Kearifan Ekologi Gayo

 


Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

DALAM 16 tahun terakhir (sejak 1996), lingkungan fisik Takengon kian berubah. Secara umum, tanoh Gayo. Hal itu ditandai dengan banyaknya hutan-hutan yang gundul. Terjadinya alih fungsi hutan jadi lahan perkebunan, sawah, tempat-tempat publik, dan rumah-rumah penduduk. Sayangnya, pembangunan yang ada tidak dibaringi dengan perencanaan tata kota Takengon yang ramah lingkungan. Kemungkinan, perencaanan tata kota ini sudah ada. Tapi, tidak terlaksana seperti yang direncanakan. Sebab, willing dari pelaksana kebijakan lemah, kurangnya partisifasi masyarakat, tidak adanya pengawasan dari Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK), dan lemahnya penerapan hukum. Indikator lainnya, air Danau Laut Tawar terus menyusut. Alhasil, udara di Takengon pun semakin panas. Di lain pihak, pertumbuhan penduduk terus bertambah tanpa adanya perencanaan yang baik.

Sebetulnya, orang Gayo memiliki kearifan ekologi baik berupa konsep, nilai, norma maupun kebiasaan. Termasuk, soal ketahanan pangan. Kemungkinan, kebiasaan itu sudah ada sejak 4000 tahun lalu. Sayangnya, kearifan-kearifan tersebut tidak tergali, terpublikasi, terdokumentasi, dan teralih (transmisi) dengan baik kepada generasi Gayo sekarang.

Sarak Opat

Hebatnya lagi, ada lembaga khusus yang mengurusi ā€œlingkunganā€ dalam Kerajaan Linge ā€œPemerintah Gayoā€ yang disebut Sarak Opat. Sarak Opat diartikan empat unsur atau lembaga (utama) yang terdiri atas reje (raja-pemimpin), petue (orang yang dituakan-pakar, praktisi, atau profesional), imem (imam), dan rayat (rakyat-lembaga perwakilan; seperti Dewan Perwakilan Rakyat). Di bawah Sarak Opat, ada pawang (pawang), kejurun belang (mengurusi persawahan), pengulu uten (mengurusi kehutanan), pengulu uwer (mengurusi perternakan), pawang lut (mengurusi kelautan), dan pengulu rerak (mengurusi perairan, irigasi, kelautan).

Kejurun belang, misalnya, ada waktu khusus untuk menyemai bibit, menyiapkan lahan, menanam, panen sampai lues belang. Itu semua terlaksana melalui komando kejurun belang. Penetapan itu pun tidak sembarangan. Namun, didasarkan pada pola musim, angin, matahari, perbintangan, dan lain-lain. Ada kalkulasi matematika, kepekaan (inderawi dan batin), amatan (observasi), dan riset panjang di situ. Lues belang sendiri merupakan masa mengistirahatkan lahan. Dengan begitu, sawah tidak melulu dipaksa untuk menghasilkan padi, tetapi ada tenggat waktu untuk memulihkan dan menjaga kesuburan lahan. Cacing dan jasad renik di dalam tanah ikut selamat. Lebih luas, keseimbangan lingkungan kerap terjaga. Karena, minimnya kerusakan lingkungan (sawah) yang terjadi.

Demikian halnya dengan pengulu uten, keberadaannya turut menjaga kehijauan lingkungan (hutan) di Gayo. Masa sebelumnya, ada norma yang mengharuskan untuk tidak menebangi pohon sembarangan. Pohon-pohon yang sedang dan kecil benar-benar dijaga. Soalnya, dianggap sebagai pengganti. Tak cuma itu. Dalam menebang, ada doa pramenebang, saat, dan paskamenebang. Juga, ada iringan kur dan musik bersama untuk menyemangati penebang pohon. Terutama, pohon-pohon besar. Demikian pula dalam mengangkat kayu; diringi bunyi canang, bensi, dan alat musik Gayo lainnya.

Revitalisasi

Ironisnya, lembaga itu tinggal nama. Akibatnya, generasi Gayo kurang mengenalnya. Nilai-nilai yang dikandunginya pun tidak lagi ber-intingible dan ber-chemistry. Lebih dari itu, Sarak Opat tidak eksis dan berjalan lagi sebagaimana mestinya. Karena, sudah digantikan dengan unsur pemerintahan formal dan berlaku di seluruh Indonesia. Pemberlakuan yang mengindonesia itu telah pula ā€œmembengarusā€ Sarak Opat dengan unsur-unsur di dalamnya.

Semestinya, Sarak Opat dan subkelembagaan di bawahnya tetap diberi ruang untuk hidup. Apalagi, dengan kondisi kekinian Aceh sekarang. Lebih-lebih lagi, penetapan Qanun Wali Nanggroe yang cenderung rasis dan diskriminatif. Pasalnya, lembaga formal dan hukum positif yang berlaku tidak serta merta dapat menyelesaikan pelbagai persoalan di tengah-tengah masyarakat. Termasuk, dalam kasus-kasus perusakan lingkungan. Ā Malah, tidak berefek jera. Dengan kata lain, makin menguatkan pelakunya untuk menghentikan tindakannya.

Sebaliknya, Sarak Opat mampu menjaga lingkungan hijau (green atau ijo). Tak hanya itu, konsep, nilai, norma, dan kebiasaan dalam menjaga lingkungan kerap terjaga. Dengan pengertian lain, memberikan pengetahuan dan wawasan ā€œkehijauan.ā€ Lebih dari itu, lembaga ini dapat menciptakan harmonisasi dalam masyarakat melalui penyelesaian kasus-kasus perusakan lingkungan. Pada akhirnya, identitas kegayoan pun ikut terawat. Salah satunya, dalam memertahankan bahasa Gayo. Pasalnya, kelestarian lingkungan di Gayo akan ikut membantu penyelamatan dan pelestarian bahasa Gayo.

Sudah waktunya Sarak Opat direvitalisasi. Dengan begitu, dapat membantu upaya penyelamatan (penghijauan) lingkungan. Dalam praktiknya, Sarak Opat bisa bersinerji dengan pemerintah kabupaten, akademisi, ulama, tokoh masyarakat, mahasiswa, elemen-elemen sipil, pemerintah kabupaten, dan lain-lain.

*Pengkaji Ekolinguistik/Ekojurnalistik serta Anggota Forum Gayo Go Green (3G)

Ā 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.