Menggali Sisa Budaya Prasejarah Merangkai Identitas Masyarakat Gayo

Oleh : Ketut Wiradnyana*

I.  Pendahuluan

Gayo merupakan salah satu etnis yang memiliki peran budaya prasejarah yang kuat dalam pembentukan kebudayaan di dataran tinggi Pulau Sumatera bagian utara. Berbagai bukti arkeologis telah menunjukkan adanya migrasi dan tentu juga disertai dengan budaya ke wilayah sekitarnya. Namun informasi yang berkembang sebaliknya, bahwa etnis Gayo merupakan bagian (berasal) dari etnis lain  (Batak Toba). Hal tersebut dapat dimaklumi mengingat begitu gencarnya informasi yang ditampilkan, sehingga berbagai aspek ilmiah kerap diabaikan dan aspek folklor diutamakan. Atau berbagai aspek ilmiah yang lebih baru dijadikan dasar bagi legitimasi atas seluruh budaya yang ada pada masa kini dalam tataran wilayah administratif.

Tinggalan arkeologis yang dihasilkan dari serangkaian penelitian menunjukkan bahwa masyarakat prasejarah di Tanoh Gayo telah memiliki kebudayaan yang maju. Berbagai aspek kebudayaan ditemukan pada kelompok masyarakat ini dan berkesinambungan hingga masa –masa kemudian.

Identitas yang ada pada masyarakat Gayo sangat penting diketahui dari sejak proses munculnya manusia dan kebudayaan hingga masa-masa selanjutnya. Hal tersebut akan membantu mengetahui sejarah budaya masyarakat, memberikan pemahaman pluralisme dan multikulturalisme hingga menjadi jatidiri masyarakatnya.

Dalam konteks ilmu pengetahuan, situs di Tanoh Gayo memiliki peran penting, diantaranya sebagai salah satu bukti adanya migrasi Australomelanesoid di pedalaman Sumatera dan juga Austronesia di Indonesia bagian barat. Selama ini ada kecenderungan aktivitas Australomelanesoid hanya di pesisir saja dan Austronesia kerap dikaitkan dengan alur migrasi di Indonesia bagian timur.

Dalam konteks kebudayaan lokal, berbagai budaya prasejarah yang terekam, tampaknya memberikan  kontribusi yang kuat bagi kebudayaan Gayo khususnya kebudayaan pra Islam.

II.  Situs dan Data Arkeologis

Situs Loyang Mendale, Loyang Ujung Karang dan juga Putri Pukes yang berada di  Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah merupakan situs yang mengkonstribusikan data arkeologis menyangkut proses budaya yang telah berlangsung selama ini.

Survei permukaan yang dilakukan dengan menelusuri empat ceruk di kelompok Loyang Mendale menghasilkan fragmen gerabah dan alat batu. Dari temper dan teknik fragmen gerabah dimaksud menunjukkan aspek kekunaan. Sedangkan aspek teknologi serta morfologi artefak batu menunjukkan budaya yang serupa dengan Hoabinh.  Hasil survei di bawah permukaan air Danau Lut Tawar menghasilkan fragmen gerabah polos dan berhias dari budaya yang lebih muda yaitu periodisasi kolonial.

Ekskavasi di Loyang Mendale, Loyang Ujung Karang  dan Loyang Putri Pukes menghasilkan artefak yang berbahan batu, tulang, tanah liat, cangkang kerang dan lainnya. Artefak tersebut ditemukan dalam lapisan budaya yang berbeda yang mengindikasikan adanya proses babakan masa yang berkesinambungan. Adapun artefaktual  dimaksud diantaranya adalah artefak batu teridentifikasi sebagai kapak genggam, beliung dan serpih selain batu pukul. Artefak yang berbahan cangkang moluska adalah alat serpih. Sedangkan untuk artefak berbahan tanah liat merupakan fragmen periuk baik yang berhias ataupun tidak. Artefak berbahan tulang merupakan lancipan dan sudip, serta artefak berbahan taring merupakan mata kalung dan artefak yang merupakan sisa wadah yang dibuat dengan menganyam rotan.

Untuk temuan berupa ekofak diantaranya teridentifikasi sebagai tulang hewan, anjing, ular, kerbau, moluska, capit kepiting dll, sedangkan yang lainnya berupa cangkang kemiri. Sedangkan temuan yang lainnya selain arang sisa pembakaran, tanah liat terbakar (bahan gerabah) juga kerangka manusia.

Dari  6 (enam) kerangka manusia yang lengkap ditemukan di situs tersebut  teridentifikasi  3 (tiga) diantaranya berumur diatas 21 tahun dengan kerusakan gigi yang masif dan 3 (tiga) yang lainnya berumur di bawah 21 tahun. Secara umum kerangka tersebut memiliki ciri ras Mongoloid (atap tengkorak agak tinggi dan membulat dengan muka datar dan lebar) yang  menunjukkan tinggi badan antara 150-160 Cm. Kerangka –kerangka dimaksud sengaja dikubur dengan lubang kubur yang lonjong dan diberi bekal kubur. Gigi pada kerangka rata sebagai upaya pemanguran (filing).

III.   Merangkai Identitas

Sebelum 7400 ± 140 BP telah ada kelompok orang dengan ras Australomelanesoid yang tinggal di pesisir-pesisir timur Pulau Sumatera. Mereka adalah pengusung budaya  Hoabinh, yaitu sebuah budaya yang berasal dari Vietnam bagian utara yang hidup dengan mengeksploitasi biota marin (Bellwood, 2000). Peralatan batunya sangat khas yang disebut sumatralith. Alat batu ini dibuat dari kerakal yang dipangkas di seluruh sisinya, sehingga tajamannya cenderung di seluruh sisinya. Salah satu bidangnya masih menyisakan korteks, sedangkan bidang yang lainnya tidak lagi menyisakan korteks.

Di pesisir timur Sumatera hingga dataran tinggi, diindikasikan ada beberapa kelompok manusia pendukung budaya Hoabinh. Mereka hidup dengan cara berburu dan juga menangkap ikan serta mengumpulkan berbagai jenis kerang-kerangan ataupun siput sebagai bahan pangan. Pada kisaran 3.870 ± 140 BP hingga 4.120 ± 140 BP di sekitar hunian situs Bukit Kerang Pangkalan, Aceh Tamiang ditemukan pollen polong-polongan, kacang-kacangan dan kangkung-kangkungan. Hal tersebut mengindikasikan pada masa itu mereka telah melakukan upaya bercocok tanam sederhana (Wiradnyana, 2012b).

Mereka telah membuat rumah panggung, yang ditempatkan di sekitar muara-muara sungai. Para perempuan, anak-anak dan orang tua tinggal di rumah dan para lelaki dewasa pergi berburu. Kematian dalam aktivitas perburuan menjadikan mereka mengubur si mati di lokasi perburuan. Bagi kelompok perempuan, anak-anak dan orang tua kalau meninggal, mereka dikubur di sekitar hunian. Para pemburu inilah yang kemungkinan mempunyai ide untuk pindah dari satu tempat ke tempat lain. Mengingat ruang jelajah kelompok ini lebih luas dari kelompok perempuan, maka berbagai kondisi ketersediaan bahan pangan dan juga lokasi yang ideal untuk hunian dapat diketahui dengan baik oleh para pemburu.

Aspek lain dalam kaitannya dengan perpindahan wilayah hunian, diantaranya keterbatasan bahan pangan, bencana alam seperti banjir dan mungkin juga tsunami mereka berpindah dengan menyusuri sungai-sungai yang bermuara di laut di sekitar tempat tinggalnya. Sungai digunakan sebagai upaya untuk memudahkan ruang gerak baik dari perburuan maupun dari upaya perpindahan tempat hunian, dan pemilihan Loyang Mendale dan Ujung Karang sebagai tempat hunian juga dimungkinkan menggunakan akses sungai.

Pemilihan lokasi hunian di Loyang Mendale dan Ujung Karang, selain berkaitan dengan kebutuhan hidup sehari-hari seperti tempat untuk berteduh, mengolah bahan makanan, sebagai lokasi perbengkelan  juga sebagai tempat penguburan.  Pemilihan lokasi tersebut tentu tidak lepas dari keletakkannya yang sangat ideal yaitu tersedianya gua dan ceruk yang memadai bagi tempat berteduh. Lokasi dimaksud dekat dengan sumber air danau dan juga lokasinya relatif datar sehingga ideal bagi kehidupan.

Pada sekitar 7400 ± 140 BP, mereka masih hidup dari berburu dan mengumpulkan makanan. Binatang buruannya merupakan binatang yang banyak terdapat di sekitar hunian. Mereka melakukan pengintaian dengan menunggu binatang yang mencari minum di sekitar danau atau di depan gua yang merupakan mata air yang bermuara ke Danau Lut Tawar. Binatang buruan yang didapatkan dan juga kerang serta siput sebagian menyisakan bekas pembakaran sebagai indikasi ada yang dikonsumsi dengan cara dibakar.

Perburuan yang dilakukan kelompok laki-laki dewasa juga dimungkinkan dilengkapi dengan binatang pemburu yaitu anjing. Hal tersebut diketahui dengan adanya kerangka anjing yang masih utuh yang ditarikhkan sekitar 5040 ± 130 BP. Keberadaan kelompok-kelompok dalam kehidupan manusia pendukung budaya  Hoabinh ini mengasumsikan bahwa mereka telah mengenal struktur organisasi sosial dan struktur sosial dalam kehidupannya sekalipun belum tegas benar. Struktur organisasi sosial ditampakkan dalam pembagian kelompok pemburu dan peramu. Kelompok pemburu adalah laki-laki dewasa dan kelompok peramu adalah perempuan, anak-anak dan orang tua. Sedangkan struktur sosial dimungkinkan terjadi dalam masing masing kelompok, dimana kelompok pemburu tentu memerlukan pengorganisasian dalam menjalankan aktivitasnya. Pengorganisasian dimaksud akan menghasilkan struktur. Adanya pengelompokkan orang tua dan anak-anak dalam satu kelompok merupakan konsep yang dilaksanakan dalam kaitannya dengan upaya pemahaman aspek fisik dan psikologis selain etika. Artinya pada masa itu mereka telah mempertimbangkan berbagai aspek didalam mempertahankan kelompoknya. Selain itu aspek penghormatan terhadap orang tua juga telah dikenal.

Peralatan batu yang digunakan diantaranya: alat berupa kapak genggam yang difungsikan sebagai kapak, alat serpih yang difungsikan sebagai pisau dan mortar yang difungsikan sebagai batu pukul. Kondisi peralatan batu yang ditemukan pada masa itu memiliki teknologi dan morfologi yang sama dengan ketika mereka masih hidup di pesisir Pulau Sumatera, hanya beberapa bagiannya saja mengalami perubahan diantaranya adalah ukuran atau bentuknya yang sedikit berbeda. Perbedaan dimaksud lebih dikaitkan dengan adaptasi manusianya terhadap lingkungan. Bahkan mereka masih menggunakan berbagai alat serpih yang berbahan cangkang kerang untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan kebutuhan pangannya. Kondisi kehidupan dengan budaya tersebut berlangsung hingga sekitar 5040 ± 130 BP.

Pada sekitar 5080 ± 120 BP telah ada kelompok manusia yang lainnya (bukan dari kelompok manusia pendukung  Hoabinh dengan ras Austomelanesoid) bermigrasi ke Tanah Gayo.  Dari aspek budaya yang ditemukan kelompok orang ini memiliki kesamaan dengan kelompok pendukung budaya Austronesia.  Begitu juga dengan ciri-ciri budaya materi seperti gerabah, memiliki ciri yang lebih universal dibandingkan dengan wilayah sebaran penutur Austronesia di tempat lainnya. Gerabah di Situs Loyang Mendale dan Loyang Ujung Karang memiliki ciri yang beragam, yang merupakan ciri dari budaya gerabah di Asia Tenggara. Hal tersebut menunjukkan bahwa migrasi ke wilayah Tanah Gayo telah berlangsung pada awal-awal migrasi penutur Austronesia ke arah barat menuju Sumatera. Kondisi tersebut juga diperkuat dengan hasil analisa radiokarbon yang cenderung lebih tua dari hasil analisa radiokarbon di Sulawesi.

Alur migrasi Austronesia ke Tanah Gayo kemungkinan dari China Selatan ke Thailand terus ke Sumatera bagian utara. Hal ini di dasarkan atas temuan gerabah poles merah yang memiliki polahias sama dengan gerabah di Situs Ban Chiang, Thailand. Selain itu keletakan geografis yang cenderung ideal bagi pelayaran angin musim, dimana kalau kita bentangkan layar di Thailand dengan tidak mengayuh perahu maka perahu akan berlayar sendirinya ke arah Pulau Sumatera bagian utara.

Di Pulau Sumatera, kelompok ini diketahui bertempat tinggal di Loyang Ujung Karang dan mungkin juga di Loyang Mendale dan Loyang Putri Pukes, dengan unsur budaya yang lebih maju dibandingkan dengan pendukung budaya  Hoabinh. Teknologi  dan religi jelas menunjukkan kemajuan tersebut.

Hasil ekskavasi di Situs Loyang Ujung Karang diketahui bahwa mereka telah mengenal penguburan dengan membuat lubang kubur berbentuk lonjong. Mereka juga menguburkan si mati dengan cara melipat kakinya dan memberi bekal kubur berupa mata panah, wadah yang berupa dianyam dan periuk serta merentangkan si mati dengan orientasi cenderung ke arah Timur-Barat (kepala di Timur dan kaki di Barat/muka menghadap ke timur). Kondisi ini menggambarkan bahwa mereka telah mengenal aspek religi diantaranya mereka telah mempercayai ada kehidupan setelah mati sehingga mereka dibekali dengan berbagai bekal kubur. Bekal kubur juga mengindikasikan upaya mempersiapkan kehidupannya ke masa depan artinya bekal-bekal itu disiapkan untuk kehidupan yang akan dijalani. Aspek ini sangat penting untuk dikembangkan sebagai salah satu kearifan lokal yang telah ditanamkan pada masa prasejarah oleh nenek moyang orang Gayo.

Mereka juga mungkin telah mengenal konsep matahari dimana matahari terbit sebagai simbol kehidupan dan matahari tenggelam sebagai simbol kematian. Sejalan dengan itu maka arah Timur dianggap sebagai arah kehidupan dan arah Barat sebagai arah kematian. Konsep matahari tersebut tampaknya masih diterapkan pada pembangunan rumah tradisional masyarakat Gayo yang selalu membangun rumah adat dengan arah hadap ke Timur. Aspek lainnya juga tampaknya masih berlanjut seperti kepercayaan adanya roh penguasa wilayah tertentu, kepercayaan akan padi memiliki roh sehingga adanya perlakuan berupa upacara inisiasi dan adanya pemanguran gigi yang dulu juga dilakukan masyarakat Gayo tradisional (Hurgronje,1996:216).

Adanya fragmen gerabah yang berhias dan anyaman yang berbahan rotan pada sekitar 4400 ± 120 BP menggambarkan bahwa kelompok manusia masa itu telah mengenal aspek estetika dan mereka telah mengenal keterampilan yang baik dam membuat wadah. Sangat mungkin keterampilan membuat anyaman ini juga digunakan sebagai asumsi mereka telah dapat membuat jaring untuk menangkap ikan. Jaring sebagai alat yang diperlukan untuk menangkap ikan indikasinya juga terdapat pada pola hias gerabahnya. Selain itu indikasi anyaman juga menggambarkan adanya upaya membuat sesuatu dalam bentuk lembaran yang dimungkinkan sebagai bahan penutup badan misalnya.

Adanya fragmen gerabah menunjukkan bahwa kelompok manusia pada masa itu telah mengenal teknologi pembuatan gerabah. Kalau dilihat  dari aspek budaya seperti penguburan terlipat dan juga pentarikhan yang cenderung sama antara masa Mesolitik dengan Neolitik menunjukkan adanya pembauran budaya dari masa Mesolitik ke Neolitik atau dari kelompok yang mendukung budaya Hoabinh dengan kelompok yang mendukung budaya Austronesia (Wiradnyana, 2012b:99-118). Adanya pentarikhan yang tua bagi keberadaan Austronesia dan keberadaan kapak lonjong dan kapak persegi serta keberadaan fragmen gerabah dengan teknik dan pola hias yang sama dengan budaya gerabah Asia Tenggara mengasumsikan adanya migrasi awal Austronesia ke wilayah Loyang Mendale dan Ujung Karang. Hal tersebut juga ditandai dengan asumsi yang selalu melekat bahwa migrasi Austronesia yang membawa gerabah Bau-Melayu dengan kapak persegi dan migrasi yang membawa gerabah Lapita dengan kapak lonjongnya, kedua ciri gerabah tersebut semuanya ditemukan di kedua situs dimaksud

Keberadaan tengkorak kepala dengan tulang panjang serta keberadaan tulang manusia yang tidak lengkap yang selevel posisinya dengan kerangka yang terlipat menggambarkan bahwa pada sekitar 4400 ± 120 BP mereka telah mengenal konsep penguburan skunder. Tulang yang tidak lengkap yang diantaranya menyisakan fragmen rahang manusia terbakar  memiliki masa 2590 ± 120 juga mengindikasikan adanya perlakuan kembali terhadap si mati setelah dikuburkan. Konsep perlakuan tersebut merupakan penguburan yang kedua yaitu setelah mayat dikuburkan beberapa waktu di dalam tanah kemudian diangkat tulang-tulangnya untuk dikuburkan kembali atau dibakar. Konsep semacam ini kemungkinan lebih sebagai upaya penghormatan terhadap si mati. Konsep ini dalam perkembangannya dikaitkan dengan pemberian tempat yang lebih layak di alam arwah. Beberapa masyarakat tradisonal di Indonesia (masyarakat Batak Toba, Karo, Bali dan Dayak) masih melaksanakan penguburan skunder seperti ini. Keberadaan tulang kerangka manusia yang tidak lengkap (sebagian terbakar) juga ditemukan pada bagian lapisan atas situs yang juga telah dilakukan analisa radiokarbon menghasilkan pertanggalan berkisar 2590 ± 120 BP. Hal tersebut menggambarkan bahwa tradisi penguburan skunder telah berlangsung  pada masa itu dan mungkin juga berlangsung hingga masa-masa selanjutnya.

Gigi merupakan bagian dari tubuh yang sangat keras sehingga sangat awet dan lebih besar kemungkinannya untuk ditemukan jauh setelah yang bersangkutan mati (Artaria, 2009). Pengasahan pada gigi juga dilakukan kelompok manusia di Loyang Mendale dan Ujung Karang. Diasumsikan bahwa manusia pada masa itu melakukan prosesi semacam itu merupakan bentuk upacara peralihan dari anak-anak ke remaja/dewasa. Selain itu pengasahan gigi juga berkaitan dengan aspek inisiasi, yang mungkin merupakan upaya membedakan antara manusia dengan binatang buas. Binatang buas disimbolkan dengan gigi dan taring yang tajam sehingga untuk membedakannya dilakukan mutilasi tersebut. Dikenalnya konsep itu tentu tidak lepas dari upaya pemahaman akan aspek etika. Bahwa hidup itu memerlukan pengaturan dalam bentuk etika, tidak seperti binatang buas yang cenderung ganas dan buas serta jauh dari nilai kesusilaan.

Kondisi gigi kerangka di Situs Loyang Mendale yang juga telah mengalami mutilasi, bahkan lebih ekstrim perlakuannya menunjukkan bahwa ada upaya mutilasi dengan menyisakan sedikit dari seluruh gigi yang ada, atau mutilasi dilakukan berkali-kali sehingga gigi yang tersisa semakin sedikit. Proses mutilasi yang berulang tersebut dimungkinkan terjadi dengan didasarkan atas konsep struktur sosial, bahwa semakin sering dilakukan mutilasi maka orang tersebut memiliki status sosial yang lebih dibandingkan dengan orang lain. Hal itu dapat juga diartikan bahwa si mati telah dianggap telah melalui beberapa tahapan kehidupan yang kritis atau tahapan masa peralihan sehingga setiap tahapan memerlukan satu tindakan seperti halnya tahapan dalam pertanian

Pada sekitar tahun 300 masehi, ditemukan cukup banyak tulang manusia yang terbakar di Situs Loyang Mendale yang dimungkinkan sebagai bentuk penguburan skunder seperti yang ditemukan di Loyang Ujung Karang. Sedangkan untuk penguburan primer juga relatif sama hanya saja di Situs Loyang Mendale kerangka manusianya ditindih dengan batu dan dikelilingi serta berlantai batu dengan bongkahan-bongkahan kerakal hingga boulder karts. Menilik dari cara yang dilakukan pada penguburan ini (arah hadap ke Timur, terlipat kakinya) yang memiliki kesamaan dengan masa sebelumnya (penguburan pada budaya Hoabinh) tentu konsep yang diusungnya memiliki kesesuaian (Wiradnyana 2012 a). Sedangkan pada aspek kerangka yang ditindih batu merupakan bentuk penguburan yang juga kerap ditemukan di situs-situs sejaman pada budaya Austronesia di Asia Tenggara (Bellwood, 2000:245 – 325). Hal tersebut menunjukkan adanya aspek gotong royong dan juga upaya mengamankan  si mati dari gangguan binatang atau bagian dari suatu prosesi tertentu dan juga upaya memberikan wadah kubur bagi si mati. Kalau hal tersebut berkaitan dengan aspek praktis semata maka dapat dibandingkan dengan kondisi yang sama pada penguburan-penguburan sekarang ini, dimana di atas kubur diisi batuan kerikil dan sebagian lagi diisi ranting bambu, agar binatang tidak mengganggu jasad si mati yang telah dikuburkan.

Kondisi lahan dan temuan di Situs Loyang Mendale menggambarkan adanya pengaturan pemanfaatan lahan untuk berbagai keperluan. Jadi pada masa ini telah diatur sedemikian rupa tidak hanya berkaitan dengan aspek organisasi sosial, struktur sosial, juga aspek pengaturan ruang dan pemanfaatannya. Artinya mereka telah mengatur lahan yang ada untuk difungsikan sebagai pusat kegiatan tertentu. Seperti untuk penguburan, mereka siapkan lahannya di sekitar bagian barat, untuk aktivitas perbengkelan yaitu di sekitar bagian timur lahan dan untuk pengkonsumsian bahan makanan ataupun perapian dipusatkan di sekitar tengah lahan yang berdekatan dengan pusat perbengkelan.

Kelompok manusia masa itu telah mampu menghasilkan berbagai peralatan hidup baik berupa kapak lonjong dan kapak persegi yang diindikasikan dari temuan calon kapak persegi ataupun fragmen kapak persegi. Begitu juga dengan peralatan yang berbahan tanah liat juga diindikasikan diproduksi di situs ini. Secara umum dapat dikatakan bahwa kelompok manusia masa itu telah hidup mandiri. Bahwa pada sekitar 5080 ± 120 BP kelompok manusia ini telah mengenal teknologi pembuatan gerabah, dan pada masa kemudian telah mengenal anyaman rotan, teknologi kapak persegi dan lonjong, penguburan terlipat dan penguburan skunder.

Adanya temuan taring berlubang yang diindikasikan sebagai mata kalung dan juga adanya gerabah dengan berbagai pola hias menunjukkan bahwa aspek estetika semakin berkembang dibandingkan masa-masa sebelumnya. Pada kisaran 5080- 4400 BP aspek estetika pada pola hias gerabah hanya ditunjukkan dari pola hias gores (vertikal atau horisontal) namun pada masa sekitar 3580 ± 100 BP atau setelahnya pola hias pada gerabah semakin variatif begitu juga dengan teknik pengerjaan pola hiasnya juga semakin beragam. Adapun teknik yang digunakan diantaranya gores, tera, slip dan gabungan gores dan tera.

Estetika merupakan bagian dari kehidupan yang  penting bagi masyarakat masa lalu.estetika diindikasikan dari fragmen gerabah untuk keperluan sehari-hari yang berhias dan temuan taring hewan yang berlubang yang merupakan bagian dari sebuah kalung dan fragmen anyaman rotan. Kesua fragmen tersebut jelas menyiratkan aspek estetika didalamnya.

Fragmen keramik yang ditemukan  di Situs Loyang Mendale dan Loyang Ujung Karang menunjukkan masa yang jauh lebih muda yaitu sekitar abad ke-12 hingga 19, sehingga diasumsikan bahwa adanya pemanfaatan lahan tersebut berlanjut yaitu pada masa klasik dan kolonial. Pada masa ini juga diketahui adanya pola hias gerabah yang sama dengan pola hias gerabah di Situs Loyang Mendale.  Selain itu masih berlanjutnya kepercayaan animisme/dinamisme dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Gayo tradisional (Bowen,2003:44; 1998:60). Hal tersebut menggambarkan bahwa adanya budaya yang berlanjut dari masa prasejarah hingga masa-masa awal berkembangnya Islam. Selain itu pemanfaatan lokasi di Situs Loyang Ujung Karang dan juga di Situs Loyang Mendale secara terus menerus melewati berbagai tahapan budaya menjadikan lokasi itu sebagai sebuah multy component site yang berlangsung dari masa Mesolitik, Neolitik hingga Kolonial.

Keberagaman yang telah terjadi pada manusia dan budaya di Tanah Gayo pada masa prasejarah yaitu ras Australomelanesoid yang merupakan percampuran antara ras Australoid dengan ras Mongoloid dengan budaya  Hoabinh-nya, kemudian bercampur kembali dengan ras Mongoloid dengan budaya Austronesia-nya. Percampuran tersebut memberikan andil yang besar bagi perkembangan manusia dan budaya hingga kini. Pluralisme dan Multikulturalisme pada masa kemudian kembali mewarnai masyarakat Gayo baik dengan ras Asiatik-nya atau masuknya budaya India, Islam dan Eropa. Di Situs Loyang Mendale dan Ujung Karang, aspek budayanya menunjukkan cikal bakal sebagian budaya Gayo yang ada sekarang ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa ditinjau dari aspek budaya maka kerangka manusia prasejarah yang ditemukan di Situs Loyang Mendale dan Loyang Ujung Karang adalah nenek moyang orang Gayo.

IV.  Penutup

Hasil penelitian di Situs Loyang Mendale menunjukkan bahwa ada aktivitas manusia pendukung budaya Hoabinh pada kisaran 7400 ± 140 BP hingga 5040 ±130 BP. Pada kisaran 5080 ± 120 BP juga diketahui telah ada kelompok Austronesia yang beraktivitas di Situs Loyang Ujung Karang. Dengan beberapa aspek budaya yang berlanjut (penguburan terlipat) dan juga kesamaan masa radiokarbon pada pengusung budaya tersebut mengindikasikan kedua kelompok manusia dengan ras yang berbeda itu sangat mungkin telah berbaur.

Berbagai tinggalan Austronesia yang penting diantaranya adalah fragmen gerabah berslip merah yang ditemukan yang berkonteks dengan abu pembakaran. Abu pembakaran dimaksud ditarikhan   5080  ± 120 BP dan 4940 ± 120 BP. Pada kisaran 4400 ± 120 BP, mereka telah menguburkan si mati dengan membuat lubang kubur, mengenal estetika berupa pola hias anyaman. Untuk gerabah poles merah diketahui keberadaannya pada 3580 ± 100 BP.

Dalam kerangka budaya, menunjukkan bahwa budaya pada masa prasejarah tampaknya berlanjut pada budaya Gayo tradisional (sebelum masuknya Agama Islam).

 

Kepustakaan

Artaria, Myrtati. D. 2009. Antropologi Dental. Yogyakarta. Graha Ilmu

Bellwood, Peter. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Bowen, John. R. 1998. Religions in Practice, an Approach to The Anthropology of Religion. Washington: Allyn & Bacon

Bowen, John. R. 2003. Islam, Law and Equality in Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press

Hurgronje, Snouck. C. 1996. Gayo Masyarakat dan Kebudayaannya Awal Abad ke-20. diterjemahkan   Hatta Hasan Aman Asnah.Jakarta: Balai Pustaka

Melalatoa, M. Junus. 2003. Gayo Etnografi Budaya Malu. Jakarta Yayasan Budaya Tradisional dan Menbudpar

Simanjuntak, Truman. 2006. Pluralisme dan Multikulturalisme Dalam Prasejarah Indonesia, Penelusuran Terhadap Akar Kemajemukan Masa Kini. Jakarta: Puslitbang Arkenas

Sumijati. A. S. 1998, Nusantao dan Distribusi Gerabah Bau-Melayu, dalam makalah EHPA Cipayung 1998

Wiradnyana, Ketut, 2011. Prasejarah Sumatera Bagian Utara, Konstribusinya Pada Kebudayaan Kini. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Wiradnyana, Ketut, & Taufiqurahman S. 2011. Gayo Merangkai Identitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Wiradnyana, Ketut, 2012a.”Indikasi Pembauran Budaya Hoabinh dan Austronesia di Pulau Sumatera Bagian Utara”, dalam  Berkala Arkeologi Sangkhakala Vol XV No.1 Mei 2012. Medan: Balar Medan.

Wiradnyana, Ketut, 2012b.”Agrikultur Masa Prasejarah Di Situs Hoabinh dan Austronesia”, dalam  Agrikultur Dalam Arkeologi. Medan: Balar Medan.

 —

Makalah ini disampaikan pada International Confrence Gayo Kingdom, Darulaman Suit Malaysia, 7-9 Oktober 2012

*Arkeolog di Balai Arkeologi Medan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.