SEKITAR setengah abad yang lalu, Clifford Geertz telah melakukan sebuah penelitian di Pulau Jawa, yang menghasilkan kesimpulan bahwa telah terjadi involusi pertanian, yakni suatu keadaan meningkatnya jumlah penduduk tanpa dibarengi penambahan lahan garapan sehingga mereka kemudian terpaksa membagi lahan pertanian sama rata, sama rasa. Dengan demikian, kata involusi dapat dipadankan juga dengan kata kemerosotan.
Maka untuk sementara, kita sepakati dulu definisi involusi tanah sebagai kemerosotan kepemilikan luas tanah. Sementara kata pribumi penulis sepadankan dengan individu-individu yang memiliki pertalian dengan Gayo (Gayo asli atau keturunan) atau yang merasa dirinya sebagai bagian dari orang Gayo, meskipun hakikatnya mereka bukan suku Gayo.
Kita tahu bahwa tanah adalah modal utama bagi para petani dan pekebun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa melalui sistem ‘pewarisan’, kepemilikan tanah semakin menciut seiring bertambahnya generasi masyarakat Gayo. Namun ironisnya, dalam konteks lokal, involusi tanah pribumi tidak terjadi dalam proses pewarisan tanah antar generasi saja, tetapi juga melalui proses jual beli. Sebagian penduduk pribumi generasi baru menjual tanah-tanah mereka, baik berupa kebun maupun tapak rumah kepada para ‘koro jamu’, sehingga hampir nyata pula keadaan yang menunjukkan eksistensi mereka yang mulai terpinggirkan. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh kondisi di mana generasi baru yang telah mengenyam pendidikan tinggi sebagian tidak kembali kepada mata pencaharian penduduk asli.
Tetapi tidakkah suatu peluang yang terbuang percuma, bila anak petani yang sudah mengenyam pendidikan tinggi tidak kembali kepada usaha yang telah dirintis oleh orang tua mereka? Paling tidak mereka bisa menjadi petani berdasi melalui sistem managerial perkebunan yang lebih mumpuni. Karena sesungguhnya potensi rezeki di sana jauh lebih banyak ketimbang selalu berupaya mengemis pekerjaan di ladang uang milik orang lain. Atau paling minimal, jangan meninggalkan kebun, meskipun sudah bekerja di kantor.
Pakar ekonomi dunia, Hernando de Soto, berpendapat bahwa batu sandungan utama yang menahan masyarakat pinggiran untuk mendapatkan keuntungan dari kapitalisme adalah ketidakmampuan mereka dalam menghasilkan kapital, tak peduli seberapa besar semangat masyarakatnya dalam beraktivitas. Memang selama ini, apa yang dimiliki oleh masyarakat sebagian besar tidak terepresentasikan ke dalam cara yang benar untuk menghasilkan nilai tambah. Sebagian masih terjebak dalam lingkaran setan perjudian.
Mereka menjual tanah untuk berjudi. Sebagian yang lainnya menjual tanah untuk kepentingan ‘pasar’ pendidikan, atau digunakan untuk ‘uang sogok’ masuk pegawai negeri. Sebagian lagi menjual tanah tetapi tidak jelas pemanfaatannya, sehingga perlahan tapi pasti, uangnya ludes oleh karena dipinjam saudara atau digunakan untuk kebutuhan rumah tangga. Hanya sebagian kecil yang berpikir bahwa aset yang ada harus mampu dikelola sedemikian rupa untuk menghasilkan aset yang lain.
Dalam abad millennium ini, informasi menjadi kunci dalam memenangkan pertempuran kehidupan. Sayangnya, dalam pertempuran akan selalu ada pihak yang menang dan kalah. Siapa yang memenangkan tahta dan siapa yang tersungkur ke dalam kubangan kerbau. Informasilah yang dapat membantu masyarakat kita agar kelak tidak menjadi ‘penonton terbaik’ atau tidak menjadi tuan di tanahnya sendiri.
Involusi tanah pribumi, lebih baik mencegah daripada menyesal. Tanda-tanda ke arah itu telah ada, maka kita perlu mencegahnya atau minimal memperlambat prosesnya. Pertama, pencegahan dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri melalui ‘Sarak Opat’.
Tetapi untuk konteks zaman sekarang, hal tersebut agak sulit diwujudkan mengingat struktur yang lama hidup di dalam masyarakat tersebut telah tergerus oleh roda perputaran zaman atau oleh politik pemberangusan kearifan struktur masyarakat lokal, dimulai sejak masa Orde baru.
Maka jalan kedua adalah pencegahan melalui intervensi pemerintah daerah. Selayaknya seorang ayah yang tidak rela bila anak-anaknya menjual tanah pusaka, seorang kepala daerah pun sebaiknya bersikap demikian. Sebab bupati adalah representasi kepala keluarga di dalam masyarakat yang diayominya. Bupati ialah pimpinan yang lebih dekat dan lebih tahu tentang domain persoalan yang berkembang di dalam masyarakatnya.
Maka bupati seharusnya mampu memberi informasi serta mendorong penduduk lokal untuk menghayati kepentingan mereka, terutama dengan menjaga aset-aset mereka, ‘tenaring ni muyang datu’, agar tidak jatuh ke tangan orang lain yang mungkin pada awalnya sekedar datang untuk bertamu. Upaya ini dapat dipandang sebagai salah satu langkah politik kesejahteraan penduduk pribumi.
Daripada membiarkan masyarakat untuk sekedar memenuhi tujuan pragmatis dan hasrat memperoleh uang seketika, alangkah lebih baik jika pemerintah daerah membimbing langkah masyarakatnya ke arah sikap mau menggali potensi aset yang sudah dimiliki. Maka harus ada sebuah pendekatan yang memiliki ‘misi suci’ menyadarkan masyarakat akan struktur dan situasi keterbelakangan yang mereka rasakan, kemudian dibarengi dengan motivasi yang kuat untuk keluar dari situasi tidak menguntungkan tersebut.
Mungkin kita masih percaya bahwa saat ini masyarakat Gayo adalah masyarakat agraris. Itulah yang perlu dipertahankan, sembari mendorong sebagian pribumi yang lain untuk mulai juga merambah sektor perdagangan yang menjadi kunci penting dalam kesejahteraan. Faktanya hanya sebagian kecil sektor perdagangan yang masih didominasi oleh pribumi, yakni perdagangan kopi. Di luar daripada itu, ‘koro jamu’ lah yang lebih banyak berperan. Hal itu bisa dipetakan atau diamati pada penguasaan aset di daerah Pasar Inpres, Pasar Bawah, Komplek Terminal, Jalan Lintang, Simpang Empat, dan bahkan di daerah Uning.
Memang pemerintah daerah tidak mungkin melarang arus pendatang ke Tanah Gayo. Oleh sebab itu, masyarakat pribumi harus diperbaiki paradigma berpikir dan mentalitasnya, agar kelak tidak lagi ‘munebang uten’ demi membuka lahan baru. Sebab hal tersebut tidak baik terhadap kelestarian ekosistem bumi.
Saat ini sebagian jantung Kota Takengon hampir dapat dikatakan tersekat-sekat oleh segmentasi kesukuan. Keadaan ini sesungguhnya tidak menguntungkan dalam upaya pembangunan kota dengan spirit pluralitas budaya bangsa, sebab dapat mengancam cita-cita persatuan dan kesatuan. Ditambah dengan masalah kecemburuan sosial yang dapat memicu interpretasi keliru dan percikan isu-isu tak sedap terhadap ‘koro jamu’ yang kebetulan lebih sukses, dikhawatirkan berujung pada tindak kekerasan, yang tentunya sangat destruktif terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada hakikatnya, siapapun Warga Negara Indonesia bebas mencari kehidupan di setiap sudut tanah Ibu Pertiwi. Namun demikian, selayaknya pribumi tidak menjadi kaum yang terpinggirkan, sebab hal tersebut terdengar amat menyakitkan. Apa yang telah terjadi pada suku Betawi seyogyanya tidak terjadi pada suku Gayo kelak. Hal ini perlu diupayakan tidak dengan jalan diskriminasi, tetapi melalui langkah sosialisasi.(indra_oh_man[at]yahoo.co.id)
*Alamuni Universitas Indonesia/Warga Kota Takengon