Oleh: Joni MN*
Akankah orang bertanya, bergunakah ketika aku
tak pernah menulis satu kata?
apakah orang akan mencari namaku ketika aku
tak pernah meninggalkan kesan?
tulisanku adalah diriku, diriku mustahil adalah tulisanku
jari-jariku bekerja dengan otakku
tapi tidak dengan diriku
diriku adalah kumpulan prilaku potensi dosa
diriku adalah susunan tulang daging darah
yang mungkin telah menyerap barang haram
diriku bukan milikku, lingkunganku telah mengklaimnya
apakah orang pernah menerima aku berbeda dengan tulisanku?
Bangkitlah kalimat-kalimat yang kutulis
sebab mereka mendapat teman dan musuh yang menghormati
ingin aku memasukkan diriku ke dalam tulisanku
harap aku bisa mendapat sapaan hormat yang sama
Tulisanku adalah produksi otakku yang diperintah oleh hati
tak dapat bercengkrama dengan prilakuku yang
diproduksi oleh niatku yang subjektif
tulisanku memberi tau tentang aku ke dunia
sementara aku tak pernah berbuat yang sama
kepada tulisanku….
PADA awal tulisan ini, penulis ingin mengajak kepada para pembaca untuk menyamakan makna terhadap kata etika dan moral. Etika dan moral merupakan perkataan yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan kedua kata tersebut digunakan secara bersamaan. Sebagai contoh dalam kalimat ”orang yang bermoral tidak akan pernah membunuh kreativitas orang” atau “para orang- orang di sekitarnya, namun sekarang banyak manusia yang hampir kurang memahami apa itu etika”. Juga pada kalimat ”mereka tidak mempunyai etika dan moral”. Penggunaan kedua kata tersebut memang dibenarkan karena mempunyai makna yang sama. Jika kita tinjau secara etimologi, etika berasal dari kata Yunani, ethos.
Dalam bentuk tunggal mempunyai berbagai arti yaitu Padang rumput, kandang, tempat tinggal, adat, akhlak, kebiasaan, cara berfikir dan watak. Bentuk jamak dari kata etika yaitu ta etha yang berarti adat kebiasaan.
Memahami makna etika tidak cukup hanya berdasar etimologi. Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 1998 memberikan makna etika ke dalam tiga pengertian.
Pertama, etika merupakan nilai-nilai dan norma-norma moral yang digunakan sebagai pedoman untuk mengatur tingkah laku manusia Secara singkat etika diartikan sebagai sistem nilai. Misalnya, etika Islam, etika Budha, etika suku Bugis dan lain-lain. Pengertian tersebut mirip dengan kata etis yang berarti asas-asas atau nilai-nilai tentang sesuatu yang dianggap baik dan buruk.
Kedua, etika merupakan kumpulan asas atau nilai moral. Ini merupakan kode etik. Ini merupakan kode etik. Kedua pengertian tersebut bersifat mengikat karena tersebut bersifat mengikat karena berkaitan dengan larangan dan perintah. Oleh karena itu pengertian etika di atas adalah normative.
Ketiga, etika mempunyai arti ilmu tentang yang baik dan yan g buruk. Dalam hal ini, etika disebut juga sebagai realistis menyatakan bahwa tujuan utama dari mendidik dan sebagai pendidik.
Filsafat moral yang merupakan cabang dari filsafat juga menjelaskan tentang moral, dan dalam buku itu ada pertanyaan, Bagaimana dengan kata moral? Moral berasal dari bahasa Latin yaitu mos (tunggal) dan (jamak) yang berarti adat kebiasaan dan inilah yang disebut “budaya”. Jadi secara etimologi, kata etika sama dengan kata moral. Perbedaan terletak pada asal bahasanya. Etika berasal dari bahasa Yunani sedangkan asal kata moral dari bahasa Latin. Moral sebagai kata sifat mengandung arti berkenaan dengan perbuatan yang baik dan buruk. Sebagai contoh pada kalimat “tanggung jawab moral”, “degradasi moral” dan sebagainya. Moral juga mempunyai arti memahami perbedaan yang baik dan yang buruk, seperti pada kalimat “hewan merupakan makhluk yang tidak bermoral”. Sebagai kata benda, moral mempunyai arti sebagai norma-norma tingkah laku yang baik dan yang buruk yang diterima secara umum dalam masyarakat.
Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak akan terlepas dengan masalah etika dan moral. Mengingat, yang namanya etika dan moral bukan hanya berkaitan dengan adat kebiasaan. Namun yang terpenting, di balik itu terkandung norma dan nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman tingkah laku manusia, pandangan dan falsafah hidup. Norma dan nilai-nilai inilah yang mendorong manusia megenal baik dan buruk, benar dan salah, patut dan tidak patut. Oleh sebab itu, etika dan moral sebagai value-judgment (ukuran nilai) menjadi rujukan dalam menilai baik buruknya perilaku manusia. Jadi, hal itu bersifat fundamental dan universal. Itu pula sebabnya, lapangan bermain etika dan moral sangat luas seluas kehidupan manusia itu sendiri. Mulai bangun tidur, berlalu lintas, bekerja, dan sebagainya, akan terus bersinggungan dengan etika dan moral.
Kesantunan
Manusia merupakan mahluk sosial dan manusia memerlukan sahabat, guru (pendidik), teman hidup, dan lainya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya menuju ke kehidupan yang lebih kekal nanti, tentu hal tersebut membutuhkan interaksi dan berbicara untuk saling memberi dan/ atau member informasi antra satu sama lain, berinteraksi tentu menentukan bahasa yang dikomunikasikan. Dan yang tidak kalah pentingnya dalam hal ini adalah menjaga dan meningkatkan hubungan sosial antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya (speech Community). Untuk hal ini dan menjalankannya mutlak dibutuhkan bahasa yang dibahasakan. Kelancaran komunikasi dan hubungan sosial lebih banyak ditentukan oleh bagaimana speaker atau penutur itu menggunakan bahasa yang santun dan berinteraksi yang sopan.
Sejauh ini tidak ada satu manusiapun yang diperlakukan terlepas dari nilai-nilai batas harga diri manusia itu sendiri, karena hal ini akan dapat berdampak kepada penjatuhan fitrah manusia yang sudah menjadi manusia. Dengan kata lain tidak ada satu manusiapun yang tidak menginginkan mereka tidak dihormati, hargai, dan diperlakukan sesuai dengan keberadaan mereka, hal ini berlaku keseluruh umur, besar, kecil, tua, muda, laki-laki, perempuan, anak-anak dan orang tua semuanya inginkan hak-hak fitrah mereka untuk dapat diindahkan.
Seorang ahli filosof yang bernama Jack Odell mengatakan bahwa; sebuah masyarakat yang tidak memiliki etika adalah masyarakat yang sedang menjelang kehancuran. Jadi prinsip-prinsip beretika sangat penting diperhatikan dan dijaga guna untuk menjaga eksistensi dari suatu masyarakat dan komunitas sosialnya. Jika tidak ada prinsip-prinsip etika dan konsep bermoral maka manusia tidak mungkin dapat hidup dan menjalani kehidupannya mereka secara harmonis. Tanpa prinsip tersebut manusia akan hidup selalu digelimangi dengan rasa takut, kecemasan, keputusasaan, kekecewaan, dan ketidak pastian serta selalu dihantui oleh rasa kecurigaan yang berlebihan sehingga berdampak kepada penyakit.
Salah satu wujud dari manusia bermoral dan beretika adalah ketika mereka menggunakan bahasa di dalam berkomunikasi atau ketika mereka berbahasa dengan anggota masyarakat lainnya. Bagaimana cara mereka menggunakan bahasa dalam berinteraksi dan bagaimana cara mereka memperlakukan tentang pemilihan ungkapan yang akan dituturkan. Santun berbahasa disini bukan hanya benar tentang susunan kata dan lemahnya intonasi suara saja, namun yang sangat memegang peranan penting di dalam menjaga keberhasilan jalannya komunikasi tersebut adalah pemilihan ungkapan-ungkapan (kata-kata) yang akan digunakan di dalam berbicara antara sesama komunitas masyarakat (speech community), dan bagaimana masyarakat tutur itu dapat membahasakan budaya mereka.
Ketika masyarakat tutur tersebut keluar dari batas – batas yang sudah diatur di dalam adat, istiadat dan resam yang ada pada daerah itu, dalam contoh di sini adalah sesuai dengan budaya yang ada pada masyarakat Gayo, tentu nilai dari bahasa yang digunakan itu juga sudah lari dari patrun-patrun nilai-nilai budaya mereka juga, misalnya di dalam budaya memiliki nilai-nilai dasar yang harus dipatuhi ketika berinteraksi dan berkomunikasi, seperti;
- “mujurah enti munyintak, remalan enti begerdak, becerak enti member – jangan – menarik, berjalan – jangan – menghentakan, berbicara – jangan – sergak”,
- kasar
“berate suci, berlidah faseh”. Memiliki-hati – suci, memiliki-lidah – fasih
Kedua peri mestike ini menggambarkan bahwa setiap interaksi yang dilakukan ketika bersosialisasi dengan speech community atau masyarakat tutur lainya harus dapat memperhatikan ketentuan-ketentuan seperti yang ada pada peri mestike di nomor (a) tuturan ini menginginkan penutur dan peserta tutur untuk dapat menjaga bagaimana tata cara kita ketika member sesuatu kepada orang lain atau kepada mitra tutur, dalam konteks ini bukan hanya saja member sesuatu barang yang berbentuk fisik, namun juga hal disini termasuk pengarahan kepada etika kita ketika memberi sama hal dengan ketika berbicara, karena berbicara juga adalah proses pemberian informasi yang akan mutlak menjadi hak milik si pendengar atau mitra tutur kita.
Oleh sebab itu di dalam tuturan nomor (a) tersebut menganjurkan untuk dapat dijaga kualitasnya, tidak diharapkan ketika memberi sesuatu langsung tangannya di tarik seketika (cepat-cepat), hal ini terkesan tidak tulus dan sepertinya menaruh benci kepada mitra tutur itu, dan bisa saja menimbulkan asumsi-asumsi negative lainya. Sedangkan nomor (b) diharapkan kepada peserta tutur memiliki hati yang tulus dan suci ketika hendak mengeluarkan kata-kata baik itu dalam rangka menginformasikan sesuatu, menasehati, memberi atau mentransfer pelajaran, mengundang dan lain-lain, di dalam ungkapan nomor (b) untuk menjaga ketenangan dan kedamaian para peserta tutur juga mencapai keharmonisan bagi mereka sangat anjurkan mengeluarkan kata-kata tersebut dengan lidah yang faseh, artinya adalah harus dengan jelas dan tidak menyakitkan atau mengusik perasaan mitra tutur dan speech community lainnya.
Jadi, untuk dapat mencapai kesantunan di dalam berbicara dan berinteraksi diharapkan kepada masyarakat tutur yang akan menjalankan speech even atau peristiwa tutur tersebut dapat melibatkan cita-cita budaya dan adat yang ada pada suatu komunitas tersebut kedalam interaksi berbahasa mereka dan mampu membahasakan budaya mereka, agar komunikasi akan dapat berjalan dengan lancer dan sukses, serta yang paling penting adalah mampu menjaga kenyamanan, kedamaian, dan juga keharmonisan para masyarakat tutur masing-masing.
Penghormatan kepada orang lain
Kenapa harus santun ketika berbicara?, ternyata hal ini sangat berperan di dalam menentukan kesuksesan komunikasi yang dapat menunjukkan sikap penghormatan dan penghargaan si penutur atau pelaku terhadap mitra tutur atau orang lain yang merupakan mitra tutur, bahwa si penutur benar-benar memperhatikan mitra tuturnya. Dengan kata lain mereka sudah memperlakukan manusia sebagaimana layaknya manusia.
Keharmonisasian
Kehidupan yang tenang dan nyaman sangatlah dibutuhkan oleh setiap individu walaupun mereka kelihatan dimata kita sebagai seorang bandit, penjahat dan lainnya. Ketenangan dan kedamaian adalah fitrahnya setiap manusia. Kehidupan yang harmonis antarindividu dalam masyarakat akan sulit tercapai jika anggota masyarakat tidak mengikuti aturan-aturan dan menjalankan nilai-nilai agama dan budaya yang ada pada masyarakat tersebut secar maksimal serta tidak tidak memiliki kesantunan di dalam berbicara. Kasus-kasus pertengkaran, perkelahian, sakit hati dan lain-lain ini semua ditimbulkan karena tidak ada kehatian-hatian berbicara atau tidak santun walau berintonasi lembut namun pemilihan kata-kata yang tidak nyaman akan dapat membuat gejolak dan dampak negative kepada lingkungannya. Jangankan ungkapan-ungkapan yang kotor, menghina dan meremehkan, terkadang ungkapan yang di awal bermaksud untuk bergurau juga dapat menjadi ketidak harmonisan apabila disampaikan pada saat dan tempat yang tidak tepat atau sesuai.
Saling mengejek, melontarkan kata-kata kotor, merendahkan pihak mitra tutur walaupun ada yang mengontrol namun hati masing-masing manusia tidak dapat di control orang lain hanya dapat dikontrol oleh baik dan indahnya kata-kata yang digunakan, hal ini yang akan dapat menciptakan kenyamanan, kedamaian dan keharmonisan khususnnya.
Saling memahami
Santun berbahasa juga akan dapat meningkatkan dan mengeratkan hubungan social antara masyarakat tutur, selain itu juga dapat membangun harga diri seseorang baik penutur maupun mitra tutur. Dan yang paling terpenting adalah kesantunan akan dapat menghindarkan kesalahpahaman antara para peserta tutur masing-masing.
Masyarakat yang memiliki Budaya
Urang Gayo memiliki nilai-nilai falsafah yang khususnya dalam beretika, santun dan bermoral serta lainnya, seperti falsafah yang menganjurkankan masyarakatnya beretika, contoh; “Ike kukur pengen ari guk-ke. Ike akang engon ku bekasse. Ike jema iyamaten kin linge”, yang artinya kurang lebih adalah ‘kalau burung tekukur dengarkan dari suaranya, kalau rusa lihat dari bekasnya, dan kalau orang pegang apa katanya’ – falsafah ini memiliki nilai implikasi yang beragam terhadap kesantunan dan etika dan juga tinggi.
Sebagai masyarakat yang memiliki budaya dan pedoman yang dituturkan melalui ungkapan-ungkapan yang bernilai falsafah yang tinggi, sudah sewajarnyalah berlaku santun dan sopan di setiap aspek aktifitas berkehidupan baik ketika bertutur kata dengan mitra tutur mereka dan ketika berinteraksi lainnya. Hal ini berfungsi untuk menghindari komplik dan hal-hal yang negative yang tidak diinginkan terjadi di dalam masyarakat sosial tersebut. Sebagai masyarakat yang berbudaya diharapkan terus dapat berlatih dan membiasakan diri untuk bertindak santun, karena kebermaknaan hidup seseorang itu ada ketika ia dapat bermanfaat bagi orang lain, bukan menjadi duri bagi orang lain. Lebih-lebih orang yang beragama, tentu juga harus menjadikan konsep-konsep dan aturan-aturan berkehidupan yang ada di dalam anjuran agama tersebut dapat dilaksanakan, yang tujuannya tidak lain adalah untuk kebahagian dan ketenangan diri masing-masing. Apabila kita sudah memperlakukan orang sebagai manusia pasti orang itu juga memperlakukan kita sama, namun seebaliknya ketika nilai etika, kesantunan dan moral lepas dari pengangan menjalani kehidupan maka hal yang sama akan datang kepada kita. Oleh sebab itu masyarakat memiliki konsep yang bersifat komplemter yaitu “syari’et berules, edet besebu” jadi adat dalam hal ini bernuansa Islami yang tidak berfiat statis dan kaku. (joniakuwoy[at]yahoo.co.id)
*Akademisi, tinggal di Takengon
Tulisen siterbilang penting
ku Kite béwéne, si sunguh saréh isien mana si enguk ku sawah semawahen tikik, nge terang tentu memakin alaé ku jeroh ketike Kite enguk mengkombinasikan pecerakente (sana si tangkuh ari awah) orom pemilihen peri si jeroh, gerak-gerik ni tubuh, renah atas ni ling (intonasi) dan ipemampati seni ataupé gaya. Kemuduk nari oya miené, nge tentu seje gere lepas ari ketikeé, selohen enguk iperin, renye selohen gere enguk iperin .
Buge-buge peri orom basante kunul iwan tempaté. Amiin..