Oleh. Drs. Jamhuri, MA[*]
Suatu hari (sebulan yang lalu) dalam perjalanan dari Takengon menuju Banda Aceh, setelah mengikuti acara safari Ramadhan di dua Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah. Ada senda gurau antara kami (saya, Ito Nangar dan Marah Halim), awalnya senda gurau ini saya anggap biasa karena terucapnya tidak memerlukan perenungan dan tanpa ada rujukan atau referensi, tetapi setelah direnungkan kembali ternyata senda gurau itu dapat diangkat kembali menjadi pengetahuan yang serius.
Tutur atau panggilan yang ada dikalangan masyarakat Gayo menunjukkan kepada kedudukan atau strata, dengan tutur kita dapat mengetahui apakah kedekatan kita dengan seseorang melalui garis keturunan pihak ayah atau pihak ibu. Melalui tutur juga kita dapat mengatahui tinggi rendahnya posisi seseorang dalam jalur kekerabatan. Pada awal sejarah lahirnya tutur dalam kaitannya dengan strata atau hirarkhi kehirupan manusia awalnya berkaitan dengan kelahiran, dimana mereka yang awal lahir mempunyai hirarkhi lebih tinggi dari yang kemudian lahir dan begitu seterusnya kebawah. Tetapi karena perkembangan kebudayaan manusia, terkadang untuk sebagian kalangan masyarakat kelahiran tidak lagi menentukan hirarkhi strata tetapi yang menentikan adalah kedudukan atau jabatan, atau juga keilmuan, atau lagi karena keadaan ekonomi. Ini tidak dapat dipungkirisebagai akibat dari kemajuan budaya. Untuk tuisan ini difokuskan pada strata tradisional yang berkembang secara turun-temurun dalam masyarakat Gayo.
Tutur terjadi bisa disebabkan karena keturunan, artinya panggilan ama, ine, awan, anan atau lain-lainnya karena seorang anak atau cucu merupakan keturunan langsung dari yang dipanggil. Namun tutur juga bisa terjadi disebabkan karena adanya perkawinan, untuk ini pada dasarnya mereka yang akan melakukan pernikahan belum mempunyai hubungan kekerabatan, baik dari pihak ayah ataupun pihak ibu. Bahkan dalam masyarakat Gayo mereka yang akan menikah juga tidak ada keterkaitan asal wilayah yang sama, karena dalam sejarah Gayo mereka yang satu wilayah pada asalnya adalah satu ikatan kekerabat dan apabila terjadi pernikahan diantara mereka maka dengan sendirinya setrata tutur akan menjadi rusak.
Karena ditakutkan rusaknya tutur yang menunjukkan tinggi rendahnya strata dan rusaknya hubungan kekerabatan, merupakan salah satu alasan yang dijadikan adat Gayo untuk tidak boleh menikah dalam satu urang (clan). Apabila larangan ini dilanggar maka adat menentukan sanksi yang sangat berat yaitu harus di parak (asingkan) dari kampung asal mereka dan ketika satu saat hendak kembali maka ada pembebankan sanksi lain yaitu memotong satu ekor kerbau untuk menjamu semua anggota masyarakat.
Perkembangan kebudayaan dan sosial kemasyarakatan merupakan sebab pudarnya turur dalam masyarakat, diantara perkembangan tersebut adalah pelanggaran adat yang melegalisasi perkawinan satu urang (clan). Karena sebagaimana telah disebutkan mereka yang satu urang pada dasarnya adalah satu kekerabatan yang sekat dan mempunyai hirarkhi tutur yang jelas. Tetapi ketka perkawinan satu urang menjadi legal maka hirarkhi tutur menjadi rusak.
Suatu pertanyaan yang muncul dari senda gurau di atas adalah, siapa lebih tinggi hirarkhi tutur antara orang Gayo dengan masyarakat Pesisir ? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut terlebih dahulu harus diketahui bahwa munculnya tutur dengan masyarakat pesisir adalah akibat dari perkawinan.
Pada awalnya terjadi perkawinan antara mereka dari Gayo dengan mereka di pesisir atau sebaliknya mereka dari pesisir dengan mereka di Gayo adalah disebabkan karena hubungan aktivitas perdagangan, mereka yang membawa barang dagangan dari Gayo utamanya tembakau ke daerah pesisir, lalu mendapat jodoh di tempat ia menjual barang dagangannya, sehingga ada ungkapan “kiri kanan-kiri kanan juel bako beli banan”. Ungkan ini sebenarnya kalau kita pahami maknanya bukanlah pujian atau kabar menyenangkan tetapi lebih kepada ungkapan sindiran terhadap kebiasaan tidak baik mereka yang berdagang.
Perkawinan juga terjadi bukan melalui perjalanan perdagangan, tetapi secara khusus mereka yang tidak lagi mempunyai isteri karena sebab meninggalnya isteri pertama dan mereka mencari isteri kedua ke daerah lain, biasa perkawinan dengan isteri kedua ini jauh lebih muda dari segi usia. Sehingga apabila kita kaitkan dengan hirarkhi tutur maka orang yang sebelumnya belum mempunyai hubungan kekerabatan dan hirarkhi tutur, akan mendapat kekerabatan dan menduduki hirarkhi tutur yang labih tinggi dari mereka yang seusia dengannya.
Kendati keberadaan tutur dalam kekerabatan masyarakat Gayo sudah mulai tidak digunakan lagi secara tepat karena perubahan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan, namun tetap ada upaya untuk menggali dan melestarikan kembali keberadaan tutur tersebut.