Banda Aceh | Lintas Gayo – Terkait rencana DPRA yang menunda pembahasan racangan qanun KKR Aceh karena menunggu pembentukan KKR Nasional dahulu, LBH Banda Aceh, KontraS Aceh, dan Konsorsium Museum HAM Aceh mengatakan bahwa DPRA telah mencederai rasa keadilan bagi korban pelanggaran HAM masa lalu di Aceh.
Destika Gilang Lestari Koordinator KontraS Aceh dalam rilisnya yang diterima Lintas Gayo, Jum’at 14 September 2012 mengatakan DPRA pernah berjanji akan membahas rancangan qanun KKR Aceh tanpa menunggu regulasi dan pembentunkan KKR nasional.
“Janji DPRA tersebut diucapkan karena DPRA melihat bahwa pemerintahan Aceh yang dulu juga menunda-nunda pembentukan qanun ini dengan alasan yang sama sehingga waktu itu DPRA berinisiatif untuk mengambil alih pembahasan qanun ini dari eksekutif menjadi qanun inisiatif dewan dengan alasan percepatan pembahasan qanun KKR tanpa menunggu regulasi dan pembentukan KKR nasional,” kata Destika.
Kalau ternyata sekarang DPRA menggunakan alasan yang sama dengan eksekutif yang dahulu untuk menunda pembahasan ini, disimpulkan Destika menunjukkan bahwa DPRA telah gagal dan tidak memiliki keinginan yang kuat untuk memberikan rasa keadilan bagi korban pelanggaran HAM di Aceh,” kata Destika.
Selain itu juga Destika juga mengatakan bahwa alasan penundaan pembahasan qanun KKR Aceh dengan mengatakan bahwa qanun ini tidak masuk prolega 2012 adalah alasan yang dibuat-buat.
“Qanun KKR Aceh adalah qanun prioritas nomor urut 2 dalam Keputusan DPRA No. 2/DPRA/2012 dan termasuk dalam usul inisiatif dewan, jelas ini adalah pembohongan bila mengatakan qanun KKR tidak masuk prolega,” terang Destika.
Sementara Direktur LBH Banda Aceh Hospinovizal Sabri mengatakan bahwa “DPRA gagap dalam melaksanakan kewenangan Aceh untuk penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu di Aceh sebagai mana yang ada dalam UUPA.” Katanya.
“UUPA sebagai hukum khusus yang mengatur tentang Aceh serta merupakan dokumen legal resolusi bagi konflik di Aceh telah memberikan ruang bagi Aceh untuk mengatur dirinya sendiri termasuk kewenangan Aceh untuk membenuk KKR Aceh tapi kemudian DPRA gagap melaksanakan kewenangan tersebut dan menyerahkan kembali semua kepada regulasi nasional,” terang Hospi.
“Kewenangan Aceh adalah salah satu hal yang paling mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh dan UUPA banyak mengatur tentang kewenangan ini salah satunya adalah kewenangan Aceh dalam menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM masa lalu di Aceh yang salah satunya dengan membentuk KKR Aceh, tetapi DPRA gagap memahami akan kewenangan ini,” Lanjut Hospi.
“Ibarat kita dikasih sepotong kue lalu kue tersebut kita belah dam memberikan kembali kepada orang yang pembentukan qanun KKR Aceh ini menunggu regulasi nasional,” timpalnya.
Reza Idria, Koordinator Konsorsium Museum HAM dan Perdamaian Aceh menyatakan “penundaan penbahasan qanun ini menunjukkan bahwa jejaring impunitas masih ada dan menjadi persoalan paling besar dalam penyelesaian persoalan pelanggaran HAM masa lalu.”
Reza menambahkan “Impunitas dalam penyelesaian pelanggaran HAM itu merupakan kejahatan tersendiri, dan DPRA sekarang akan mengulangi kejahatan yang dilakukan oleh pemerintahan Aceh sebelumnya dengan melakukan penundaan pemberian akses keadilan bagi korban pelanggaran HAM di Aceh.
Dengan keistimewaan yang dimiliki Aceh, seharusnya logikanya dibalik jangan Aceh yang menunggu KKR nasional tetapi Aceh bisa membuat terlebih dahulu sehingga bisa menjadi akselator bagi pembentukan KKR nasional dan apa yang telah diatur Pemerintah Aceh dalam qanun menjadi bagian dari apa yang akan diatur oleh KKR di tingkat nasional,” kata Reza.(SP)