APBK Aceh Tengah 2013 Belum Disidangkan

Gedung DPRK Aceh Tengah
Gedung DPRK Aceh Tengah

Takengon | Lintas Gayo – Hingga memasuki minggu kedua bulan Januari 2013 Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten (APBK) Aceh Tengah belum disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tengah. Kondisi ini menurut beberapa pihak dari eksekutif sangat mengganggu berjalannya program kegiatan di tahun 2013 ini.

“Kita punya sejumlah program di tahun 2013 ini baik rutin maupun pembangunan sarana prasarana dan sejumlah kegiatan lainnya yang diajukan oleh SKPK (Satuan Kerja Perangkat Kabupaten-red), namun hingga hari ini belum ada kejelasan kapan pihak legislatif melakukan sidang anggaran,” kata sumber Lintas Gayo yang tidak ingin disebut namanya, Selasa (8/01) di Takengon.

Terkait agenda sidang ini, salah seorang anggota DPRK setempat, Ikhwanussufa saat diminta penjelasannya menyatakan ada sejumlah penyesuaian Rencana APBK tahun 2013 yang erat kaitannya dengan pimpinan daerah defenitif.

“Sebelumnya, RABPK diajukan oleh Penjabat Bupati dan belum sempat kita sahkan. Dan kini dengan pimpinan daerah defenitif tentu ada baiknya dilakukan penyesuaian program,” kata Ikhwanussufa.

Dan dalam beberapa hari kedepan, lanjutnya, anggota Badan Anggaran DPRK Aceh Tengah ini, mudah-mudahan semuanya akan kelar disahkan.

“Rabu besok kita sudah mulai melakukan rapat kerja membahas APBK 2013 dan dalam beberapa hari kedepan mudah-mudahan bisa kelar pengesahannya tanpa kendala,” ujar dia. (LG003)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. PERILAKU BURUK ANGGOTA DPR,…!!!! Apakah ini yang disebut dengan wakil rakyat?

    Prof. DR. Asep Warlan Yusuf, MH., seorang Pakar Hukum dari Universitas Parahiyangan menyampaikan temuannya perihal perilaku penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh anggota DPRD di Indonesia. Berikut hasil penelitian dari 71 daerah di Indonesia yang dirangkum menjadi 22 perilaku negatif anggota Dewan di Indonesia:
    1. Rendahnya rasa tanggung jawab dalam mengelola dana publik (cost awarness), sehingga dana yang ada dalam APBD dimanfaatkan dan digunakan untuk kepentingan anggota Dewan atau eksekutif itu sendiri.
    2. Membentuk undang-undang/ perda tanpa dibuat Naskah Akademik terlebih dahulu, sehingga undang-undang/ perda dibuat tanpa ada kejelasan landasan filosofis, sosiologis dan yuridisnya yang memadai.

    3. Membentuk perda inisiatif yang tidak tercantum dalam Prolegnas/Prolegda. Undang-undang/perda dipaksakan masuk dalam pembahasan karena kepentingan tertentu. Adanya hidden agenda dengan memanfaatkan perda inisiatif yang dibuat dengan tujuan semata-mata dalam rangka menguntungkan partainya, golongan atau pihak tertentu saja bukan untuk kepentingan rakyat.
    4. UU/perda dibuat tetapi daya waktu berlakunya amat singkat, karenanya memerlukan revisi/perubahan segera. Hal ini terjadi karena dibuat dengan tidak mempertimbangkan antisipasi perkembangan jangka jauh. Tentunya ini merupakan pemborosan biaya, tenaga, dan waktu.
    5. Dengan dalih untuk memperkaya materi muatan undang-undang/ perda yang sedang disusun, anggota Dewan melakukan studi banding ke luar negeri, tetapi hasilnya sangat minim dan tidak memadai, karena lebih banyak waktu dan kegiatannya diisi dengan rekreasi. Sehingga materi muatan/substansi undang-undang/ perda tidak mengalami perbaikan dan pengkayaan yang berarti.
    6. Perda dibuat hanya untuk kepentingan peningkatan PAD semata, dengan konsekuensi secara ekonomi/finansial memberatkan masyarakat dan/atau dunia usaha.
    7. Perda dibuat untuk memberikan dasar pembenar (jastifikasi/ legalisasi) teradap kegiatan yang merusak atau mencemari lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan yang mengabaikan prinsip pembangunan berkelanjutan.
    8. Menerima uang atau barang atau sesuatu janji dari pihak di luar Dewan untuk memuat sesuatu kebijakan sesuai permintaan kepentingan pihak tersebut ke dalam undang-undang/ perda yang sedang dibahas. Undang-undang/ perda dibuat di luar konteks (kerangka) aspirasi masyarakat.
    9. Isi undang-undang/ perda tidak sesuai dengan tujuan pembangunan, Undang Undang Dasar dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Akibatnya undang-undang tersebut kemudian akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi atau oleh Pemerintah untuk perda. Hal ini dianggap sebagai suatu pemborosan keuangan negara/daerah, sesuatu yang sia-sia. Hal ini terjadi karena UU/perda dibuat dengan penuh vested interest, sembrono dan ketidakcermatan.
    10. Adanya oligarki (kelompok/elit tertentu) yang karena jabatannya dapat menentukan kata akhir untuk menerima dan menolak suatu RUU/raperda.
    11. UU/Perda dibentuk untuk sekedar memenuhi aspek formal, tidak sesuai dengan kebutuhan negara/masyarakat. Substansinya sangat lemah dan apa adanya, serta prosesnya pun tidak mempertimbangkan masukan stakeholders. UU/perda dibuat dengan melanggar atau tidak sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam UU No. 10/2004.
    12. Melibatkan tenaga ahli tetapi sesungguhnya tidak memiliki kualifikasi intelektual, akademik, dan pengalaman yang memadai. Bahkan “tenaga ahli” ini diambil dari orang-orang partai dan partisannya sendiri yang unqualified dan incompetence. Cara ini dimaksudkan untuk sekedar pembagian rezeki di antara anggota dewan dan orang-orang parpol dan orang-orang sekitarnya. Pelibatan tenaga ahli hanya sebatas formalitas (sekedar “pinjam mulut”) yang realitanya tidak terlibat. Jadi tujuannya hanya sebatas untuk memperkuat legitimasi.
    13. Proses penyusunan undang-undang/ raperda dibuat dengan mengulur-ulur waktu dengan alasan yang tidak rasional dan tidak logis, dengan maksud untuk menggagalkannya sehingga tidak jadi terbit UU/perda tsb.
    14. Pengawasan dari parlemen telah diterjemahkan sebagai sarana mencari kesalahan dan kelemahan pemerintah/eksekuti f secara mengada-ada atau dibuat-buat.
    15. Pengawasan dilakukan cenderung untuk menjatuhkan lawan politik atau pemerintah yang sedang berkuasa.
    16. Pengawasan dilakukan untuk mencari imbal jasa, keuntungan pribadi dan golongan (money politics).
    17. Paradigma pengawasan politik telah mengakibatkan fungsi pengawasan yang sesungguhnya terabaikan, sehingga hasil pengawasan kurang memberikan manfaat bagi pengelolaan pemerintahan. Pengawasan yang dilakukan, belum memberikan umpan balik (feed back) yang substansial bagi pengelolaan pemerintahan.
    18. Pengawasan dilaksanakan selama ini terkesan sporadis dan reaktif, tanpa program, sehingga pengawasan belum mampu untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan melakukan koreksi perbaikan.
    19. Pengawasan lebih banyak terfokus dan “terjebak” pada aktivitas pemeriksaan yang berupa kunjungan kerja, akibatnya permasalahan masyarakat tak terselesaikan dan sering tak muncul jalan keluar menuju perbaikan yang diharapkan oleh masyarakat.
    20. Hak masyarakat untuk mengawasi belum sepenuhnya diberikan atau dijamin oleh negara, sementara DPR/DPRD sebagai wakil rakyat, belum optimal mengkoordinasikan serta menyalurkan hak-hak pengawasan masyarakat. Saluran melalui para wakilnya tidak mampu masuk dan menembus gedung parlemen. Sementara keberanian masyarakat untuk langsung menyuarakan haknya ke pemerintahan masih belum muncul karena takut atau apatis.
    21. Meminta bagian/komisi/fee dari hasil kerjasama dengan pihak ketiga antara lain dalam pengadaan dan/atau penjualan barang dan jasa yang seharusnya masuk ke kas negara/daerah.
    22. Menerima pemberian dalam berbagai bentuk, yang patut diketahui pemberian tersebut berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, sehingga perbuatan ini dapat dikualifikasi sebagai gratifikasi.

  2. Tiga Dosa Dana Aspirasi

    Belum ditetapkan, Dana Aspirasi DPR yang diusung Fraksi Golkar sudah mencicil dosa. Inilah tiga dosa Dana Aspirasi DPR (dan mungkin akan bertambah):

    Mengajukan dan Menyalurkan Dana Pembangunan Bukan Hak DPR
    DPR (legislatif) bertugas untuk menetapkan anggaran dan mengawasi penyalurannya, sementara presiden, mentri, gubernur, bupati, dst (eksekutif) bertugas untuk mengajukan dan menyalurkan. Ini adalah prinsip dasar separations of power (pembagian kekuasaan) yang dianut Indonesia, dan diatur oleh UUD ’45. Jika Dana Aspirasi diijinkan, maka DPR telah melanggar konstitusi.

    Dana Aspirasi Tidak Tepat Sasaran
    Setyo Novanto dari Fraksi Golkar (NTT), mengklaim kalau dana aspirasi 15M per anggota DPR berguna untuk pemerataan pembangunan (tanggapan serupa dari Idrus Marham, sekjen Golkar). Setyo mungkin tidak tahu kalau kursi di DPR dibagi berdasar kepadatan penduduknya. Dengan kata lain, daerah yang padat akan mendapatkan dana aspirasi lebih banyak. Jakarta (21 wakil) akan mendapat 315M, sementara NTT (11) cuma mendapat 165M.

    Dana Aspirasi Merusak Sistem Reward-And-Punishment
    Pemilu adalah sistem ganjaran-dan-hukuman untuk mengganti anggota DPR yang kinerjanya buruk dan mempertahankan yang bagus. Persis seperti penilaian tahunan di kantor-kantor. Dana Aspirasi berpotensi mengangkat citra anggota DPR lama (incumbent) yang belum tentu kinerjanya bagus dan sekaligus mempersulit calon baru untuk bersaing secara fair. Ini akan sangat merusak sistem demokrasi kita.

    Sistem anggaran Indonesia sudah bocor di mana-mana. Kita tidak perlu sistem tambahan baru yang tidak jelas dan memperbanyak kebocoran. Mari tolak dana aspirasi!

  3. Dana Aspirasi Yang Koruptif

    Jurnal Nasional,

    Kabar kurang sedap kembali muncul dari gedung parlemen Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait usulan fraksi partai Golkar untuk memberikan dana aspirasi sebesar Rp 15 Milyar per daerah pemilihan. Meski dengan alasan demi kepentingan konstituten, tetapi usulan ini tetap saja mendapatkan penolakan publik. Bagaimana tidak, usulan tersebut berpotensi menyebabkan pemborosan anggaran negara dan menyuburkan praktik politik uang (korupsi). Apalagi, jumlah dana yang dibutuhkan tidak sedikit, yakni mencapai Rp 8,4 triliun per tahun. Padahal, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sudah terbebani dengan beragam anggaran untuk DPR. Ada uang kehormatan, uang tunjangan aspirasi, uang tunjangan komunikasi, uang reses dan berbagai macam bentuk tunjangan lainnya yang jumlahnya sudah sangat besar.

    Melanggar Hukum

    Secara hukum, usulan dana aspirasi ini jelas bermasalah. Setidaknya, ada enam Undang-Undang (UU) yang berpotensi dilanggar oleh usulan ini. Pelanggaran UU itu mencakup UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU 15/2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara, UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, dan UU no 27 / 2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Seluruh ketentuan UU tersebut pada intinya menegaskan bahwa lembaga legislatif adalah pengguna anggaran dan bukan pengelola keuangan negara. Demikian pula DPR bukan pelaksana pembangunan, tetapi pembuat kebijakan dan pengawas pelaksanaan kebijakan yang dijalankan pemerintah. Oleh karena itu, untuk dalih memperjuangkan kepentingan konstituen, DPR hanya berwewenang dan berperan dalam hal pembuatan kebijakan pemerintah (allocation policies) sesuai dengan aspirasi masyarakat, bukan langsung mendistribusikan proyek dan atau anggaran kepada konstituen.

    Selain itu, UU Keuangan Negara juga menggariskan bahwa setiap pengeluaran uang negara harus berdasarkan kinerja (performance budgeting). Berdasarkan prinsip pengeluaran berbasis kinerja tersebut maka setiap pengeluaran haruslah berorientasi prestasi kerja atau hasil. Padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa kinerja DPR justru amat buruk, tidak terkecuali dalam semangat antikorupsi. Menjadi aneh jika di tengah buruknya kinerja, dana aspirasi ini digelontorkan.

    Berdasarkan konstruksi hukum diatas, mestinya yang dilakukan oleh DPR adalah memaksimalkan fungsi budgeting (anggaran). Jika DPR beralasan bahwa dana aspirasi ini diperuntukkan bagi program-program pro rakyat, maka melalui fungsi anggaranlah harusnya diperjuangkan. Fungsi anggaran ini memberikan peluang kepada DPR untuk mengkritisi rancangan anggaran yang diajukan oleh pemerintah dan memasukkan berbagai usulan program yang berdasarkan aspirasi rakyat. Selama ini, fungsi anggaran ini tidak dijalankan secara maksimal oleh DPR. Hal ini tercermin dari orientasi APBN yang masih saja lebih pada belanja rutin ketimbang pelayanan yang menyangkut fasilitas dan kebutuhan dasar publik. Minimnya relevansi anggaran negara dengan apa yang menjadi prioritas kebutuhan rakyat dan pengembangan daerah, merupakan kegagalan DPR dalam memperjuangkan anggaran negara yang pro rakyat. Kegagalan inilah yang sepertinya akan dibayar oleh DPR dengan cara mengiming-imingi konstituennya dengan dana aspirasi yang jumlahnya sangat besar. Ini jelas merupakan cara berpolitik yang tidak sehat dan koruptif.

    Dalam konteks inilah, dana aspirasi berpotensi menjadi lahan baru korupsi anggota dewan. Mengingat kembali beberapa kasus anggota dewan yang dtangkap oleh KPK, sebagian besar kasus tersebut terkait dengan korupsi anggaran negara. Sebut saja kasus korupsi yang melibatkan Al Amin Nasution, Bulyan Royan, Yusuf Erwin Faishal、Sarjan Taher dan Abdul Hadi Jamal. Semuanya terlibat dalam praktik korupsi proyek pemerintah. Dalam kasus tersebut terlihat jelas adanya kepentingan anggota dewan dengan berbagai proyek yang masuk dalam anggaran negara. Boleh jadi, proses penyusunan anggarannya pun telah melalui proses-proses yang koruptif. Kisah politisi korup tersebut dapat terulang jika usulan dana aspirasi ini diterapkan. Tak bisa dibayangkan, betapa massifnya korupsi berjamaah yang akan terjadi.

    Citra Buruk

    Urgensi penolakan terhadap usulan dana aspirasi tidak hanya berdasarkan pertimbangan hukum dan semangat antikorupsi semata, melainkan juga demi memulihkan kepercayaan publik terhadap institusi DPR. Rendahnya kepercayaan publik akhir-akhir ini kepada institusi DPR, sedikit banyak dipengaruhi oleh prilaku anggotanya yang acap kali membuat kontroversial. Mulai dari keterlibatan dalam praktik korupsi dan suap sampai kepada gagasan-gagasan yang tidak populis. Mengutip hasil survei Barometer Korupsi Global Transparansi Internasional Indonesia (TII) tahun 2009 bahwa DPR bersama-sama dengan partai politik merupakan lembaga terkorup. Data ini semakin melengkapi hasil survei tahun-tahun sebelumnya yang selalu menempatkan DPR pada peringkat tiga besar lembaga terkorup dalam persepsi publik di Indonesia.

    Usulan kontroversial dana aspirasi ini bisa semakin memperparah tingkat kepercayaan publik kepada DPR. Tanpa survei sekalipun kita bisa mengetahui bahwa publik menolak rencana ini. Oleh karenanya, sebaiknya DPR berhenti membuat gaduh rakyat dengan gagasan-gagasan tidak populisnya dan segera berbenah memperbaiki kinerjanya.