Menag RI : Pengembangan SDM, Agenda Penting dalam Reformasi Birokrasi

Takengon | Lintas Gayo –  Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi salah satu agenda penting dalam reformasi birokrasi Kementerian Agama, kata Menteri Agama RI, Suryadarma Ali dalam sambutannya yang dibacakan Bupati Kabupaten Aceh Tengah, Drs.H. Nasaruddin, MM, dalam acara puncak peringatan Hari Amal Bakti (HAB) Kementerian Agama ke-67 di Lapangan Setdakab Aceh Tengah, Rabu (03/01/2013).

Melalui Nasaruddin, Menteri Agama meminta segenap jajaran pimpinan dan pegawai Kementerian Agama untuk mempelajari wawasan sejarah Kementerian Agama, menggali pemikiran-pemikiran besar para tokoh Kementerian Agama, serta mengkaji perubahan masyarakat yang terjadi secara cepat, dalam rangka memberi bobot dan makna terhadap peran aktual Kementerian Agama di tengah pusaran kehidupan bangsa.

“Sejalan dengan tema Hari Amal Bakti Kementerian Agama ke-67 Tahun 2013, yaitu “Meningkatkan Kinerja Kementerian Agama dengan Profesionalitas dan Integritas”, saya meminta komitmen seluruh jajaran aparatur Kementerian Agama agar bekerja secara profesional dan memiliki integritas”, Katanya.

Untuk menjaga profesionalitas dan integritas itu, Kementerian Agama RI mengambil langkah stategis sejak perekrutan calon pegawai melalui sistem yang transparan dan memenuhi standar manajemen mutu ISO sampai pada pengembangan jenjang karir yang memenuhi unsur keadilan dan menghargai prestasi kerja perorangan.

“Saya berharap seluruh aparatur Kementerian Agama memperbarui paradigma, yaitu bekerja secara dinamis dan proaktif melakukan sinergi dengan unit dan lembaga lain, baik secara internal maupun eksternal, guna memenuhi tuntutan dinamika kementerian dan dinamika masyarakat”, harap Menteri.

Dilanjutkan, Kementerian Agama RI akan menjalankan 5 bidang program startegis diantaranya, peningkatan kualitas kehidupan beragama, peningkatan kualitas kerukunan umat beragama, peningkatan kualitas pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji, serta tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance).

“Dalam kaitan ini saya ingin mengingatkan kita semua bahwa tolok-ukur keberhasilan program Kementerian Agama tidak seluruhnya dapat dituangkan dalam grafik dan angka- angka yang bersifat kuantitatif, tetapi banyak pula yang bersifat kualitatif”, pungkas Suryadarma Ali melalui Bupati Aceh Tengah.

Amatan Lintas Gayo, Hari Amal Bakti Kementerian Agama, dihadir oleh, Jajaran Muspida Plus Aceh Tengah, dan kegiatan ini juga dibarengi dengan kegiatan dari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Aceh Tengah, dengan menggelar sejumlah lomba yang terbagi dalam beberapa Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) masing-masing Kecamatan di Aceh Tengah. (Darmawan Masri)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. Rasisme, Sukuisme, Harokisme….

    Sudah menjadi fithrah, bahwa Allah menciptakan manusia secara berbeda. Walaupun kembar sekalipun, tidak ada yang benar-benar sama identik. Tapi bukan untuk kesia-siaan Allah mengatur demikian. Ada hikmah yang terkandung. Ada pesan yang tersirat. Bahwa Allah menciptakan kita berbangsa-bangsa, bersuku-suku…adalah agar kita saling mengenal. Dan imbas dari semua itu ialah, agar terjalin ukhuwah Islamiyah.
    Sukuisme….. Istilah itu begitu menakutkannya. Mengkotak-kotakkan manusia atas nama perbedaan. Membatasi pergaulan atas nama adat. Memberi jeda dalam setiap bahasa. Muncul chauvinisme. Menganggap suku yang satu lebih tinggi dan mulia dibandingkan suku yang lain. Perang antar suku berkobar. Terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Membunuh anggota suku lain dan merasa telah menuntaskan pembelaan terhadap sukunya. Semua hanya karena satu kata: adat!

    Dalam lingkup dunia, rasisme tak kalah mengerikan. Hanya karena ras tertentu merasa lebih tinggi dibanding ras yang lain, maka ras yang lain itu tertindas. Ras yang lain pun mengobarkan perlawanannya. Menentang ras tertentu untuk menunjukkan eksistensi masing-masing. Pecahlah peperangan. Perbudakan bagi ras yang kalah. Penjajahan yang dilakukan oleh ras yang menang. Kekuatan hanya dibuktikan oleh fisik semata. Yang inti permasalahannya cuma satu: perbedaan warna kulit!
    Harokisme… Mungkin ada di antara antum yang belum akrab mendengar istilah tersebut. Saya sendiri juga tidak begitu paham bagaimana penyebutannya. Tapi istilah ini saya munculkan untuk menyebut para aktivis harokah yang menganggap baik harokahnya sendiri, sehingga meninggalkan pesan Allah, bahwa semua manusia diciptakan memang beragam…agar saling mengenal.
    Harokisme. Dengan tujuan yang sama, ingin menegakkan Dienullah di muka bumi. Dengan cara yang masing-masing berbeda. Harokah A ingin melanjutkan kehidupan Islam, harokah B ingin mensyiarkan sunnah, harokah C ingin membuat ishlah, dan seterusnya. Bukankah masing-masing dilakukan dengan melalui proses ijtihad? Bukankah pemikiran manusia memang tidak ada yang sempurna? Dan bukankah hanya Allah saja yang mengetahui benar-salah, baik-buruk, dosa-pahala? Kenapa harus saling mencela? Ketika suatu harokah bergerak dengan memanfaatkan sistem, muncul reaksi dari harokah lain yang menganggap sistem tersebut haram. Lalu mengatakan, bahwa tidak mungkin Allah akan meridhoi langkah perjuangan orang yang melakukannya dengan cara-cara yang tidak diridhoinya. Apakah jamaah antum yang menetukan sesuatu itu diridhoi-NYA atau tidak? Lalu ketika suatu jamaah memberikan bantuan makanan, obat-obatan, maupun pelayanan kesehatan dan menganggap hal itu termasuk salah satu kaidah dakwah, jamaah lain menolak. Merasa bahwa ummat tidak akan mungkin tersadarkan dengan cara-cara seperti itu. Apakah jamaah antum yang menentukan bahwa seruan (dakwah) kita diterima masyarakat atau tidak? Bukankah tugas kita HANYALAH menyeru? Yang dinilai oleh Allah bukanlah hasil, tapi perjuangan kita.
    Semoga antum-antum yang mempermasalahkan harokah itu bisa paham maksud saya. Saya hanya ingin mencontohkan, bahwa jika dakwah diukur dari hasil, maka apakah Nabi Musa as memperoleh pahala? Kaumnya meninggalkannya. Bahkan mereka (Bani Israel) kembali pada kekafirannya setelah Musa meninggalkannya. Dakwah Nabi Musa tidak berhasil (menurut ukuran manusia). Tapi di mata Allah, subhanallah! Namanya bahkan menjadi nama yang paling sering disebut dalam Al Qur’an.
    Rasisme, sukuisme, dan harokisme.
    Hal itu seharusnya tidaklah menjadi masalah ketika kita mampu menerimanya sebagai suatu keberagaman, bukan perbedaan. Karena perbedaan itu fithrah. Wallahu a’lam.

  2. Sukuisme, Apa Jadinya Bila Menjadi Semangat Primordial dalam Kehidupan Plural?

    Sukuisme, dalam kamus besar Bahasa Indonesia di maknai sebagai “paham atau praktik yang mementingkan suku bangsa sendiri”. Suatu keadaan yang menunjukan suatu klasifikasi subjektif dari anggota komunitas tertentu dalam keeksistensiaan mereka. Sukuisme juga merujuk kepada suatu rasa cinta yang berlebihan terhadap suku bangsa sendiri, yang tak jarang menunjukan ketidaksukaan kepada suku lain baik secara ideologis maupun praksis. Implikasinya ialah sukuisme menjadi akar pemikiran yang menjadi sangat riskan dalam penempatan eksistensi hidup orang banyak.

    Masyarakat plural sendiri, ialah bentuk komunitas dengan berbagai latar belakang yang multi dimensional. Keaneka ragaman ialah suatu sifat mutlak dari pada pluraitas masyarakat. Keadaan dimana tidak banyak kesamaan tetapi di penuhi dengan perbedaan dalam rasio yang cukup besar. Pluralita masyarakat ialah bentuk jamak yang menghendaki pembedaan-pembedaan dari suatu sistem bersama.

    Dari kira-kira dua definisi praktis diatas, saya mulai mencoba mengembangkan suatu rekonstruksi perspektif tentang gejala atau implikasi dari kehadiran sukuisme dalam kehidupan masyarakat plural. Perlu menjadi perhatian khusus bahwa pada bagian utama yang di tilik ialah konsep pluralitas masyarakat kemudian gejala sukuisme. Hal ini penting oleh karena sukuisme merupakan pattern sekunder bagi saya setelah pluralitas masyarakat sebagai pattern primer, sebab tanpa ada kaitan dengan pluralitas masyarakat sebagai sebab awal maka implikasi sukuisme tidak berdampak signifikan.

    Implikasi luas sukuisme dalam masyarakat plural. Kepelbagaian ideologi, budaya, adat, mode, perspektif, dan nilai, ialah bentuk-bentuk dimensional masyarakat plural. Pada bagian mendasar aspek-aspek tersebut menjadi sangat vital dalam relasi antar manusia maupun antar kelompok. Gejala utama masyarakat plural pada kategori pertama ialah menyangkut masalah ideologi. Ideologi bagi setiap manusia ialah pegangan utama hidup. Tidak ada manusia satu-pun yang tak berideologi, batasannya ialah hanya pada “sadar” atau “tidak sadar” bahwa seseorang memiliki ideologi. Namun pada hakikatnya setiap manusia berideologi. Bila ideologi menjadi suatu dasar utama, maka secara implisit ideologi ialah bagian pemikiran yang memiliki keterlindungna defensif. Artinya secara alamiah manusia tidak akan begitu saja menyetujui apabila ideologinya ditentang manusia lain. Ini ialah gejala alami dari akibat seleksi alam terhadap manusia (termasuk bentuk pemikiran).

    Menarik bahwa suatu konsepsi semacam ideologi dapat dipertahankan secara mati-matian apabila telah bertransformasi menjadi sebuah bentuk idealisme. Ideal-ideal tersebut pada suatu titik menjadi aksioma yang mengaburkan pertimbangan objektif dari seseorang. Hal ini yang menjelaska mengapa ideologi mendapat wilayah defensif dalam hidup manusia. Sukuisme atau paham tentang suku yang memberikan perhatian berlebihan kepada suku sendiri, ialah termasuk integral ideologis. Artinya sukuisme bersifat ideologis, yang dimana dapat dijadikan suatu bentuk konsep ideologi seseorang.

    Berangkat dari kenyataan di atas saya memandang bahwa apabila sukuisme telah menjadi suatu ideologi maka implikasi-nya amat luas. Akibat-akibatnya paling mendasar ialah berkaitan langsung dengan aspke sosial dalam masyarkat. Bila semangat ke-suku-an menjadi sangat tinggi bahkan tak terkendali, hemat saya destinasinya saya pastikan destruktif. Alasan sederhananya ialah segala sesuatu yang berlebihan tidak-lah baik. Relevansinya ialah kecintaan akan suku tertentu akan mengakibatkan superioritas subjektif dari penganut konsep itu. Secara sepihak seseorang akan menempatkan suku lain dalam bingkai inferior, bahkan jauh dibawahnya. Sangat mungkin muncul sentimen “kami paling baik, mereka tidak”. Apabila sentimen semacam ini muncul maka secara perlahan atau cepat disharmoni sangat mungkin terjadi.

    Implikasi luas dari pemaparan mengenai sukuisme tidak berhenti pada disharmonis saja tetapi lebih luas dari itu. Salah satunya ialah menjamurnya nepotisme atas alasan satu darah, satu daerah, satu suku. Sebagian menganggap bahwa bekerja dengan orang satu daerah/ suku ialah suatu keuntungan karena membawa suatu kemudahan transaksional. Kemudahaan ini dapat saling di tukarkan karena sebagai orang yang sama tentu telah saling memahami setidaknya dalam budaya. Nepotisme muncul kemudian disana sebagai akibat dari sama suku, dan parahnya Nepotisme sering tidak merujuk kepada kompentensi tetapi kepada ikatan emosi. Pengaruh dukungan dan hasrat menjadi mayoritas juga menjadi pertimbangan real mengapa Nepotisme erat dengan sukuisme.

    Hasrat mayoritas ialah suatu bentuk alami dari tiap mahkluk. Menjadi yang terbesar dan terutama ialah konsekuensi logis dari kemampuan adaptif manusia. Keterikatan secara sosial di dalam diri setiap orang dalam suku bangsa tertentu membawa semangat saling sama rasa secara umum dalam komunitas. Bila jumlah mereka banyak maka sudah pasti membutuhkan ruang bahkan layanan yang lebih banyak dari kaum yang minor. Ruang dalam segala dimensi yang lebih banyak semacam ini menjanjikan berbagai macam nilai tambah bagi mereka yang termasuk didalamnya. Sehingga tak pelak setiap komunitas ingin menjadi bagian yang dominan sebagai masyarakat mayor.

    Ketiga implikasi praktis diatas hanyalah sedikit dari banyak implikasi yang coba saya sarikan secara singkat. Kesimpulan yang saya tarik untuk sementara ini ialah sukuisme menjadi batu kerikil kecil di jalan yang berpotensi membuat orang banyak terantuk apabila tidak di timbun dari jalan. Khususnya dalam konteks masyarakat Indonesia sukuisme tidak dapat menjadi ideologi primordial dalam kehidupan bangsa, akan tetapi pada realitanya banyak dari masyarakat yang tidak juga keluar dari lingkaran suksuime. Indonesia dalam pandangan saya belum sekalipun menjadi benar-benar nasional, bahkan rakyatnya tidak pernah nasionalis!

    Esai pendek ini akan saya kembangkan lagi suatu waktu seiring dengan perkembangan pengalaman hidup. Semoga berguna.