Oleh: Drs. Jamhuri,MA*
“ASAL Linge awal Serule”, itulah ugkapan yang selalu diajarkan oleh orang Gayo secara turun temurun dari generasi ke generasi dan sangat melekat dalam ingatan semua orang, Linge populer dikalangan orang selain Gayo karena luasnya kekuasaan Reje Linge, Linge populer dikalangan orang Gayo karena daerah tersebut adalah asal dari semua orang Gayo. Dua kata Linge dan Gayo adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan, karena keduanya menunjukkan identitas bangsa dan jadi diri orang Gayo.
Melongok kebelakang membaca sejarah kebudayaan Arab sebagai sebuah cermin perbandingan, dimana pada awalnya mereka disatukan oleh kata suku. Ada suku Bani Hasyim, suku Bani Muyhalib dan lain-lainnya, kemudian kata suku ini tidak dapat lagi dipertahan sebagai pemersatu dikarenakan beberapa sebab, diantaranya pembauran antar suku dengan sebab perkawinan atau karena keperluan rekrutmen tentara perang guna mempertahankan negara atau juga ekspansi wilayah, bahkan masuknya suku-suku lain sebagai budak dari wilayah yang ditaklukkan.
Diutusnya Muhammad SAW sebagai agen perubahan yang berusaha merekayasa kehidupan sosial masyarakat Arab dengan merubah kekuatan kata suku sebagai pemersatu menjadi kata ummah, selanjutnya kata ummah ini dapat mempersatukan seluruh suku yang telah berbaur. Tidak ada lagi permusuhan, saling membunuh dan peperangan antara satu suku dengan suku lain baik disebabkan karena perkara besar atau masalah kecil.
Berbeda dengan kata Linge dan Gayo, kata Linge merupakan sebuah nama dari sebuah tempat yang menjadi asal dari semua orang Gayo, baik Gayo Lut, Gayo Deret, Gayo Lues, Gayo Serbejadi dan Gayo Kalul yang kini mendiami enam Kabupaten di Aceh, kata Linge pada awalnya menjadi pusat kekuasaan dari Reje Linge yang daerah kekuasaannya dikenal sangat luas pada masanya. Semua buku sejarah mencatat bahwa kerajaan Linge adalah kerajaan yang dikenal sebagai sebuah kerajaan besar lagi disegani dan mempunyai kekuasaan sampai ke Johor, ada juga sebuah perdapat mengatakan bahwa keturunan Lingelah yang mengislamkan Jawa Timur dan juga Cina (pendapat Drs, Abdurrahman Kaoy-pen).
Menurut satu versi pendapat kata Linge berasal dari kata leng (suara) dan e (nya) artinya suaranya, menurut riwayat ketika seseorang lewat di Buntul Linge maka terdengar suara yang tidak didak diketahui orangnya, sehingga orang yang lewat tersebut menyebut “leng e” disambung menjadi “lenge” dan berubah menjadi kata linge. Semua orang Gayo sepakat bahwa asal mereka dari Linge, sehingga menurut kebanyakan orang tua kata Linge dapat mempersatukan rasa kegayoan orang Gayo, sebagaimana kata ummah dalam mempersatukan kaum muslim dari berbagai suku dan berbagai stratifikasi masyarakat.
Kata Gayo sendiri menunjukkan kepada triorial wilayah yang ditempati orang Gayo dengan sebutan tanoh Gayo dan orangnya disebut dengan urang Gayo yang menggunakan bahasa Gayo. Pada dasarnya daerah Gayo adalah satu wilayah yang mencakup lima wilayah sebagaimana telah disebutkan, ditambah dengan daerah Alas.
Pertanyaan siapa yang masih asli sebagai orang yang berdarah Gayo telah lama muncul kepermukaan, hampir-hampir kebanyakan orang Gayo menjawab bahwa keaslian mereka hanya sekita empat atau tiga keturunan ke atas sedangkan selebihnya sudah bercampur dengan daerah lain. Demikian juga dengan penuturan atau berbahasa, sebagai akibat globalisasi telah banyak pengaruh dari luar yang mempengaruhi keaslian bahasa Gayo, penyebab terbesar adalah akibat pengaruh budaya dan modernisasi.
Diantara pengaruh budaya adalah perkawinan antara suku Gayo dengan suku yang bukan Gayo baik yang ada di Gayo atau yang berada di luar Gayo, pengaruh lain adalah mobilisasi masyarakat yang masuk dan keluar dari daerah Gayo baik karena kebutuhan ekonomi ataupun ilmu pengetahuan. Sedangkan pengaruh modernisasi adalah berkembangnya tekhnologi yang menjadi kebutuhan masyarakat.
Kedua hal tersebut secara perlahan menjadi pengikis identitas yang melekat pada diri orang Gayo, sehingga lama kelamaan terjadilah apa yang disebut dalam ilmu sosiologi dengan identiras pemaksaan. Artinya ketika ditanya suku apa? ia menjawab saya adalah suku Gayo, namun penuturan yang digunakan bukan lagi bahasa Gayo tetapi bahasa selain Gayo. Hal ini sudah terjadi bagi anak-anak orang Gayo yang lahir dan besar di daerah lain di luar Gayo, sedang untuk anak yang lahir dan besar di Gayo masih bisa diharapka kejelasan identitasnya. Untuk itu pemunculan kata linge sebagai worldview yang berdampingan dengan kata Gayo sangat dibutuhkan untuk memperkuat kembali jati diri orang Gayo.
Sebuah langkah untuk menggali dan memunuculkan kembali Linge kepermukaan telah dilakukan pengukuhan pemangu Reje Linge (terlepas dari pro dan kontra), namun yang lebih penting lagi sesuai dengan kemajuan dan tuntutan zaman bagaimana orang Gayo menjadikan Linge sebagai pusat perhatian dunia. Apakah dengan mengembalikan semua peninggalan Reje Linge ketempat asalnya yaitu di Linge, atau menjadikan Linge sebagai pusat pendidikan dan penelitian dengan mendirikan Perguruan Tinggi “REJE LINGE”.(jamhuriungel[at]yahoo.co.id)
* Pemerhati Sosial Budaya dan Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh