Tangan-tangan Kreatif Lokal

Catatan dari Seminar Saman Summit 2012 (habis)

Oleh: Efix Mulyadi

PERKEMBANGAN terkini dari seni tradisi bernuansa Islam juga dikupas di dalam panel ke-3 seminar ini yang bertajuk “Seni-seni Islam dalam Teknis: Musik, Gerak, Sastra.” Pembicaranya adalah Syarifuddin dari Gayo, Syeh Lah Geunta dari Aceh, Ediwar, M.Hum, PhD dari Minangkabau, dan Haidi Bing Slamet dari Banyuwangi. Moderatornya, etnomusikolog Rizaldi Siagian, memberi pengantar bergambar yang mengajak para peserta diskusi mendapat bayangan atau peta penuntun yang memberi mereka cara memandang berbagai fenomena seni.

Panduan itu berupa gambaran tentang strata musikal yang mencerminkan situasi geografis dari mana jenis seni tertentu berasal. Ada empat strata yaitu strata asli yang merunut pada sistem kepercayaan asli penduduk setempat; yang kedua adalah Hindu-Buddha sinkretik; yang ketigaadalah artistik musikal pengaruh Islam; yang keempat adalah artistik musikal Barat/ Portugis. Keempatnya sesungguhnya menyatu, tidak bisa dipisahkan, dan hanya mungkin dipilah untuk kepentingan studi atau penelitian. Rizaldi, misalnya, melihat bahwa ciri-ciri Hindu ternyata terdapat juga pada saman pada vokal bagian derum yang mengeluarkan suara gumaman serupa “auuummmm …”

Bagian dari seminar ini dipenuhi dengan berbagai demonstrasi musik seperti cara tabuhan rebana dari hadrah Banyuwangi yang ternyata begitu kompleks, dengan berbagai irama yang juga rumit, dan dengan interlocking (imbal, bersahutan) yang terkesan mirip seperti anyaman yang rapat. Beberapa peserta termasuk moderator meyakini bahwa tabuhan rebana dengan imbalsemacam itu hanya tumbuh di Indonesia. Kalau hal ini benar, itu berarti kekuatan lokal telah mampu mengolah unsur budaya luar, yaitu rebana, dengan tradisi sehingga musik rebana itumenjadi milik sendiri. Akulturasi yang sehat ini juga tampak dari penambahan instrumen setempat pada hadrah kuntulan. Semula kesenian ini hanya menggunakan rebanapantus, seling, dan jidor, oleh tangan-tangan kreatif lokal ditambah dengan alat musik khas Banyuwangi yaitu kendangkethuk-bonangbiolagongkluncing, dan angklung. “Gabungan semuanya menjadi seni Banyuwangi,” kata Haidi Bing Slamet dari kelompok seni Laras Wangi Banyuwangi.

Pada dasarnya kehadiran tangan-tangan kreatif lokal itulah yang menjadi kunci dari pertumbuhan dan perkembangan seni tradisi bernuansa Islam yang terbentang sejak dari Aceh sampai sampai Lombok, seperti yang disebut-sebut di dalam seminar Saman Summit 2012 ini.

Kesenian Islam Minangkabau seperti barzanjidikie rabanosalawat dulang, dan  indang Pariaman, seperti disampaikan oleh pembicara Ediwar, mempunyai riwayat yang hakikatnya serupa. Yang cukup mencolok misalnya bahwa syair-syair dikie rabano, yang dibawakan dengan iringan musik, telah menggunakan bahasa setempat Minangkabau sebagai upaya agar masyarakat memahami persoalan yang disampaikan. Sedangkan salawat dulang, yang juga berkembang pesat, tetap memunculkan nilai religious namun juga memasukkan unsur musikalitas dendang Minang. Melodi dan syair menjadi lebih bervariasi, yang konon untuk menjawab selera masyarakat yang gemar lagu yang sedang populer. Salawat dulang kini memiliki potensi sebagai media dakwah, media hiburan, dan juga media penyampai pesan akan kehidupan yang aktual.

Ediwar menggaris bawahi pergeseran yang terjadi pada seni indang Pariaman. Sebagaimana berbagai jenis seni Islami di Minangkabau. Indang Pariaman tumbuh di surau, namun kini tempat pertunjukannya telah beralih ke berbagai laga. Syair-syair yang dibawakan juga melebar bukan hanya berisi pesan keagamaan, tetapi lebih banyak pada perihal sosial budaya dan adat istiadat Minangkabau.

Pergeseran dari kesenian bernuansa Islam yang berasal dari surau menjadi kesenian rakyat ini,menurut Ediwar, menunjukkan bahwa kesenian bernuansa Islam bukanlah kesenian yang kaku, melainkan kesenian yang hidup senafas dengan tradisinya yang luas. “Di dalamnya terdapat unsur-unsur konservatif yang kuat dan bertahan, dan unsur-unsur progresif yang dapat mengembangkan diri seperti cerminan alam yang selalu berubah mengikuti perubahan masa,”tulisnya di dalam makalah berjudul “Kesenian Bernuansa Islam Minangkabau.”

Di dalam diskusi ini tokoh besar tari seudati, Syeh Lah Geunta, mengungkapkan kaitan yang menarik antara saman dengan seudati. Mengutip pendapat seorang tokoh masyarakat Kandang, Kecamatan Muara dua, Kabupaten Pidie, ia menyebutkan bahwa tari lebih tepat disebut saman. Pada tahun 1950-an, saman lebih dikenal dengan nama seudati, terutama di kabupaten Aceh Utara.

Kabupaten ini merupakan tempat tinggal dan berkarya sejumlah tokoh ternama seudatiseperti Syeh Ampon Mae yang lahir di daerah Mueling tahun 1932. Ia menyebutkan, samanberasal dari bahasa Arab yang berarti “delapan”. Angka ini dikaitkan dengan babakan (bagian dalam stuktur tarian), dan juga dikaitkan dengan jumlah penarinya yang berjumlah delapan (yang dilengkapi dengan seorang penyanyi). Selepas paparan makalahnya yang berjudul “Tari Seudati”, ruang seminar diisi dengan demonstrasi beberapa gerakan yang disebut saman di dalam tari seudati. Paparan tokoh seudati ini merupakan sumbangan yang menarik, fenomena yang lain, tentang makna kata saman.

Sebelumnya Syeh Lah Geunta mengatakan bahwa ada beberapa pendapat tentang asal usul nama seudati dan semua menunjukkan kaitan yang erat dengan pengembangan agama Islam di Nangroe Aceh Darussalam. Kata seudati berarti “doa pengakuan” seperti ketika seseorang mengucapkan syahadat. Pendapat lain menyebutkan kata seudati berasal dari bahasa Arab yang bermakna “saudara-saudara”, atau “tuan-tuan”, atau “bapak-bapak” seperti lazim diucapkan seseorang yang berpidato. “Makna nama pada tari tradisional Aceh memiliki kekhususan tersendiri. Nama bukan sekedar tempelan, melainkan yang melekat, yang membedakan satu jenis tari dengan tari lainnya,” katanya.

Ia mengatakan bahwa tari Seudati telah mengalami pergeseran, yaitu terlalu didominasi oleh gerak yang terlalu dinamis. Sejumlah tokoh tua jenis kesenian ini menganggap bahwa pergeseran tersebut membuat keindahan gerak yang seharusnya melekat pada tari yang bermutu dan indah terasa hambar.

Menari Menemukan Diri, Mengiur Toleransi

Panel ke-4 seminar Saman Summit diisi dengan berbagi pengalaman berkesenian di antara guru, pelatih, pemain, dan siswa. Sebagian besar dari mereka terlibat di dalam dua malam pertunjukan seni dalam Saman Summit tanggal 14-15 Desember 2012 di Jakarta. Ada yang dari grup seni Saman, grup Tangke Limo, Rabani Wahed, Rapai Geunta Idi Rayek, Tari Pukat, semuanya dari Aceh. Yang dari Padang Pariaman adalah grup seni Indang. Kelompok lain adalah Rudat Kuda Kecil Cirebon, Rudat Laras Wangi Banyuwangi, dan Rudat Terengan Lombok. Dari Jakarta yang diundang adalah grup Cakra Donya dan SMAN 31.

Para peserta duduk di kursi yang ditata secara melingkar dan menyisakan ruang di tengah untuk peragaan. Pemandu acara ini, etnomusikolog Endo Suanda, memancing para peserta untuk menceritakan pengalaman pribadi mereka di dalam berolah seni. Satu dua orang yang sempat berbicara menyatakan bahwa berlatih menari beberapa seni tradisi membuat mereka menjadi lebih sadar terhadap diri dan keberadaannya di dalam lingkungan. Yang lain merasa menjadi lebih dekat dengan Indonesia karena sejak kecil bermukim di Australia. Dengan menari ia menemukan dirinya sebagai orang Indonesia. Katanya, “Saya merasa menjadi lebih mengenal tanah air, dan menjadi lebih cinta kepada Indonesia, merasa lebih memahaminya.”

Nadya, mahasiswa UIN Ciputat mengatakan Saman punya “nilai jual”, sangat menarik. “Saya berusaha memberdayakan diri, sebagai perempuan ingin sadar budaya. Saya membawakan sejumlah tarian yang berbeda. Kalau Saman dengan syair puji-pujian terasa khidmat ketika menari sambil menyanyi. Ada tari Borneo, yang terasa nge-beat menarikannya terasa “lepas”…,” tuturnya. Pemandu dan para peserta tidak puas dengan penjelasan itu. Mereka minta peragaan dengan tarian untuk memahami apa yang ia maksud dengan “lepas” tersebut. Rupanya pengalaman “lepas” itu tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, dan hanya bisa disampaikan dengan gerak.

“Saya menghargai teman-teman Kristiani ikut menari, misalnya dalam Rudat Kuntulan. Ini salah satu bentuk toleransi . Dalam acara menjelang hari Nyepi, itu hari besar orang Hindu, teman-teman saya yang Islam ikut main ogoh-ogoh. Coba bayangkan, di Lombok dan di Banyuwangi di dalam odalan dan galungan muncul ucapan “Mohon maaf lahir batin” yang semula hanya dikenal di dalam tradisi kaum Muslim di dalam merayakan hari raya Idul Fitri,” kata Aekanu Hariyono, seorang tokoh seni di Banyuwangi.

Seorang ibu pengajar di Institut Kesenian Jakarta yang ikut berbicara mengaku belajar tari dari berbagai macam tradisi. Katanya, menarikan Rateeb Meusekat menumbuhkan rasa kebersamaan. Kalau ada satu saja yang egois, semua jadi bubar. Ia menyebutkan bahwa kalau menari seudati rasanya halus namun energik, dan terasa ada yang mengalir. Menarikan tari Jawa misalnya berbeda dengan Bali, mata tidak boleh menatap ke depan, Bali malah bermain mata. Tambahnya, “Saya tidak merasa ada hambatan soal agama. Sebagai orang Islam saya ikut menari di dalam acara Natalan.”

Salah seorang peserta panel ke-4 ini adalah penari gandrung yang mengaku sudah pensiun sejak dua tahun yang lalu. Namun virtuositasnya di dalam olah vokal tidak berkurang seperti sudah terbukti pada malam sebelumnya ketika menjadi pesinden di dalam pertunjukan grup Rudat Laras Wangi Banyuwangi.

Dalam pengakuannya, ia hanya belajar selama satu bulan untuk menjadi Gandrung pada tahun 1981. Penari gandrung juga diharuskan menyanyi ketika menari. Vokalnya yang semula dipelajarinya polos digarap dan dilatih sendiri sehingga menjadi penuh cengkok yang begitu khas. Ketika diminta untuk mendemonstrasikannya, antara teknik  vokalnya yang sekarang dengan gaya vokal polos sewaktu belajar, tidak ada perbedaan yang jauh.

Rupanya menyanyi sudah menjadi bagian integral dari diri, sudah tertanam mendalam di bawah sadarnya, sudah menjadi otomatis. Menurut Endo Suanda, hal itu seperti seorang naik sepeda yang tidak berfikir lagi kapan kaki kanan mengayuh dan tangan membelokkan kemudi. Itu berarti bahwa setelah bisa dan menjadi biasa, kita tidak lagi bisa menjelaskan cara naik sepeda ketika masih belajar.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.