* Salman Yoga S
Sesosok tubuh di bawah tikar dari daun tembikar, mengeliat mencari sesuatu yang hilang dijalinan anyamannya. Tubuh itu bergerak, meraba dan mengeliat hingga putus asa dan histeris. Memberontak dan menemukan jalan keluarnya sendiri dengan melempar tikar ke udara.
“aaaaaaaaaaaaaaaaahhh
ini saatnya katak memecah tempurung
meretas naluri
meruntuhkan kebungkamam sopan santun adat
aaaaaaaaaah……………………
aaaaaaaaaah……………………”
“Hey kenapa kalian mempelototi saja ha…ha.. apa kalian kira ini tontonan atau…apa kalian kira aku orang gila gila, gila, gila haah.
Aku ini orang buangan. Aku ini orang sampahan.
Aku orang yang semestinya tidak ditakdirkan menjadi orang, tetapi manusia.
Ya manusia hahahahaha..manusia, catat itu.
Cacat. Catat dengan sejelas dan seterang-terangnya
ya..tapi ingat jangan salah catat
karena catatan telah terlalu lama membuat sejarah kita jungkir balik
karena catatan sudah terlalu berkuasa menguasai kesombongan, keangkuhan dan keserakahan orang yang disebut dengan ….orang….
Hey…! kenapa senyam-senyum, cengingikan seperti kuda birahi. Ngas-ngos, haah huuh mempertahankan kekenyalan barang…
barang…barangnya sendiri! kheeeeeeeeeekhs…..
Ya…ya persisi seperti itu uuuuuuuuuuu ya persis
Karena aku pernah juga menonton dengan penuh khusuk menyaksikan kuda-kuda saling meringkik kegairahan, saling mengosok-gosokan badannya dan mendengus bersama
eemmmmmm…tapi..!
aku sempat berpikir saat itu, apakah aku juga adalah kuda atau bukan ?
aku kuda, ya kukira aku kuda saat itu
karena sikap dan semangatku menontonnya adalah semangat kuda
tapi aku bukan kuda yang sebenarnya ……
hanya saja aku begitu masuk dalam gairah kekudaan saat itu,
bukan orang, apalagi manusia bukan ….bukan.
Aku kuda….!
hii eeeeeeeeeeee ……hiii eeeeeee hii eeeeeeee. Kuda birahi………
kuda berhati kuda.
Kuda mencari kuda. Kuda bermain kuda-kudaan
menari dengan kekudaan….yah……iyah…hah….
ya demikian kuda itu kusaksikan di pelantaran sawah, sampai beberapa saat kemudian saling menguncurkan keringat, dan lemas……..
Demikian sebagian cerita hidupku dalam pertapaan adat dan sopan santun yang di junjung tinggi adat yang diturunkan dengan turun- temurun dari moyang hingga sampai kepada titik kulminasi semediku yang panjang.
Dalam nilai adat, wanita, terlebih gadis seperti aku ini adalah simbol tertinggi dari kehormatan sebuah keluarga. Apalagi aku sopan dan selalu berbuat yang sewajarnya, maka mereka akan menyebutku sebagai gadis yang berbudi, gadis yang baik, beberu si mutentu, mutuah dan sekian sebutan lainnya.
Tetapi apabila melenceng dari itu semua, wah bisa gawat….gawat sangat…
aku dapat dibunuh dengan halal, aku dapat dibuang dari kampung. Bahkan aku dapat tidak diakui sebagai saudara dari anggota keluarga ……
menyedihkan bukan…………?
eeeemmm……! ada satu lagi…..dan ini yang lebih menarik. Setiap gadis di kampung, harga maharnya saat menikah dapat membumbung tinggi, semacam harga kehormatan tigginya. Itupun jika sang gadis itu lihai dan pintar dalam memproduksi tikar dari daun pandan. Semakin banyak dan semakin indah tikar yang ia buat, maka semakin naik pula harga dan kehormatannya di tengah masyarakat.
Jadi harga dan kehormatan para gadis di kampungku ada dalam jalinan anyaman tikar buatannya, dan sudah barang tentu gadis itupun akan menjadi aset terpenting dalam menaikan kharisma keluarga dalam kehidupan sosial. Karena membuat tikar pandan seperti ini, lebar tidak gampang. Membutuhkan keterampilan, kejelian serta sentuhan tersendiri. Terkadang membutuhklan semacam intuisi dan ilham dari langit
Setiap senja atau malam hari para gadis dengan peuh suka cita saling berlomba menganyam tikar pandan. Ada yang sambil bernyanyi-nyanyi dan berdidong dengan panganan kolak atau jagung atau umbi rambat rebus, pisang goreng sebagai jengo.
Ada pula sembari ngobrol kesana kemari tak karuan, dan ada pula yang sambil bermain alat musik teganing, sambil menari-nari. Tetapi sejak aku saksikan sejumlah kuda di pelataran sawah itu, aku jadi ngeri dan ketakutan sendiri. Karena dari kejadian yang penuh semangat dan liar itu dengan tanpa kuduga lahirlah sebuah gulungan tikar pandan yang mirip seperti manusia sungguhan
Jalinan dan sulamannya tersusun rapi dan lebar terlentang…..! Tiba-tiba tikar itu menggulung, berguling-guling. Tetapi dengan penuh hangat, aahh….sungguh pertemuan yang mengasyikan.
Angin, cuaca, bahkan cahaya matahari seakan memberi restu khusus untuk kejadikan itu dan tidak seorang pun yang mau menolong atau membantuku. Karena tanpa sebab yang jelas, semua orang telah menjadi pengecut secara tiba-tiba.
Tikar itu tidak lagi menjadi lambang sebuah harga dan kehormatan, tetapi telah menjelma menjadi sebuah senjata dan kekuatan yang luar biasa ganas sehingga membuat semua orang ngeri
Beberapa hari kemudian, kesaksianku itu keceritakan kepada semua orang yang tersisa di kampung. Sebenarnya aku malu, namun antara malu dan risih keceritakan juga. Sebelumnya aku mengira, hanya aku yang mengalami hal demikian, digulung oleh tikar pandan yang dilahirkan oleh semangat liar sejumlah ekor kuda.
“Minah…Minah semua orang pernah mengalami yang kau ceritakan itu !”
kata si Inen Adi dengan agak mengolokku. Demikian juga si Jamilah dan Ijah, mengangguk dan mengiakan pengakuan Inen Adi.
“kau lihat saja sendiri perubahan-perubahan yang terjadi di kampung ini semua sunguh di luar dugaan”. Kata Leha yang datang dari arah belakangku sambil memomong bayinya yang mirip dengan kuda. “Aaaahhh ini memang sudah zamannya, tidak perlu munafik”. Kata yang lainnya dengan nada penawaran.
Aku merasa seperti dirongrong oleh pengakuan- pengakuan mereka yang justru sepertinya mereka sangat terbiasa dan sangat menikmatinya. Aku sadar pengakuan mereka benar. Walaupun tingkat kebenarannya masih patut di pertanyakan, dan sayang belum ada teori pisikologi atau filsafat yang khusus membahas tentang itu.
Aku mulai gelisah dan uring-uringan tak menentu sejak itu. Merasa bersalah dan dihantui oleh berbagai macam pikiran buruk. Apakah semua wanita dan gadis-gadis di kampung ini telah demikian terasuki gairah kuda ? apakah semua lelaki dan perjaka di kampung ini mati juga kerena sifat kekudaan itu ?
aahhh sungguh petanyaan-pertanyaan itu terus mengejarku.
Dengan tenang sambil bernyanyi-nyanyi menghilangkan sepi aku tepis kegundahan dan pertanyaanku itu sambil menganyam tikar dari sisa daun pandan yang ditinggalkan ibuku beberapa belas tahun yang lalu. Memang tidak gampang hidup sendiri di antara anggota keluarga yang telah lebih dulu mati semua harus kuurus sendiri. Mulai dari memasak, menyapu halaman, menyiram bunga, bahkan sampai membetulkan genteng bocor juga sendiri. Apalagi tidur…ya jelas sendiri…hihihihihihihi….!
Namun terkadang perasaan bersalah karena telah menonton kuda birahi di perantaran sawah itu kerap muncul, dan mengusik tidurku terganggu lelapnya, sunyiku terganggu senyapnya. Bahkan senyum dan tawaku yang dipuji-puji meneduhkan dan merdu, seperti yang sering dikatakan oleh abang Palung eeeee….malah menjadi seperti alunan suling tanpa lubang nada.
Karena sudah terlalu lama dan sering. Timbul ideku untuk menyusuri kejadian yang sebenarnya di balik semua misteri ini. Jangan-jangan ia mempunyai kaitan dengan kondisi kampung yang kian bobrok. Di mana semua kaum lelaki mati dengan cara yang mengenaskan. Pada malam kelima puluh dari misi rahasia yang kujalankan dengan sembunyi-sembunyi, ada suara, yang sayup terdengar dari sela dinding gedek rumah Ani. Tetanggaku !
Lama kuamati suara itu, seperti suara seokor kuda yang tengah bertengkar dengan kakek Ani. Kakek Ani adalah satu-satunya lelaki yang tersisa di kampung, itupun sudah tua dan buta lagi. Perdebatan itu terus berlangsung. Perlahan kurapatkan telinga sambil mengamati dari balik dinding gedek rumahku. Suaranya semakin cekcok, semakin keras dan semakin gaduh sampai piring dan prabot beling lainnya terdengar mendesing dan pecah.
Sejenak kemudian suasana menjadi hening dan senyap. Aku penasaran lalu kudekati lagi dari balik dinding gedek lainnya. Cekcok dan suara gaduh itu tidak terdengar lagi. Lalu dengan agak tenang aku kembali ketempatku semula di mana kain sarung dan kutang yang hendak kupakai tadi kutanggalkan.
Namun baru sebelah tali kutang yang sempat kemasukkan kebahu, suara gaduh itu terdengar lagi. Aku kaget luar biasa. Lalu dengan bergegas aku selesaikan pakaianku dan kembali mengintip dibalik dinding gedek. Kali ini jantungku berdenyut lebih keras dan cepat, kegundahanku semakin menjadi-jadi. Rasa takut dan ngeri seperti selimut membungkusku, rapat. Sekejap seketika, tanpa dinyana dan tanpa kuduga sekelompok orang berseragam keluar dari rumah Ani.
Derap sepatu dan kerkek-kerkok bunyi senjatanya, mengembalikan ingatanku pada kejadian yang menimpa Inen Ipak dari kampung tetangga beberapa tahun silam. Namun yang anehnya, muka mereka yang keluar semuanya mirip dengan kuda. Lengkap dengan tali kekang dan pecut. Tetapi salah satu dari anggota barisan itu ada yang tampak lebih gagah dan kekar, yang ini kupikir pastilah pemimpinnya atau kepala kudanya. Beberapa dari mereka kulihat ada pula yang mengancing bajunya sambil berjalan keluar, menyisir rambut dengan ujung jari tangan dan membetulkan ikatan tali pinggangnya.
Ahhh… aku lemas dan putus asa. Aku tidak dapat menyimpulkan pencarian dan kesaksian atas semua ini. Kehormatan sebuah keluarga yang disimbolkan dengan anyaman tikar pandan benar-benar telah menjadi kotoran, telah menjadi sejarah yang menyakitkan. Berlindung di balik kagungan tikar ini adalah kekonyolan pikirku. Kehormatan kita, kita injak sendiri, keagungan nilai kita, kita hina sendiri.
Sampai selanjutnya kehormatan tikar pandan menjelma menjadi keagungan Tuhan berbentuk wih menggelombang, menerpa dan menghacurkan menghanyutkan semua yang ada.
——————————–
*Dari Naskah Monolog “ W i h”, yang telah dipentaskan pada tanggal 11-19 Mei 2005 di Gedung Teater Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta diperankan oleh Elan Windalian (Teater Reje Linge) dalam even “Panggung Para Aktor Bicara” Dewan Kesenian Jakarta.
Naskah yang sama juga telah dimuat di Harian Analisa Medan.