Cara Orang Gayo Menghargai Seniman

Catatan: Jauhari Samalanga*

HAMPIR semua orang Gayo yang menyukai Didong mengenal Mustafa AK. Dialah pengarang yang telah berpulang ke Rahmatullah Kamis 25 Oktober 2012 di RSU lalu—sehari menjelang lebaran Idul Adha.  Bagi saya–sosok Mustafa penting dalam dunia seni tradisional di Gayo–karena dialah salah satu sosok diantara sosok lainnya yang patut dijaga dan dikenang atas karya-karyanya.

Secara umum, berbicara seniman Gayo, berarti kita sedang membicarakan “harga diri” Gayo, lantaran Gayo tanpa seniman ibarat malam tiada berbintang. Seniman di Gayo cukup penting, sebab seniman adalah tulang punggung Gayo seutuhnya. Saya tidak melihat ada orang Gayo yang tidak mengenal seni, dan hampir seluruh tokoh dan seluruh urang Gayo mampu berbicara seni, ini berarti orang Gayo cukup mengenal kesenian bertalenta tinggi.

Kepergian seniman Mustafa AK harus menjadi catatan penting bagi kita semua, apabila seniman haruslah berada di tempat perkuburan yang layak. Agar tercatat sejarah Gayo dimasa mendatang. Banyak seniman Gayo yang namanya menghilang gara-gara “penghargaan” yang kurang. Saya ingat ketika Ceh Raof wafat, saya dan teman-teman baru mendengar berpulangnya beliau beberapa minggu kemudian, hingga pertanyaannya, kenapa seniman sebesar Ceh Raof tidak diapresiasi dengan layak—bahkan media mengabaikannya.

Tidak bisa dipungkiri apabila nama besar seperti Ceh Daman, To’et, Ceh Sahak, Ceh Tujuh,  Lakiki, Sali Gobal, dan lain-lain selayaknya berada di museum dan menjadi sejarah muatan lokal di sekolah, lantaran merekalah yang membesarkan Gayo dengan karya-karya besar. To’et misalnya, dalam kepenyairan nasional karyanya berhasil memberi pengaruh besar dalam gaya pembacaan puisi Indonesia, sehingga julukan kepada To’et disebut Penyair negeri firdaus, atau Sali Gobal yang dalam jenis syair didongnya membawa pengaruh pada gaya puisi, termasuk gaya puisi Fikar W Eda “Kelangit Tak Berbatas”. Kelangit tak berbatas, kebumi tak berpentas, seperti burung yang lepas, Aku terbang sendirian…..

Ceh Daman, dengan sebuah lagu “Aman” berhasil menyatukan orang gayo yang berselisih politik dimasa DI/TII, atau To’et yang mencatat peristiwa rodi semasa Jepang. Sali Gobal dengan gaya bahasa tegas, membentuk kesantunan dan pesan moral yang kuat bagi urang Gayo, atau ceh Sahak yang khas dengan suling dan Guelnya. Begitupun pengkarya lainnya yang sarat menjaga Gayo secara kuat.

Pertanyaannya sekarang dimana sejarah mereka? Dan sudah bukan rahasia umum lagi apabila perwatakan seni urang Gayo yang tinggi kerapkali melupakan pengkaryanya, sehingga yang berjalan adalah karyanya, bukan sosoknya. Ini sungguh menyedihkan, kita kurang detail dengan kesenian kita sendiri, yang akhirnya justru mengaburkan sejarah seniman di Gayo.

Dalam pandangan saya, taman makam pahlawan di umah Opat, Simpang 4, seharusnya disitulah para suhada seni di kebumikan, karena seniman berkarya semata untuk Gayo. Kalau dilihat dari entitas matrial, maka menjadi seniman sama dengan “musibah”, karena tidak dapat menghidupi. Tetapi sebuah karya akan mampu menghidupi orang yang banyak, karena karya adalah emosional bagi yang menikmati.

Saya menjadi ingat dengan cerita “hebat” ibunda Ramlah, seniman perempuan yang konsisten berkarya untuk Gayo. Katanya, dirinya malu, karena dimana-mana orang Gayo mengecilkannya hanya gara-gara soal pribadi yang dia jalani sebagai seniman, sebagai perempuan, sebagai istri, dan sebagai ibu rumah tangga. Sebagai seorang Ramlah yang juga punya “hati” untuk memilih. Namun dengan halus dia katakana, tidak masalah karena sudah seperti itu (dalam bahasa Gayo).

Hingga akhirnya—setelah itu—saya lalu bertanya dalam hati kenapa lagu-lagu Ramlah begitu banyak membuat orang Gayo menangis dan mengenang kampung halamannya. Bahkan ada yang menjadikan Lagu Ramlah sebagai symbol Gayo yang kuat. Persoalannya, ya Ramlah-nya. Kasian dan sangat naïf karenanya, seniman menjadi nomor sekian setelah karyanya.

Kembali soal seniman, dalam pandangan  logis saya selayaknya perkuburan untuk seniman di Gayo harus dibangun, karena disitulah cerita Gayo berkumpul.  Distulah sejarah seniman dan karya-karyanya muncul untuk diketahui lintas generasi masa mendatang.

Kita ketahui, Anak-anak Gayo sekarang mulai terputus berkomunikasi dengan karya masa lalu yang hebat, hanya lantaran munculnya “dunia baru” bernama tehnologi, Karya lagu Gayo, mulai menghilangkan nama pencipta hingga yang tampil cuma judul lagu yang diramu dalam format Mp3 semata. Inilah sebenarnya maksud kenapa perkuburan seniman diperlukan. Agar kelak nama besar Gayo tercatat sebagai “Gayo” yang memiliki konsekuensi budaya yang tinggi. Bukankah Begitu semestinya untuk menjaga pahlawan seni, seperti kepada Almarhun Ayahanda Mustafa AK, seniman hebat yang kini meninggalkan karya.###

*Pengamat Seni dan anggota Forum Gayo Go Green

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.