Catatan Ulis Zuska
DALAM bahasa puisi saya menyebut Gayo itu sebagai daerah “percikan surga”. Hal ini dikarenakan alam Gayo memang cantik, indah, dan sempurna. Gelar itu adalah wajar, selain indah, gayo memiliki kesuburan tanah yang tidak semua daerah memilikinya.
Tetapi kemudian saya mejadi sangat takut karenanya. Sebuah Danau Laut Tawar dengan lingkaran gunung-gunung pinus pemberi oksigen dan inspirasi, ditambah kesejukan alam dengan khasanah kopi Gayo jenis arabika, sungguh “Alam Gayo” sulit dibilang jauh dari percikan surga, hingga akhirnya eforia itu berkembang menjadi ‘keangkuhan’ yang berimbas pada keterlenaan, perasaan “nomor satu” yang lambat laun hanya akan menjadi sejarah. Keindahan tanpa mengedepankan keseimbangan, tentu akan menjadikan eforia itu menurunkan kepedulian dan menaikan “kesombongan” mempertahankan sejarah keindahan sebagai perwujudan pertahanan gengsi tentang alam Gayo yang “terindah”.
Kebiasaan membidik gayo hanya dari sisi keindahan semata. Dunia fotografi misalnya, kerap menjadikan objek alam gayo yang indah, begitu pula karya syair, hanya memuji keindahannya saja hingga melupakan kepunahannya, para fotografer dan penyair sering lupa membidikkan kamera pada objek yang harus mendapat perhatian semua kita, contoh keberadaan enceng gondok yang memenuhi area sungai, keberadaan wc terapung yang berjejer merusak mata saat melintas di sepanjang sungai.
Untuk itu, alangkah baiknya, bicara soal lingkungan hidup, berarti kita sedang menimbang-nimbang kondisi alam yang hakiki. Jika dikaitkan dengan konteks religi, Tuhan menciptakan makhluk hidup di bumi ini penuh dengan keseimbangan, ada siang ada malam. Ada bumi ada langit yang didiami 3 makhluk, yakni manusia, hewan dan tumbuhan yang kesemuanya ini dimaksudkan untuk saling memenuhi satu dengan yang lain. Dari ketiganya, sang pencipta mentasbihkan manusia sebagai khalifah di bumi. Karena dari ketiganya itu manusia lah makhluk yang paling sempurna. Saling membutuhkan satu sama lainnya. Apabila satu diantara yang tiga musnah, maka yang lainnya menjadi lemah, bahkan ikut musnah pula.
Dari ketiga unsur itu, maka manusialah yang diberi kelebihan pada akal sehingga disebut makhluk paling tinggi derajatnya. Pantas kalau manusia menjadi solusi pemecah masalah karena otak dan akal yang diberikan padanya dapat menghasilkan ‘teknologi’.
Hanya saja, sebagai makluk yang diciptakan lebih sempurna dan berderajat tinggi, manusia tidak terlepas dari sifat tamak yang kerapkali mengorbankan makhluk lainnya walau kemudian berdampak pada diri sendiri, karena manusia, tumbuhan, dan hewan merupakan sinergi yang terjalin sebagai kekuatan alam.
Sikap tamak itu pula bomerang bagi alam, karena ada proses penghancuran tanaman, yang kemudian praktis berdampak hilangnya binatang. Jadi, karena sinergitas yang kuat secara otomatis bila salah satu spesies tumbuhan hilang, maka ada spesies hewan yang ikut hilang. Manusia dalam konteks ini, persis kata pakar tanah dan Guru Besar Universitas Brawijaya Prof. Dr. Ir. Syekhfani, MS, kalau Manusia: mempertahankan hidup, mendapat tugas dari Tuhan – menjaga keseimbangan alam atau dalam bahasa lain Tuhan menciptakan alam semesta dalam kondisi: seimbang (natural equilibrium).dan Tuhan menciptakan keseimbangan secara: berpasangan.
Kenapa Tuhan mencipta keseimbangan? Masih kata Prof. Dr. Ir. Syekhfani, MS, referensi Pro Keseimbangan ditujukan agar stabil. Bila keseimbangan terganggu, berubah menjadi labil, sehingga mengganggu hidup dan kehidupan. ”Hidup-mati, lingkungan hidup-lingkungan mati. Bagaimana agar hidup? Cegah agar tidak mati. Apa kebutuhan hidup? udara, air, makanan, sinar, dijaga agar cukup jangan kurang atau tidak ada! kurang? cukupi… tidak ada? adakan!. ”Lingkungan sehat adalah lingkungan tidak tercemar. Karena itu jangan cemari! Kalau sudah tercemar, apa yang mencemari? Sampah? Hilangkan sampah tersebut! Selanjutnya, jangan sampai ada lagi sampah!”
Di konteks ini, barangkali penonjolan persoalan di alam Gayo kurang menjaga keseimbangan, sehingga dalam etika, kebiasaan, dan budaya turut terkikis pula. Diluar kesadaran kita, banyak hal yang mulai hilang dari peradaban ke gayoan kita.
Jadi, kalau kita berharap alam ini terus indah, maka manusia, tumbuhan dan hewan di Gayo harus bersinergi dari awal hingga akhir. Kita telah melupakan banyak hal tatkala kita mengacuhkan sinergi tiga makhluk alam. Akibatnya pergeseran pun kian menguat.
Sekarang, daripada tidak sama sekali, harus dimulai dengan membangun kesadaran penting nya sinergi. Andai kita berharap alam ini terus indah, manusia harus mampu memebri emosional kecintaan pada sinergitas 3 maklhuk, tanpa itu bersiaplah untuk kepunahan yang ujung-ujungnya menghilangkan kebahagiaan hidup,karena kenyamanan dan keindaham bukan milik bumi lagi. Kalau itu terjadi, nauzubillahiminzalik.
Arzuliska Zuska (Ulis Zuska) adalah alumni Fakultas Hukum Unsyiah, penyair, dan anggota forum Gayo Globe