Catatan Akhir Pekan a.ZaiZa
DALAM sebuah diskusi aktual bulanan yang digagas Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh pada 28 Februari lalu, Dr Iskandarsyah Madjid,SE.MM selaku Direktur UKM Centre Univesitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh melontarkan sebuah pernyataan menarik, yakni bahwa kopi yang menjadi komuditas unggulan daerah Gayo, dan Aceh secara umum ternyata tidak mampu menjadi penambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi daerah penghasil.
Bagi saya yang awam tentang perkopian ini, langsung terlintas dibenak saya. Berarti kopi Gayo ini hanya menang namanya saja, namun tak ada membawa manfaat besar bagi daerah, baik sebagai sumber PAD maupun kepada petaninya.
Sementara diluar Gayo, orang terus berbicara tentang kopi Gayo yang terkenal sebagai kopi Arabika dengan kualitas terbaik di dunia. Bahkan, mengalahkan kopi Amerika dan Brazil sekalipun.
Gayo sebagai daerah kaya dengan hasil kopinya, namun daerahnya tetap miskin dan masyarakatnya tak berdaya akan kemegahan kopi yang dihasilkan dari lahan-lahan pertanian milik masyarakat. Kasarnya, jika boleh saya katakan, petani kopi masih terjajah dilumbung kopi.
Dari berbagai refrensi yang saya himpun, di Dataran Tinggi Gayo, perkebunan Kopi telah dikembangkan sejak tahun 1908. Kopi ini tumbuh subur di Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah dan Gayo Lues. Ketiga daerah yang berada di ketinggian 1200 m dpl tersebut memiliki perkebunan kopi terluas di Indonesia yaitu dengan luasan sekitar 94.800 hektar.
Masing-masing di Kabupaten Aceh Tengah 48.000 hektare yang melibatkan petani sebanyak 33.000 kepala keluarga (KK), Bener Meriah 39.000 hektare (29.000 KK) dan 7.800 hektare di Kabupaten Gayo Lues dengan keterlibatan petani sebanyak 4.000 KK.
Dari 66 ribu KK petani kopi ini, bisa dikatakan hanya 30 persennya saja yang bisa hidup baik, belum mapan atau sejahtera. Selebihnya, mereka laksana buruh dikebun sendiri.mereka para petani kopi ini bahkan terlilit hutang sana-sini ketika mulai mempersiapkan lahan kopi mereka sejak mulai penaman, perawatan hingga jelang masa panen.
Akhirnya, saat panen tiba, hasil penjualan kopi tersebut hanya bisa menutupi hutang-hutang mereka, plus sedikit simpanan yang mungkin hanya bertahan 2-3 ulan saja, setelah itu merekapun kembali telilit hutang disana-sini untuk memehuni kebutuhan hidup sehari-harinya.
Kondisi petani miskin inilah, salah satu penyebab mengapa masyarakat Gayo tidak ada bercita-cita jadi petani kopi. Para anak-anak Gayo hanya sebagian kecil saja yang mau melanjutkan sekolah di jurusan pertanian di berbagai universitas, yang seharusnya mereka geluti agar nanti bisa menambah ilmu untuk bisa menjadi kopi yang handal.
Siklus kehidupan para petani kopi yang terasa teramat sulit bisa mapan atau sejahtera dari hasil kopinya, membuat anak-anak Gayo terkesan tidak bangga menjadi anak petani kopi di dataran tinggi Gayo. Bayangkan saja, andai para orang tua mereka bisa hidup layaknya petani kopi di Brazil yang pergi ke kebunnya dengan mobil mewah dan berpakaian rapi, mungkin kebanggaan itu akan pulih dan minat untuk menjadi petani kopi akan lebih besar lagi.
Kondisi petani kopi yang memprihatinkan ini, pernah terangkat kepermukaan saat media berusaha memberika advokasi akan kondisi petani kopi. Namun akhirnya kembali ternggelam, karena euporia keberhasial usaha yang dilakoni sebagian kecil pengusaha yang membesar-besarkan nama kopi Gayo, sehingga perhatian bagi para Petani kopi kembali tersingkirkan. Nasib mereka tetap seperti biasa, petani miskin di tengah kebesaran nama Kopi Gayo yang telah mendunia.
Realitas ini pernah tersaji sebagaimana dilansir Kompas.com (15/06/2012) dimana, terungkap bahwa sekitar 95 persen dari 700.000 petani kopi Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, Provinsi Aceh, masih terbelit sistem perdagangan yang dikendalikan tengkulak atau tauke. Akibatnya, pendapatan petani tidak maksimal karena produknya dihargai lebih rendah dari harga pasar.
Hal ini seperti diakui, Suparjo (38), petani kopi yang juga transmigran di Desa Kampung Baru, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah. Menurut Suparjo, dirinya terpaksa menjual hasil produksinya kepada tengkulak karena terikat utang yang nilainya hingga puluhan juta rupiah. ”Kami tidak mudah melepaskan diri dari tauke-tauke karena punya kewajiban membayar utang yang dipinjam pada tahun-tahun sebelumnya,” ujarnya.
Petani asal Wonogiri, Jawa Tengah, yang sudah 10 tahun tanam kopi, itu mengaku masih memiliki utang sekitar Rp 5 juta kepada seorang tengkulak asal Medan. Dia meminjam uang sekitar Rp 8 juta untuk modal tanam tiga tahun lalu. Itu sebabnya, Suparjo terpaksa menjual kopi petik Rp 17.000 per kilogram. Padahal, harga di pasaran Rp 20.000-Rp 22.000 per kg. Belum lagi, bunga yang dibebankan tauke cukup tinggi, yakni 5-10 persen per bulan.
Nasib serupa juga dialami Zulfikar (44), petani kopi lain di Desa Jamur Uluh, Kecamatan Wih Desam, menilai, tingginya ketergantungan kepada tengkulak membuat posisi tawar petani sangat rendah. Mereka harus menjual hasil panennya kendati pada saat itu harga kopi di pasaran sedang anjlok.
Dua sample tersebut, kiranya perlu dicarikan solusi bersama. Bagaimana caranya petani kopi juga bisa sejahtera, bersamaan dengan keuntungan besar yang diperoleh para pengusaha kopi di Gayo sekarang ini. Salah satu solusinya dengan mendirikan pabrik olahan yang refresentatif di kawasan Gayo. Dengan begitu, banyak matarantai yang bisa diputuskan dan harga jual petanipun tidak jauh dibandingkan harga jual olahan yang dihasilkan para pengusaha kopi yang berada di luar Gayo.
Sebab, selama ini banyak kopi asal Gayo akan berganti nama atau tetap memakai nama Gayo, namun di jual bahkan di ekspor dari luar Aceh. Berapa kerugian daerah selama ini dalam kondisi demikian? Andai saja di Gayo, ada pabrikan yang mampu mengolah hasil kopi rakyat, banyak keuntungan yang diperoleh baik daerah sebagai PAD maupun lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
Sebagai gambaran, bisa dilihat dari pernyataan Ketua Forum Fair Trade Asia Pasifik, Mustawalad yang mengikuti pameran kopi di Oregon pada tahun lalu. Dimana menurutnya, harga kopi Gayo merupakan yang termahal di AS, sehingga posisi pasar turun dari empat pada 2010 menjadi lima pada 2011.
“Meski peringkat kopi Gayo turun di pasar Amerika Serikat, namun jumlah yang dipasarkan meningkat 11 persen,” jelasnya. Dia menyebutkan, kopi Brazil atau Kolombia asal Amerika Latin hampir setengah harga dari kopi Gayo. Kopi Amerika Latin dibandrol 3,5 sampai 4 dolar AS/kg atau sekitar Rp 32.000 sampai Rp 37.000/kg.
Sedangkan kopi Arabika Gayo 7,2 sampai 8 dolar AS/kg atau sekitar Rp 67.000 sampai Rp 74.000/kg. Dia menilai, kopi Gayo memiliki cita rasa khas dibandingkan dari negara lain, sehingga harganya lebih mahal. “Kopi Gayo merupakan kopi khusus (specialty) dengan skor cupping test di atas 80,” jelasnya.
Bayangkan saja, harga kopi yang dahsyad tersebut, kebanyakan diekspor ke luar Gayo hanya bermanfaat kecil bagi petani kopi. Masyarakat mungkin sudah sangat puas, dengan hasil selama ini, yang penting dapurnya tetap ngepul dan anak-anaknya bisa sekolah. Sebab, kecendrungan dalam satu decade terakhir ini animo orang tua anaknya bisa sekolah sangat tinggi, namun dikuliahkan anaknya itu bukan sebagai penerusnya sebagai petani kopi yang sukses, tapi hanya berharap kelak jika sudah selesai kuliah bisa menjadi kerani alias PNS.(aman.zaiza[at]yahoo.com)
I daerahku dele jema mesen ari berempos kupi.. ngok nos umah..motor ayu.. sipenting cara bekupi a we.. gep taring PNS ike pane2 bekupi.. ike asal berempos oya ke belohe kite..ike empos te sawah tulu hektar mgkin ke gere kaya kite..cumen berurus kupi a..
Mera mongot pe aku mbacae
kupi gayo simpue geral…tapi
Luwak seng terkenal…
Oya kire kira terjemahan ari cerite kupi gayo…hehehe…