Oleh: Muhamad Hamka*
BIROKRASI yang baik adalah birokrasi yang efisien, terutama dalam hal pelayanan publik. Pelayanan prima merupakan kunci dari birokrasi yang baik. Ketika pelayanan publik tak berjalan dengan maksimal, maka yang menjadi korban adalah kepentingan publik.
Salah satu pelayanan birokrasi yang kurang efisien di lingkup SKPD kabupaten Aceh Tengah adalah Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah. Penulis, selaku salah satu warga Aceh Tengah yang belum lama menetap di daerah ini, merasa bersyukur karena kabupaten ini sudah memiliki perpustakaan yang representatif untuk ukuran kabupaten/kota.
Saya, sudah berjalan kurang lebih tiga bulan menjadi pengunjung setia perpustakaan daerah Aceh Tengah, tepatnya tiap hari Jumat. Setiap hari Jumat, saya mengistrahatkan waktu dari segala aktivitas di kebun untuk membaca di perpustakaan daerah Aceh Tengah, sembari menunggu waktu sholat Jumat di masjid Agung Ruhama. Bukan sebuah kebetulan, sejak dari masa kecil saya hobi membaca. Jadi kebiasaan tersebut terbawa hingga saat ini.
Awal-awal Saya mengunjungi perpustakaan daerah, pelayanan pegawai perpustakaan cukup baik, sebagaimana moto yang terpampang di ruangan depan perpustakaan “memberikan pelayanan prima kepada pengunjung.” Kalau saya tak salah ingat, seperti itulah isi salah satu poster yang terpampang di ruang depan perpustakaan. Namun konsep pelayanan prima tersebut mulai tak nyaman implementasinya, seturut dengan bergulirnya waktu.
Dimana sewaktu saya mengunjungi perpustakaan daerah pada Jumaat siang (28/12/2012) perpustakaan belum di buka, alasan dari pegawai yang Saya tanyakan waktu itu adalah pegawai di ruangan buku (membaca) belum datang. Waktu itu Saya datang pukul 14.02, karena jadwal di bukanya pada siang hari yakni dari pukul 14.00-16.00. Akhirnya Saya menunggu, karena kata pegawai yang Saya tanyakan, sebentar lagi petugasnya datang. Namun sampai 23 menit di tunggu, pegawainya belum datang juga, akhirnya Saya pulang dengan perasaan kecewa dan seabrek pertanyaan yang berkecamuk di dada.
Pada Jumat (11/1/2013) Saya kembali datang ke perpustakaan. Sampai di perpustakaan sekitar pukul 09.00 pagi. Namun Saya kembali di buat kecewa karena perpustakaanya belum di buka bagi para pengunjung karena pegawai perpustakaan sedang gotong-royong. Banyak adik-adik mahasiswa yang pulang dengan raut wajah kecewa. Apa masalahnya kalau salah satu dari pegawai perpustakaan ini duduk jaga di ruang baca, begitu batin saya waktu itu.
Korban Pertama
Boleh jadi, ini merupakan korban pertama dari program gotong-royong pemerintahan Nasaruddin-Asmara. Program gotong-royong dari pemerintahan Nasaruddin-Khairul Asmara di pahami secara salah kaprah oleh kantor Perpustakaan dan Arsip daerah, sehingga pelayanan kepada publik yang merupakan priorotas utama di abaikan, demi menjalankan (ketaatan) kepada perintah atasan. Peristiwa diatas boleh jadi merupakan refleksi/cerminan dari disiplin dan mentalitas birokrasi di kabupaten Aceh Tengah.
Kekecewaan Saya terhadap pelayanan prima yang di dengungkan oleh salah satu poster di ruangan perpustakaan daerah ternyata belum berakhir. Hari ini, Jumat (18/1/2013), Saya kembali mengunjungi perpustakaan daerah. Kurang lebih pada pukul 09.00 pagi Saya sampai di perpustakaan. Begitu masuk ke dalam perpustakaan, di meja pada ruang depan yang biasanya terpampang buku absensi untuk pengunjung, kali ini tidak kelihatan pun batang hidung petugas yang biasanya duduk jaga di situ tak tampak.
Akhirnya, saya langsung naik ke ruang baca di lantai dua. Belum sempat Saya lihat-lihat buku yang hendak di baca, tiba-tiba salah satu pegawai “berteriak”, kalau perpustakaanya (ruang membaca) akan segera di tutup, tanpa memberitahukan alasanya kenapa di tutup. Akhirnya, para pengunjung yang mayoritas mahasiswa terpakasa meninggalkan bacaan dan tulisan dengan raut wajah yang kurang bersahabat. Saya pun tidak puas dengan “teriakan” pegawai tadi, dengan menayakan kepada salah seorang pegawai yang sedang merapihkan buku-buku (skripsi). Menurut pegawai tersebut, alasan di tutup karena mereka mau merapihkan buku-buku.
Ketika turun dari lantai dua Saya berpapasan dengan kepala perpustakaan di lantai satu. Saya menanyakan kepada beliau kenapa perpustakaanya ditutup. Kata beliau pegawainya mau gotong-royong merapihkan buku. Namun beliau tidak yakin apakah mereka akan gotong royong karena kata pegawainya tidak jadi. Beliaupun langsung naik ke lantai dua. Saya tetap kurang puas dengan cara kerja dan pelayanan para pegawai ini. Akhirnya, Saya kembali menemui kepala perpustakaan dan menayakan apakah merapihkan buku harus dengan mengosongkan pengunjung.
Beliau hanya menjawab bahwa para pegawai merapihkan buku-buku yang tak di simpan secara teratur oleh pengunjung setelah dibaca pada katalognya. Akhirnya, saya tak melanjutkan pertanyaan.
Saya sebetulnya heran dengan cara kerja para pegawai di perpustakaan daerah ini. Karena berdasarkan pengalaman Saya mengunjungi perpustakaan daerah di pelbagai kota di Indonesia, mereka (para pegawai) tak pernah mengosongkan pengunjung hanya untuk merapihkan buku-buku pada katalognya. Mereka tetap bekerja tanpa mengusik kenyamanan pengunjung. Kalaupun model seperti ini tak bisa dilakukan, maka sehabis pengunjung pulang pada pukul 16.00, bisa dimanfaatkan untuk merapihkan buku-buku yang belum teratur, bukan malah ikut bergegas pulang sebagaimana pengunjung.
Sekedar mengingat, perpustakaan adalah jendela pengetahuan. Perpustakaan merupakan gudang kearifan dan kebajikan. Karena di perpustakaan inilah kita bisa mereguk samudera ilmu pengetahuan, bisa mencecapi buku-buku sejarah, menguliti karya-karya sastra, membedah teori-teori politik, menyelami sejarah kearifan lokal, singkatnya perpustakaan merupakan ruang bagi orang berakal untuk mengasah nalar dan kemanusiannya.
Harus diingat, menjadi pegawai yang bertugas di perpustakaan adalah tugas yang mulia karena menyangkut dengan masa depan peradaban. Karena perpustakaan tak pernah terlepas dari aktivitas membaca dan menulis. Sehingga, tak berlebihan ketika seorang filsuf dari Inggris mengatakan bahwa membaca dan menulis merupakan kunci membuka kotak kebijaksanaan.
Tulisan ini sekadar catatan evaluasi untuk pemerintahan Nasaruddin. Semoga ke depanya pelayanan di perpustakaan daerah Aceh Tengah betul-betul prima sebagaimana dengan moto di salah satu posternya “memberikan pelayanan prima kepada pengunjung”!(for_h4mk4[at]yahoo.co.id)
*Analis Sosial & politik
Membaca tulisan saudara Muhamad Hamka, mengingatkan saya kembali ke tahun 2007, kebetulan tahun tersebut saya harus pulang ke Tanah Gayo, dari perantauan di Pulau Jawa, karena orang tua saya kembali kekhadiratnya. Pada saat bersamaan pada bulan yang sama, saya mendampingi kakanda saya untuk mengurus surat keterangan sehat yang harus dikeluarkan rumah sakit umum sebagai syarat untuk keperluan administrasi.
Kami diarahkan untuk mendatangi ruang tertentu, dan kebetulan jam tersebut sudah jam 14.00 sehingga ruang tersebut dibagian penerimaan pelayanan kosong, tapi saya mencoba memanggil sambil melihat-lihat kedalam dan kebetulan saya melihat satu orang pegawai terbaring tidur disebuah bangku panjang dan saya mencoba untuk menyapanya, akhirnya dengan muka merenggut beliau menjawab panggilan saya sambil mendongakkan kepalanya dan mengatakan tunggu sebentar sekarang waktu istirahat. Saya mengatakan “kak kami male nurus suret keterangan sehat kak, kune carae, kamini jema gip, lo pe musim uren” beliau menjawab sambil tidur tergeletak dengan arah kepalanya kesaya dan tangannya menunjuk tanpa arah yang jelas, coba diambilkan kertas diatas meja itu, itu formulirnya cara mengisinya ada keterangannya dibawah, kalau sudah selesai serahkan kesaya.
Saya menuruti perintahnya, tapi takala kami mengisi formnya kami kebingungan karena ada beberapa pengisianya yang kami tidak paham sehingga perlu kami tanyakan, karena pertanyaanya berulang-ulang sehingga beliau merasa terganggu dan bangkit dari tidurnya dan mendatangi kami, sambil menjawab dengan nada emosi dan menanyakan kami berasal dari mana. Dapat saya rasakan betapa mangkelnya beliau. Dengan sabar dan tabah akhirnya selesai juga urusan kami dan kamipun pulang sambil membeli takjil (bebuken) kebetulan waktu itu bulan puasa. Kejadian tersebut sangat membekas di ingatan saya dan saya jadikan oleh-oleh pulang ke Jawa tentunya selain bubuk kopi dan ikan depik sebagai ikon danau Lut Tawar, dan kejadian tersebut memotivasi saya untuk mempelajari undang-undang pelayanan publik. Harapan saya, semoga bupati Nasaruddin dapat membenahi sector public dalam hal pelayanan publik dengan memberikan pelatihan terhadap aparaturnya untuk menuju good government.