Oleh: Uswatuddin
BEBERAPA hari yang lalu, secara kebetulan. Di sebuah warung kopi, yang sering dijadikan tempat mangkal orang-orang dari berbagai kelas di kota ini. Saya bertemu dengan salah seorang guru saya, ketika masih duduk di bangku sekolah dasar dulu. Beliau termasuk salah seorang guru favorit saya. Karena sudah hampir sepuluh tahun tidak bertemu, maka dengan rasa hormat saya salami beliau sambil mencium punggung telapak tangan kanannya.
Saya pun memesan makanan dan kopi khas warung ini untuk berdua. Kami memilih meja yang berada di pojok warung. Mungkin karena sudah lama tidak bertemu, beliau kelihatan bingung.
”Pak, saya ini Rabudin. Siswa Bapak waktu di SD dulu, apa bapak lupa?“ sejenak beliau menatap saya.
“Ya Allah, Rabudin! Sudah lama sekali kita tidak bertemu, tadi saya sempat pangling dan hampir lupa dengan kamu.“ Kata Pak Muslim dengan gaya khasnya.
“Iya Pak! Tapi jujur, Bapak kelihatan awet muda.“ Sambung saya lagi.
“Bapak dengar, kamu kuliah di Fakultas Keguruan. Apa sudah selesai?“
“Sudah Pak! Alhamdulillah, saya juga sudah diangkat menjadi guru SD di daerah terpencil Pak. Ini kebetulan ada workshop kurikulum baru di kota ini, jadi saya dipercayakan oleh kepala sekolah untuk ikut pak.“ Kelihatan mimik wajah Pak Muslim heran.
“Jadi kamu jadi guru juga? Guru SD? Di daerah terpencil lagi, hebat kamu Din! Padahal dulu kamu nakalnya minta ampun, tapi kamu lumayan pintar Din, hehehe.” Gumam Pak Muslim sambil mengisap kereteknya.
“Iya pak, terus terang saya sendiri tidak menyangka kalau saya harus jadi guru seperti Bapak. Saat tahun-tahun pertama mengajar, saya sedikit risih karena harus menghadapi murid SD yang masih lugu, ingusan. Ada yang tidak berseragam lengkap, ada yang tidak memakai sepatu. Belum lagi tingkahnya yang macam-macam Pak, berkelahilah, kejar-kejaran ke sana ke mari. Bahkan, ada murid kelas satu yang masih ngompol di celana Pak. Tapi sekarang, saya tidak risih lagi, sudah terbiasa.“ Curhat saya pada pak Muslim. Beliau pun tertawa lebar, terlihat deretan giginya yang bersisa beberapa buah.
“Din, Din! Ya, sekarang kamu bisa merasakan bagaimana beratnya tugas seorang guru. Ia harus bisa mendidik, mengajar, membimbing, melatih dan mengasuh. Apalagi di SD yang merupakan dasar bagi anak yang tidak melalui TK, untuk mengenal lingkungan pendidikan formal. Kamu tahu Din? Banyak sekali murid saya di SD dulu yang sudah menjadi pejabat di kota ini, ada yang di birokrasi, polisi, TNI, guru, dokter, dan lain sebagainya. Dapat kamu bayangkan kan? bagaimana tingkah mereka waktu SD dulu? saya sering membanggakan mereka kepada teman-teman saya, dengan mengatakan bahwa si A itu yang sekarang menjadi kepala dinas anu adalah mantan murid saya, si B itu yang menjadi rektor Universitas anu adalah mantan murid saya. Walaupun si A dan si B itu tidak pernah lagi mengingat saya. Ya, karena memang itulah nasib guru yang sering disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Padahal jasanya luar biasa terhadap negeri ini. Kamu tahu Din? seorang guru bisa memoles muridnya menjadi camat, bupati, gubernur, bahkan presiden. Tapi bisakah, mereka-mereka itu memoles orang menjadi guru? tidak Din, tidak bisa! pemerintah bisa mendirikan bangunan megah, apakah itu kantor, perusahaan dan lain-lain. Tapi untuk mengisi semua itu, kan perlu sumber daya manusia yang handal dan yang handal itu harus lahir dari tangan guru yang profesional kan? oleh karena itu, jadilah guru profesional Din! jangan jadi guru jangan dan jangan jadi guru gaji.“ Pak Muslim panjang lebar bercerita, hingga membuat saya sedikit bingung. Apalagi dengan kata-kata terakhir beliau, tentang guru jangan dan guru gaji.
“Pak, saya kurang paham dengan kata-kata terakhir tadi. Kalau Bapak tidak keberatan, mohon penjelasannya.” Saya dengan penuh rasa penasaran, sebab istilah Pak Muslim agak asing di telinga saya. Belum pernah saya mendengar, apakah dari tutor Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau instruktur Kurikulum Berbasis Kompetensi yang sudah bergelar Doktor sekalipun.
Kelihatan Pak Muslim menarik napas panjang dan tersenyum tipis. Seraya sesekali meminum kopi yang masih tersisa di gelas, untuk kesekian kali dengan nikmatnya.
“ Din, kamu masih muda dan pengalamanmu tentang guru masih minim. Walaupun saya akui pengetahuanmu tentang dunia pendidikan dan keguruan mungkin sudah lumayan, karena kamu tamatan Fakultas keguruan. Tapi pengalaman yang akan kamu peroleh dari lapangan itu, lebih mahal Din! Ya, kamu tahu kan? Hampir seluruh hidup saya bergelut dengan guru, tepatnya guru SD. Ketika masih aktif menjadi guru, kata-kata “ jangan“ adalah paling sering saya katakan pada murid saya. Tidak bisa lagi dihitung Din.” Kata Pak Muslim sambil meninggikan alisnya, tapi saya tetap belum paham maksud beliau.
“Pak, maksudnya bagaimana dengan kata-kata jangan itu?“ Saya masih penasaran.
“Din, betulkan apa yang saya bilang tadi? pengetahuanmu sudah lumayan, tapi pengalamanmu masih minim tentang guru. Dulu saya sangat sering mengatakan kepada murid saya termasuk kamu, jangan berkelahi! jangan rebut! jangan bolos! jangan melawan guru! jangan ini! jangan itu! dan banyak lagi kata jangan lainnya. Betulkan?“
“Betul Pak ! saya baru paham, bahkan saya sendiri sering mengancam murid-murid saya dengan kata-kata itu di sekolah.” Timpal saya lagi sambil mengangguk-angguk mengerti.
“Nah, Bapak berharap tolong kurangi kata-kata jangan itu ketika kamu sedang mengajar, bahkan dihilangkan. Kamu ganti saja, dengan dengan kata-kata yang lain yang lebih mendidik dan enak di dengar. Jadi jangan menjadi guru jangan, ya Din?“ Pak Muslim dengan mimik puas menekankan, karena beliau menganggap saya sudah paham maksud kata-kata itu.
“Pak, tadi Bapak juga mengatakan istilah guru gaji. Kalau yang itu, apa pula maksudnya Pak ?“ Tanya saya lagi.
“Oh iya, kalau yang itu begini. Dulu ada teman saya sesama guru, tapi mengajarnya jarang-jarang alias sering tidak masuk sekolah. Tapi setiap tanggal satu atau pas hari gajian, dia yang pertama hadir di sekolah. Nah, itu yang namanya guru gaji Din. Mudah-mudahan, sekarang tidak ada lagi guru yang seperti itu ya Din?“ Pak Muslim mengakhiri pembicaraannya.
“Iya Pak, saya mengerti. Tapi sekarang, tidak ada lagi istilah guru gaji itu Pak. Sebab jam wajib mengajar guru itu adalah dua puluh empat jam, setiap minggu. Sekarang ada peraturan menteri, bahwa guru akan disertifikasi melalui portofolio Pak. Akan diperiksa oleh tim independen dari Universitas yang ada di provinsi, setelah dinyatakan lulus maka mereka sudah dapat dikatakan guru profesional dan gajinya pun akan naik sampai dua kali lipat Pak.“ Saya menambahkan dan tidak mau kalah menjelaskan tentang keadaan guru saat ini.
Kelihatan kening Pak Muslim berkerut, tapi sejenak kemudian beliau tersenyum sambil mengagguk-anggukkan kepalanya. Saya tidak tahu apa Pak Muslim mengerti dengan penjelasan saya atau tidak.
“Oke, Din. Teruslah berjuang di dunia kita yaitu dunia pendidikan, jangan biarkan generasi kita jadi penonton lahirnya teknologi baru. Tapi jadikan generasi kita sebagai pelakunya. Saya titip pesan pada kamu, jangan jadi guru jangan dan jangan jadi guru gaji. Saya tidak pernah lagi menjadi guru jangan Din, sebab saya sudah pensiun anakku.” ungkap Pak Muslim lirih, sambil bangkit dari kursinya. Saya pun mengikutinya dan kembali menyalami beliau, yakni guru saya yang pandangan dan petuahnya melebihi seorang profesor bagi saya. Pak Muslim berlalu meninggalkan saya, keluar dari warung kopi. Kupandangi pundak tuanya dari belakang, dalam hati saya bergumam. “Terima kasih pahlawanku, jasamu luar biasa untuk negeri tempat berpijakku ini.“
#Titip salam untuk murid-muridku di manapun berada
Biodata:
Drs. Uswatuddin,M.AP, adalah kepala sekolah di SMAN 1 Takengon, memiliki hobi menulis cerpen dan membaca puisi.