadaluwarsa apabila terjadi berbagai perubahan di dunia.
Perolehan belajar sepanjang hayat seoptimal mungkin merupakan peluang partisipasi atas pilihannya sendiri dan sesuai kemampuan serta minat untuk terlibat dalam seluruh perubahan yang terjadi di dunia.
Acuan Ilmiah Ilmu Pendidikan (Pedagogik Saintifik)
Seperti dapat kita rasakan sehari-hari, ilmu pendidikan itu sendiri sering kurang dipahami esensinya, karena kenyataan pendidikan itu bersifat ganda, yaitu berupa pengalaman pendidikan dan objektivitasnya (objectification) sebagai phaenomenon bene fundamentation yang sifatnya multi-referensial, berakar dari psikologi, sosiologi, filsafat dan antropologi.
Namun begitu, ilmu pendidikan tidak hanya mempelajari konsep behavioral manusia, sebagai objektivitas yang dapat diamati secara nyata, melainkan mencakup konsep tindakan (action concept) manusiawi yang mengandung subjektivitas, intersubjektivitas dan intensionalitas, merefleksikan human spirit yang mengacu ke masa depan.
Kenyataan pendidikan karenanya, tidak dapat dilihat terlepas dari norma, kebudayaan masyarakatnya dan perkembangan IPTEK serta kondisi historisnya, yang akan selalu mempengaruhi perkembangan individu maupun masyarakat.
Seorang pendidik (guru) sebagai pelaku pendidikan karenanya secara sengaja atau tidak disengaja, secara voluntary atau involuntary, intentional atau unintentional, selalu mempengaruhi kehidupan batiniah sesamanya. Karenanya setiap kali dalam pembelajarannya diperlukan refleksi dari ahli didik tentang apa yang diungkapkannya agar terjadi interaksi yang mewujudkan hasil belajar yang bermakna (meaningful learning) dengan siswa. Secara tidak langsung bidang ilmu yang digeluti pendidik dalam prakteknya akan memperkaya dan mengembangkan ilmu itu serta memperbaiki situasi pendidikan.
Tindakan tersebut akan mengandung dasar kuat apabila dilakukan dalam konteks PTK dalam rangka perbaikan situasi pendidikan tertentu. Untuk memahami PTK dalam keseluruhan spektrum ilmu pendidikan, perlu direfleksikan dulu apa yang dimaksud dengan ilmu pendidikan.
Gejala multidimensional tercermin dalam perkembangan ilmu pendidikan, bahkan terutama berlaku bagi ilmu pendidikan yang dibangun atas referensi jamak (multireferensial), yang berakar dari psikologi, antropologi, sosiologi, filosofi dan budaya.
Ilmu pendidikan merupakan ilmu yang mempelajari perilaku manusia, seperti juga psikologi. Namun berbeda dari psikologi yang sifat kajiannya condong lebih empiris, yaitu perilaku dari kenyataan sebagaimana adanya, ilmu pendidikan lebih mengacu pada acuan perilaku yang normatif (as it should be). Meskipun demikian, pengamatan terhadap perilaku manusia bersumber dari dan diperuntukkan bagi praktek pendidikan. Jadi kajian ilmu pendidikan adalah perilaku manusia untuk diarahkan kepada perilaku normatif.
Dalam konteks ini perkembangan manusia diwarnai oleh beberapa paradoks eksistensinya, bercirikan kutub eksistensi psikologis sosial dan kutub eksistensi psikologis individiual yang dilandasi masing-masing oleh the drive to survive dan the drive to develop (Stern, 1935). Sebagai mahluk sosial ia dituntut untuk beradaptasi, mentaati berbagai aturan yang berlaku di pergaulan hidupnya, namun sebagai mahluk individu dia berhak untuk tumbuh kembang, memilih dan menyatakan diri. Pada satu fihak, ia adalah aktualisasi tetapi sekaligus ia menghadirkan potensialitas. Perilakunya berubah karena belajar dan selalu in being and in becoming. Metoda pendekatan untuk menemukenalinya terutama melalui pengamatan oleh berbagai fihak/disiplin (Lenzen, D, 1998).
Meskipun identifikasi perilaku tersebut didasarkan pada pengamatan konkrit terhadap perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari, pengamatan tersebut tidak terlepas dari validasi pengetahuan ilmiah yang bersifat teoretis terutama karena perilaku tersebut senantiasa dalam perkembangan (berubah terus).
Identitas diri manusia yang berawal dari aktualisasi diri yang nyata (tangible behavior) ke arah rumusan deskriptif yang objektif (intersubjektif) terdiferensiasi dari perilaku tidak nyata (covert behavior) untuk ditemukenali melalui perilaku nyata. Dengan demikian kajian objek ilmu pendidikan adalah perilaku manusia ”in being and in becoming,” suatu proses yang berlanjut sampai akhir hayat dan memiliki nilai intrinsik karena mendidik anak manusia dapat diibaratkan menempa biji besi (ijzererts) menjadi besi murni dalam mewujudkan kepribadiannya.
Proses ini tidak terlepas dari berbagai pengaruh lingkungan yang pada gilirannya juga mengalami perubahan yang bersifat dinamis. Karenanya praktek pendidikan yang bersumber dari pergaulan antar manusia selalu berupaya mengambil tindakan tepat dalam menterjemahkan nilai budaya dari pengalaman sehari-hari mengacu pada kebenaran ilmu.
Masyarakat Transkultural dan Transdisiplinarity Ilmu
UU Sisdiknas 2003 dalam menetapkan kriteria minimal tentang Sisdiknas berdasarkan standar pendidikan NKRI menyatakan bahwa setiap insan Indonesia mempunyai hak perolehan pendidikan bermutu yang dilandasi atas pengakuan perbedaan manusia. Maka dari itu perguruan tinggi akan memiliki segmen luas bagi populasi sasaran yang beragam yang berorientasi pada layanan individu sesuai pengembangannya. Kompetensi individu berdasarkan peningkatan mutu, untuk manajemen terhadap kualitas memperhatikan kecakapan tuntas yang efisien dan efektif (Colman, 2001), yang ditunjukkan melalui kinerja seseorang dalam situasi atau kerja berdasarkan kriteria tertentu.
Dalam konteks praktek pendidikan makro, sistem menghadapi pemerataan pendidikan dalam ragam kebudayaan yang memiliki risiko kehilangan kualitasnya, apabila perspektif individu yang unik serta kelompok khusus terabaikan. Budaya dan bangsa yang plural menghendaki diperlakukan sebagai masyarakat transkultural di mana terjadi a transcultural society, analogi dengan alur pikir transdisiplin. Sebagaimana terjadi a dynamic interplay antar berbagai disiplin dalam pengertian transdisciplinarity, maka berbagai ragam budaya tersebut mengalami a dynamic interplay dalam pengaruh mempengaruhi antar individu.
Mass education yang ditandai oleh mobilitas sosial dengan ciri perubahan yang amat cepat, tetapi yang memiliki tuntutan kompetensi yang juga ditandai oleh perubahan ilmu tidak dapat menyesuaikan materi ajarnya dengan bahan ajar yang mengkunci kemampuan manusia dengan materi yang cocok sesaat (link and match) sesuai supply and demand, melainkan harus membangun kapasitas (capacity building) sesuai HCD dalam berbagai perubahan zaman di masa depan. Akar multirefernsial ilmu pendidikan harus tergerak oleh perkembangan budaya. Perkembangan budaya akan mengadakan rekonfigurasi ilmu pengetahuan di masa yang akan datang.
Hasil riset menunjukkan juga warna transdisiplinarity dan bukan lagi monodisiplin, interdisiplin dan multidisiplin (Nowotny, 1996). Dengan menghadapi berbagai masalah kehidupan di alam semesta, tak cukup sivitas akademika dibekali satu disiplin berdasarkan kognisinya semata. Diperlukan orientasi transdisipliner melalui interpenetrasi antara rasio, emosi, intervensi dan cipta talent (Clark, 1986). Ini memang sesuai kondisi manusia, kondisi individu yang meskipun memiliki keunikan, namun lahir dengan lebih dari satu potensi (multipotensial) sebagai manusia yang utuh dan memiliki keterarahan. Stern menyebut ini unitas multiplex. Penelitian Stern dilanjutkan oleh Howard Gardner beberapa dekade yang lalu dengan temuannya terhadap multiple intelligence, yang memungkinkan peserta didik menemui, kemudian merekonstruksikan ilmu pengetahuan melalui multichannel kecerdasannya.
Dampak terhadap Peningkatan Mutu Pendidikan
Paradigma baru pendidikan di perguruan tinggi memperlihatkan akuntabilitas, kualitas, otonomi dan evaluasi diri yang mengisyaratkan hidden excellence in personhood dan bersifat pendidikan intrinsik yang harus memperoleh trigger untuk diaktualisasikan baik bagi para dosen maupun untuk mahasiswa dalam lingkungan perguruan tinggi terutama di STAIN Gajah Putih dan Universitas Gajah Putih Takengon dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara umum di beberapa perguruan tinggi di Kabupaten Aceh Tengah ini.
Tugas perguruan tinggi berarti pemekaran potensi seoptimal mungkin untuk peningkatan mutu kinerja lulusannya. Kualitas intrinsik berarti membekali lulusan sesuai dengan visi, misi dan tujuan perguruan tinggi, sedangkan kualitas ekstrinsik ialah bahwa perguruan tinggi harus dapat menjawab kebutuhan masyarakat sebagai wahana horizontal dan vertikal (scaffolded).
Muatan upaya perwujudan (aktualisasi) bakat dan talent secara optimal dengan pengakuan terhadap perbedaan dan keragaman adalah esensial bagi keberlanjutan seluruh kehidupan bangsa dan individu. Intrinsic education bersandar pada etika kemanusiaan yang pada gilirannya bersandar pada pemahaman terhadap perspektif kemanusiaan dalam berbagai ilmu (multireferensial) yang terobos-menerobos menyatu dan memiliki berbagai dimensi (transdisiplin) dan yang ditandai oleh interaksi yang dinamis antar ilmu.
Pada fihak lain kualitas ekstrinsik pendidikan terkait dengan perkembangan IPTEK dalam rangka pembangunan bangsa. Namun globalisasi IPTEK dapat mewujudkan kondisi short circuited apabila bangsa tidak mencapai melek fikir dan melek teknologi yang adalah dasar dari tindakan kreatif yang dimungkinkan oleh daya ramal manusia, yang berarti mampu menemui kenali masa depan (foresight). Dampaknya adalah bahwa kurikulum berbasis kompetensi tidak bersifat statis, melainkan bersifat scaffolded, yaitu beranjak dari kondisi minimal sebagai persyaratan batas menuju pada kondisi ideal sebagai benchmark.
Peningkatan mutu pendidikan yang adalah produk karya/standar pendidikan yang memberi kepuasan terhadap klien (mahasiswa) bersifat multidimensional yang fokusnya pada stimulasi koheren antara kontent kurikulum dengan aplikasi integrasi kurikulum yang mencakup analisa kebutuhan kelompok (target group analysis), content analysis, context analysis demi peningkatan mutu pendidikan bagi mahasiswa.(ihsandarul[at]gmail.com)
* Dosen STAIN dan Dosen PPs UT Takengon