POLITIK “Pung”…?

Catatan Akhir Pekan a.ZaiZa

hompimpa-ilustrasi
hompimpa-ilustrasi

HOM pimpa alaium gambreng… Sekilas memang permainan anak-anak ini kita anggap hanya permainan belaka yang tiada artinya. Namun, secara tidak sadar, ternyata pemilihan sang juara dengan hom pimpa mengandung filosofi yang mendalam.

Bayangkan saja permainan itu, mungkin kita semua pernah bermain hom pimpa saat kecil-kecil dulu. Kita melakukan hom pimpa, sebelum kita menentukan siapa yang ‘jaga’ dalam permainan kulen temuni.

Permainan anak-anak ini, sadar atau tidak sadar, ternyata mengandung makna filosofi. Dimana, begitu demokratisnya kita semasa anak-anak, untuk mencari siapa pemenang, tanpa mesti beradu otot alias tenaga dan saling mengumbar napsu untuk menjadi yang terbaik. Karena kita yakin, bahwa teman-teman kita itu juga mampu menjadi yang terbaik.

Dengan latar belakang main hom pimpa ini, saya terinspirasi untuk menoreh catatan ini dari tulisan Drs. Jamhuri,MA, seorang Dosen pada Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh yang memberikan solusi menyikapi pengisian 6 kursi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dengan cara “pung” di media online Lintas Gayo pada 12 Maret 2013 dalam rubrik Sara Sagi.

Dimana dalam tulisan tersebut, Bang Jamhur (begitu saya menyapa beliau) menulis bagaimana kalau jatah (kuota) 6 kursi  yang akan diperebut di Daerah Pemilihan (Dapil) 4 untuk wilayah Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah disepaki dengan cara “pung” saja. Artinya tidak perlu banyak yang maju, karena diyakini kalau semua calon memperebutkannya maka akan lepas ke tagan mereka yang tidak mencintai Gayo secara penuh kendati mereka berdomosili di Gayo.

Saya ulangi “Lepas ke tagan mereka yang tidak mencintai Gayo secara penuh kendati mereka berdomosili di Gayo”.  Wow…sebuah kalimat yang sederhana, namun mengandung makna yang cukup dalam tentunya.

Kalimat tersebut mengingatkan kita kembali ke hasil Pemilu 2009 lalu. Dimana, saat Dapil 4 masih dihuni oleh 3 daerah plus Bireuen selain kabupaten di dataran tinggi Gayo dengan kuota 12 kursi. Sejumlah anggota DPRA yang kini sedang menikmati empuknya kursi DPRA, teramat terkesan tidak ingat akan daerah pemilihannya.

Meskipun saat Pemilu lalu, dalam kampanyenya digaung-gaungkan bahwa mereka berasal dari Gayo, berdarah Gayo dan segala sesuatu yang berbau Gayo melekat ditubuh mereka. Seakan-akan tanpa Gayo mereka tak akan bisa hidup.

Tapi kenyataannya, setelah duduk di kursi empuk nan basah di DPRA, mereka lupa akan asal pemilihannya. Nyaris tidak ada satu katapun ia bersuara di kursi dewan untuk kepentingan masyarakat Gayo atau tanoh Gayo yang mengantarkan mereka menikmati semua kemewahan dunia politik di negeri paling ujung barat Pulau Sumatera Indonesia ini.

Tanpa bermaksud memfitnah atau cemburu bin iri. Saya tidak usah sebutkan siapa politisi tersebut, selain tidak etis dan karena sayapun pikir masyarakat Gayo khususnya di kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah sudah tau siapa politisi ‘kacangan’ tersebut. Kacangan dalam artian, sesuai pepatah yang sering kita ucapkan dan dengar “kacang lupa akan kulitnya”.

Contoh kecil, saat pengalokasian dana pemberdayaan ekonomi rakyat (PER) dalam APBA 2013. Hanya seorang saja yang bersuara. Dimana, menurut Aminuddin, anggaran PER untuk sektor perikanan terjadi kesenjangan yang sangat mencolok antar-wilayah. Wilayah timur-utara dan barat-selatan Aceh, ada program pengadaan puluhan unit boat tangkap ikan dengan pagu anggaran sekitar Rp 2,5 miliar/unit. Sementara untuk wilayah tengah, usaha perikanan daratnya ada tapi tidak dialokasikan anggaran.

Aminuddin menyatakan, pihaknya sangat menyadari belanja pembangunan dalam APBA 2013 sebesar Rp 11,799 triliun itu tidak mungkin dibagi rata secara adil untuk tiga wilayah Aceh, yaitu timur-utara, barat-selatan, dan tengah. “Tapi, tuntutan adil yang kami maksud adalah proporsional. Nah, proporsional inilah yang belum terlihat,” kata Anggota Komisi B DPRA yang membidangi ekonomi tersebut yang berasal dari wilayah tengah ini.

Aminuddin juga mencontohkan, kalau di wilayah pesisir timur-utara dan barat-selatan Aceh dibuat program pemberdayaan ekonomi mantan kombatan GAM dengan pengadaan boat tangkap ikan. “Harusnya di  wilayah tengah juga dibuat program pemeliharaan ikan mas atau ikan air tawar lainnya,” tandas Aminuddin. “Berbicara mengenai penguatan perdamaian dan korban konflik, bukan hanya untuk wilayah pesisir timur-utara atau barat-selatan saja, tapi wilayah tengah juga. Korban konflik di wilayah tengah juga banyak,” lanjutnya.(Serambi Indonesia, Senin, 11 Maret 2013)

Itupun, setelah bersuara sekali ke media, setelah itu terkesan diam dan tak tau lagi gimana kelanjutannya. Apakah pengalokasian dana PER itu diperjuangan hingga gol atau hanya sekedar, kamuflase, seakan ada suara dari wilayah tengah Aceh yang notabene wilayah Gayo.

Dari satu contoh kasus ini, kita kembali kepada pemikiran saudara Jamhuri, gimana kalau kedepan, guna mengisi 6 kursi di DPRA akan dilakukan secara “pung” saja. Sehingga, orang-orang yang terpilih benar-benar wakil rakyat yang dijamin kredibilitasnya untuk memperjuangkan kue pembangunan ke wilayah Gayo.

Memang terasa sulit melakukan politik “pung” dalam kancah perpolitikan dewasa ini yang lebih mengumbar nafsu atau syahwat. Sebab, orientasi dari politik itu adalah kesejahteraan. Sejahtera politisinya baru sejahtera masyarakat pemilihnya atau konstituen. Andai kata sejahterta itu tidak kunjung datang bagi politisi, maka jangan harap pula ada pembagian kesejahteraan bagi konstituen pula.

Musyawarah Raya

Namun, jika kita bisa saling membuka dan benar-benar mau, politik “pung” ini bisa dilakukan dengan cara musyawarah raya, yang dilakukan segenap komponen masyarakat Gayo di wilayah Aceh Tengah dan Bener Meriah. Dengan melibatkan semua komponen, baik itu pemerintah daerah, politisi (Parpol), ulama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, mahasiswa, pelaku bisnis dan segenab komponen masyarakat lainnya.

Dalam musyawarah raya itu, kita melakukan pemilihan siapa-siapa orang yang berhak, berkompeten dan krediblel untuk wakil Bener Meriah dan Aceh Tengah ke DPRA, dengan porsi masing-masing daerah Bener Meriah dan Aceh Tengah kebagian tiga wakilnya. Hal ini tentunya harus dilahirkan dari musyawarah raya dan para wakil yang terpilih harus menandatangai pakta integriras dan kontrak politik dengan segenap komponen masyarakat.

Jika ini sudah disepakati, maka pada saat Pemilu 2014 nanti, guna memilih wakil rakyat yang berhak duduk sifatnya tinggal “julen bayi” (antar pengantin) saja. Terlepas dari partai manapun sang pengantin yang mau diantar itu.

Andai ini terwujud, tentu sejarah baru bagi perpolitikan di Gayo. Memang ini tidak populis dan terkesan demokrasi di Aceh jauh mundur kebelakang. Namun, kita juga tahu, bahwa ‘arwah’ perpolitikan di Indonesia ini adalah musyawarah dan mufakat. Dimana, orang-orang tua kita zaman dahulu juga dalam menentukan kemerdekaan negeri ini juga lewat musyawarah dan mufakat, dengan mengenyampingkan semua kepentingan politik, suku, agama dan ras.

Tentunya ini juga tidak bisa juga berlaku permanen, setiap lima tahun sekali melakukan politik “pung”. Suatu saat nanti, ketika syahwat politik itu sudah tidak menonjol lagi, di pemilu-pemilu selanjutnya maka keran demokrasi itu kembali dibuka dalam satu ajang yang kompetitif konstruktif.

Namun, itu semua berpulang kepada masyarakat kita, masyarakat Gayo bagi nenggri yang kita cintai dan banggakan bersama.(aman.zaiza[at]yahoo.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments