Puisi Kopi Sabahuddin Senin (Musa Bin Masran)

Aroma Kopi Arabika

Aku mencium aroma kopi Arabika dan meminum
sekarang tiap bibir pribumi boleh mengecapnya
kopi dari dunia baru idaman di zaman penjajah
pribumi terpulas di buminya sendiri jadi buruh
paksa. Kemiskinan seperti wabak menular di-
lembah-lembah terpuruk dan desa-desa sepi.
tiada hukum membela rakyat kecil, malam yang
gundah. Kelaparan menebok sampai ke sukma.
Penindasan di kebun kopi, entah sampai bila
akan berakhir. Kesabaran itu mulai menipis.
Rakyat kecil gelisah memandangmu, mereka
tersiksa dalam hidup. Mereka adalah tengkorak
dan berjalan terhuyung-hayang di buminya sendiri.
Belanda punya hajat dan impian yang lain,
bupati punya hajat dan impian yang lain
rakyat kecil seperti bangsa yang kalah, hanya
meminta keadilan. Saija dan Adinda, sepasang
kekasih yang punya impian. Tapi impiannya
terheret dalam lumpur. Saija, kau pemuda
pribumi, darahmu bergelodak. Keadilan sirna.
Kau terjerat dalam sistem yang menghukummu
dan memulaukan hakmu. Kau bersuara, tapi
suaramu kandas. Kau dibunuh dan Kubangmu,
kerbau, lambang kewiraanmu dirampas. Kubang,
kau temanku, Kubang tak pernah takut sekalipun
harimau dengan gigi dan cakarnya cuba mencerkam
Kubang, tak akan mudah mengalah. Tanduk Kubang
menikam perut harimau. Saija bangga. Saija dapat
mengatakan kepada penduduk desa kehebatan Kubang.
Tapi, kegembiraan Saija tak panjang. Turun malam
gelap. Kejahatan yang mengepung Saija. Mereka
merampok Kubang, kerbau kesayangan Saija untuk
pesta keramaian Bupati. Saija, pemuda pribumi
bangkit  merebut haknya yang dirampas di siang
hari. Saija melawan. Pertarungan tak akan kembali.
saija melawan satu, dua, tiga, empat dan kumpulan.
orang tamak. Tiap tikaman ditangkis. Tiap pukulan
dipatahkan. Sukma Saija bagai benteng yang pecah.
Saija melihat Kubang, kerbau kesayangnya diheret-
heret di depan matanya oleh perampok. Saija melawan
dengan segala kekuatan. Tapi mereka datang bagai
gunung berapi yang memuntahkan api belerang.
Saija mulai melemah. Kuda-kuda kaki Saija goyang.
Tapi Saija tetap berdiri tanpa menyerah. Saija
mendongak ke langit. Tikaman datang terus-
menerus. Saija menangkis. Kiri, kanan, belakang
dan depan. Saija  merasa tusukan logam menggena
perutnya. Saija berundur sedikit dan rebah.
Saija masih dapat melihat sekilas Kubang, kerbau
kesayangannya dibawa pergi. Di bumi sendiri,
darah Saija mengalir kering. Mata Saija masih
bercahaya sedikit, melihat Kubang, desa dan
langit lalu cahaya itu menghilang dan degup
jantung Saija mengendur senyap. Orang suruhan
Bupati telah pulang membawa Adinda. Sukma
Adinda jadi hitam. Saija adalah mentari gagah,
impian dan harapan. Meraih esok adalah
perjuangan yang harus mula. Harapan itu harus
diperjuangkan. Saija adalah pemuda pribumi,
kekasih Adinda tak akan menyerah sekalipun
mereka adalah rakyat kecil. Sekalipun rakyat
kecil, keadilan dan hak telah dirampas. Adinda
adalah kepunyaan  Saija. Adinda tak akan
membiarkan rembulan purnama dirampas oleh
pendera dan penjahat. Bupati mempersiapkan
malamnya, mengharumkan ranjang tidurnya.
Dari dulu kemahuan Bupati mesti dilunasi.
Tak akan boleh dibantah. Adinda sekarang
adalah sajian buat Bupati, perawan desa. Nafsu
Bupati seperti letusan lahar panas gunung
berapi yang siap. Esok, Kubang, kerbau itu
akan tumbang dan jadi sajian untuk pesta.
Hawa malam panas, Bupati menerkam
mangsanya tanpa ampun. Otot-otot Bupati
kejang. Malam ini, malam Bupati tapi
malam celaka buat Adinda. Adinda menyebut
Saija, laungannya meninggi. Memanggil
Saija, pembela, pelindung dan kekasihnya.
Malam raksasa ini tanpa ada belas ampun.
Adinda tegar hati. Tidak akan mengalah.
Ketawa Bupati makin hebat. Bupati merasa
alam ini di bawah kekuasaan Bupati. Tidak
ada yang dapat memberhentikan Bupati.
Genggaman Bupati bagai terkaman serigala
yang merobek-robek mangsanya dengan
giginya. Adinda berkeras. Tapi daya pertahanan
nya makin lemah. Bupati telah maju terus.
Maju ke garis larangan. Sekarang Bupati
tidak akan berhenti separuh jalan. Bupati
melompat masuk ke dalam garis larangan.
Lari jantung Bupati kencang. Sekarang
Bupati menakluki alam sejagat. Bupati
ketawa puas. Adinda bagai tubuh tak bernyawa.
Senyap. Bau kopi Arabika dan rasanya pahit,
aku ketagih. Tuan Multatuli, jiwamu pada orang
kecil, rakyat kecil. Kau, membuat undang-
undang supaya rakyat kecil boleh mengambil
haknya. Kau telah mencipta Saija dan Adinda.
Mereka adalah sepasang kekasih yang jadi
korban. Tuan Multatuli, inginkan keadilan
pada orang kecil, rakyat kecil harus dibela.
Saija dan Adinda, kau dalam sukma. Ketika aku
terkenang Saija dan Adinda, aku  pun
terkenangkanmu Tuan Multatuli. Max
Havelaar dan Bupati. Ya, bukan pegangan
yang terbaik, membalas kejahatan dengan
kejahatan atau membalas kekerasan dengan
kekerasan. Hidup Saija dan Adinda. Kamu
adalah orang kecil dan rakyat kecil  tak akan
bisa dilupakan. Aku meneguk sisa kopi,
menyapu kedua mata dan berlalu.

Kota Kinabalu
                                                   9 Januari, 2013

 Nasi Kuning Kopi Hitam

Tak perlu seribu satu malam untuk melembutkan

hatimu yang keras. Tak usah mentera, kerana hatimu
tak ada di situ. Ketika kita terkunci suatu pagi, kau
di dalam rumah dan aku berada di luar adalah jarak
antara kita. Demi kau dan aku, pintu itu harus di
pecahkan kerana anak kuncinya telah hilang di jalan
pulang. Kesabaran itu menggenapkan harapan. Pagi
tadi di atas meja ma tinggalkan sebungkus nasi kuning,
sambal dan sepotong ayam. Pedas. Dari kecil
aku biasa makan nasi kuning ma memang sedap.
Bau santan, pandan dan kunyit, sambalnya pekat.
Aku menyerap udara pagi dan melihat alam ber-
warna kuning dan tanah jadi sambal merah pekat.
Kita harus mempunyai impian sekalipun barangkali
tak akan terjangkau bagimu, tapi jenerasi penerus
akan menebus impian itu. Mengapa aku jadi teringat
padamu, Garcia Lorca, impianmu tak tergapai
sekalipun hajatpun bintang kejora  membawamu
pada kekasih di Cardoba. Algojo tiba dan membawamu
pergi. Kedua tanganmu terikat lalu matamu dipejamkan
dengan sehelai sapu tangan. Hari maut dan penuh luka
peluru musuhmu menembusi dada lembut dan kulit
yang halus sekalipun puisi-puisimu telah menawan
sukma Cardoba, sukma Sepanyol. Saat aku masih
merasa langit hitam, mereka telah menyerodok
mayatmu, tapi bumi tau akan rahsia itu. Seperti
bumi Jose Rizal, tak sanggup melupakan kekejaman
lalu mereka ingin menanam rahsia tanpa nama. Bumi
tak akan menolak tubuh Rizal tapi menolak kejahatan
dan kezaliman kepada mereka pembuat cerita.
Kebimbangan Penjajah pada anak jati, anak bangsa
penyair Rizal, syairnya dianggapkan melumpuhkan
dan membawa celaka pada impian penjajah lalu mereka
mencipta guntur dan kilat menakutkan anak bangsa.
Rizal sampai terakhir tetap sebagai pejuang sekalipun
mereka ingin Rizal tak menulis puisi. Tapi Rizal terus
memanggil bangsanya dengan hikmah. Dan pada
kekerasan dilawan dengan keindahan-keindahan
syair-syairnya yang menawan sampai ke sukma.
Senjatamu adalah puisi-puisimu, kau, sedarkan
jati diri. Kesedaranmu adalah rembulan penuh
membawa anak bangsamu keluar dari rimba
kebodohan dan ketololan. Pintu Impian itu adalah
pelajaran dan pendidikan bangsamu. Celakanya,
mendiamkanmu dan membunuhmu terhapus
kebenaran itu. Jangkaan mereka salah setelah itu
menghalau pendudukan haram penjajah bangsa
di bumi Filipina. Kepadamu, Garcia Lorca dan
Jose Rizal, lihatlah, kekejaman dan kezaliman
mereka tak akan menutup arah perjalanan sejarah.
Kejayaan mereka sedikit, tapi jalan bangsamu
memanjang dan menilai sendiri sejarah bangsa.
Ketidakadilan selamanya tak akan bertapak
di bumi pribumi. Kepalsuan akan dengan
sendirinya hapus dan jadi pasir. Nasi oh nasi
kuning dan kopi hitam telah membawa kujauh
ke bumi dan langit impian yang bersih dari
kebohongan dan tipu muslihat. “Mi último adiós”.

Kota Kinabalu
                                                            8 Januari, 2013

 Secawan Kopi Hitam dan Nasi Lemak

Secawan kopi dan nasi lemak warung di pinggir jalan
usah kau tanyakan mengapa di situ tidak di Casa Ciuccio
di Melbourne. Duduk di sini, debu jalanan, bau longkang
walau nasi dan kopinya sedap.

Ini bukan mendera diri. Kau pernah bilang, mimpi kamu
selalu dihinggapi oleh mimpi-mimpi kemiskinan.
Lalu hidupmu pun digalas dengan kemiskinan.Ya,
kalau memang miskin, ya, miskin bukan satu kesalahan.
Ada rahsia disebalik itu. Pada lautan dan langit penuh
dengan rahsia. Apa lagi bumi pun penuh dengan
rahsia yang akhirnya tertanam dan jadi tanah.

Aku menulis puisi. Benar. Kalau kau panggil,
aku seorang penyair. Itu suatu pujian dan penghormatan.
Aku tak berprasangka atau menghukum.
Apa lagi mencoteng-conteng atau membuang
bekas sapuan warna ke dinding-dinding kebenaran.
Tiada persoalan kepada kebenaran kerana
ia adalah warisan yang perlu kita perjuangkan
dan melindungi.  Kita tak akan membiarkan
kebenaran itu tercemar oleh akal bolos anak jahat.

Kalau kau membaca puisi lalu sukmamu tergetar
dan getaran itu jadi ombak lalu menyentuh mindamu
supaya berfikir. Diam-diam kau mulai menyukai
puisi dan terus membaca puisi kerana itu adalah
pilihanmu. Itu sudah satu kebaikan. Pernahkah
aku membohongimu, puisi itu bukan diciptakan
di istana kaca. Dan jelas bukan cermin ketika
kau melihat menukar wajahmu jadi hodoh,
panjang, lebar  dari wajah sebenar. Ia adalah
refleksi langit, bumi, rembulan dan mentari.
Alam itu adalah inspirasi penyair  dan tak
pernah redah dalam sukmanya.

Aku melihat kemiskinan bangsaku, ya akan
jadi sumber, tapi tidak pula dipaksa-paksakan
tumpah dalam puisi. Ketika anak bangsaku
melarat dan kepayahan dalam hidup, atau terporok
dalam kejahatan dan melupakan rohani aku mulai
mempersoalkan dalam ciptaanku, sukmaku jadi
gelisah dan gundah. Mengapa boleh terjadi demikian.
Ketika kami merayakan kemerdekaan bangsa
atau Hari Raya, lalu kita melupai atau menyingkirkan
orang yang kalah dalam hidup. Aku akan berdiri
tanpa segan dan menunjukkan kepadamu, wahai
kawan, kau telah lupa mereka.

Memang penyair ada impian. Impian itu dari seorang manusia.
tak lebih dan ada kekurangan. Bermimpi dan ada
impian itu adalah suatu yang sihat. Keindahan tidur itu
adalah mimpinya. Ketika berbual masa depan maka
kita tak habis membualkan impian yang akan datang.
Ruh suatu bangsa adalah semangat hidup dan impian.

Di pinggir kotaraya ini aku makan nasi lemak, sambal
sedikit pedas dan minum kopi adalah menu bangsaku.
Ikan bilis dari pesisir pantai, beras kampung, sambal
dan telur, semuanya dari pasar borong. Aku makan
dengan orang kecil dan mereka berkemeja dan tali
leher, baju kurung dan berminyak wangi, Ah Kau dan
Sami. Ketika kami menghirup kopi kami menghirup
debu jalan dan bau longkang, sambil melihat traffik
seperti melihat semut berjalan yang satu pergi yang
lain datang dalam satu barisan panjang.

Kota Kinabalu
                                                             8 Januari, 2013

Kedai Kopi

Siang. Di kedai kopi, duduk minum
mengangkat tangan, senyum, salam
dan berlalu. Sekarang, perbualan kedai
ambil masa panjang, sambil minum
bertukar berita. Semua topik dibuka.
Di sini bertemu kawan baru dan lama,
kedai kopi. Gosip, jual kereta, tanah,
tentang PRU. Mata berkaca melihat
ke jalan depan. Kedai di kotaraya.
Konon, pernah lahir pemimpin dan
jadi menteri dan sekarang pencen.
Bukankah di sini cepat naik mimbar.
Kerana orang pribumi minum di sini,
ada kad pengenalan biru.

Di kedai kopi tahun 2013, ada seorang
lelaki belum menjangkau 50 tahun,
duduk sendiri, minum kopi, melihat
ke utara, Sampang Mengayau dan
Pulau Banggi. Pacu kudamu pacu,
ke dalam kabut dan ribut malam.
Dulu kata-katanya adalah rembulan,
kunang-kunang di waktu malam,
Impian dalam ribuan tahun. Tapi
sekarang, ia hampir pada keputusan
mungkin tak ada jalan untuk kembali.
Kata-katanya akan jadi orang-orangan
di sepanjang jalan menghalau burung
sepanjang hari. Ia bingung sendiri sambil
minum sisa kopi hitam dalam cawan.

                                                Kota Kinabalu
                                                4 Januari, 2013

*PRU, Pilihan Raya Umum (Malaysia), Kad pengenalan biru, menunjukkan penduduk pribumi, penduduk Malaysia, boleh mengundi. Sampang Mengayau, Utara Negeri Sabah, Malaysia.

Sabahuddin Senin
Sabahuddin Senin

Sabahuddin Senin atau dikenali sebagai Musa Bin Masran lahir di Sandakan, Sabah, Malaysia Timur. Beliau pernah belajar di Universiti Sains Malaysia (USM) Seni Kreatif, 1979-1980. Lulusan NIDA, University New South Wales, 1982 dan The Australian National University, Canberra. Puisi antologi bersama, “Gema di Lembah Kinabalu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1982, “antologi puisi bersama ‘Unsur-unsur Islam dalam puisi Melayu moden’ ;DBP, 1988, oleh Ahmad Kamal Abdullah (Kemala),” “Kalimantan Timur & Sabah (puisi Indonesia & Malaysia), Naga Pamungkas dan Azridah Ps Abadi, 2013, ” “KETIKA GAZA, penyair MemBanTah, Marsli NO, 2012” “Suara Lima Negara, Antologi Puisi Lima Negara, 2012,” Antologi bersama“Suara Penyair, Sabahuddin Senin dan Awang Karim Kadir, 2012,” “Audio CD, Suara Penyair, Sabahuddin Senin dan Awang Karim Kadir, 2012,” dan “Suara Tanah dan Air, terbit 2013.”

Sabahuddin penyumbang tetap kepada akhbar Utusan Borneo. Tulisan-tulisannya tersiar dalam akhbar Sabah Times dan Daily Express. Puisi-puisi beliau disiarkan dalam Majalah Bahana, DBP Brunei, Majalah Digest, Wadah (DBP Cawangan Sabah), Majalah Telur, penyunting A. Latiff Mohidin, dan RTM, Kota Kinabalu, pertengahan 70 an dan 80 an. Blog puisi Sabahuddin Senin/Musa Bin Masran, www.puisisabahuddin.blogspot.com memuatkan lebih 720 buah puisi. Sabahuddin juga adalah anggota  Kumpulan Anak Alam (KAA), Kuala Lumpur, sejak tahun 1978 aktif dalam deklamasi Puisi. Mendirikan Grup Teater National (TENA) 1977 di Kota Kinabalu. Tahun 1978 hijrah ke Kuala Lumpur. Mementaskan drama ‘Aduh’ karya Putuwijaya dan drama Pulau Sadandin karya Dinsman serta puluhan naskah lainnya karya sastrawan Indonesia, Malaysia dan dunia.

Puisi-puisi karya Sabahuddin Senin diatas dinyatakan berhak menjadi nominator karya yang akan dimuat dalam Buku Antologi Puisi “Secangkir Kopi” terbitan The Gayo Institute (TGI) yang dieditori oleh Fikar W Eda dan Salman Yoga S.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.