Takengon | Lintas Gayo – Semakin banyaknya benda budaya Gayo yang nyaris tidak dikenali lagi oleh generasi Gayo saat ini, sekelompok kolektor benda budaya dan pemerhati sejarah, seni dan budaya Gayo menggagas dibentuknya komunitas.
Gagasan ini dicetuskan oleh kolektor benda budaya Achrial Aman Ega, mantan Duta Wisata Aceh 2011 Mukhlis Muhdan, Adib Bale dan pembina Komunitas Seni Budaya Lintas Gayo Khalisuddin dalam sebuah pertemuan di Takengon kemarin, Jum’at 28 Desember 2012.
“Banyak sekali benda budaya kita yang sudah tidak dikenali lagi. Saya sangat sepakat agar dibentuk satu komunitas untuk memudahkan konsolidasi, koordinasi serta silaturrahmi sesama kolektor dan pemerhati sejarah, seni, budaya Gayo,” kata Aman Ega.
Selain itu, lanjutnya, terbentuknya komunitas ini akan mendukung program pemerintah yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Selanjutnya penjelasan Mukhlis Muhdan yang juga sebagai Pamong Budaya untuk wilayah tengah Aceh. Dirinya sangat sepakat atas gagasan tersebut karena sejauh ini dirinya sendiri selaku Pamong Budaya mengalami kesulitan menginventarisasi benda budaya Gayo.
“Dengan terbentuknya komunitas ini diharapkan dapat diinventariasi kembali benda-benda budaya Gayo yang pernah ada. Banyak sekali yang rusak dan malah hilang. Kita ingin inventarisasi lagi dan minimal kita ketahui dimana keberadaannya dan seterusnya membuatkan duplikat atau fotonya,” kata Mukhlis. Tujuan lainnya adalha membantu para peneliti terkait Gayo agar mudah mencari data primer dan sekuder terkait Gayo, timpalnya.
Diantara kolektor benda budaya Gayo di Takengon, Gayo Lues, Lokop Serbejadi dan Bener Meriah yang diketahui Mukhlis diantaranya M. Thaib KB untuk senjata, Syirajuddin AB kolektor Keni atau gerabah serta dokumen tertulis sejarah perjuangan kemerdekaan rakyat Gayo.
Selanjutnya ada nama mantan Bupati Bener Meriah Tagore AB, Tgk. Irsyad Aman Imanuddin, LK Ara, Achrial Aman Ega, keluarga Almarhum Syeh Kilang, Mukhlis Gayo, keluarga Abu Hurairah di Gayo Lues, Kamaruddin di Lokop Serbejadi dan banyak lagi yang lainnya.
“Nama-nama ini belum termasuk para kolektor yang ada di perantauan seperti Banda Aceh, Medan dan kota-kota lain di Indonesia,” pungkas Mukhlis. (Wein Mutuah/red.03)