Oleh : Johan Makmor Habib Abdul Gani*
“Bicara tentang ALA (Aceh Leuser Anatra) memang selalu manarik perhatian kita. Tapi apakah benar “pusat” (Pemerintah Provinsi) tidak adil, atau dimana sebenarnya kesilapannya. Sebagai putra yang lahir di Gayo, saya prihatin sekali dengan keadaan sekarang, sehingga saya mencoba cari tahu dari beberapa sumber dan bertanya pada teman yang ahli dibidang konflik dan teman yang pernah menjabat di pemerintahan tentang bagaimana seharusnya menyelesaikan masalah ini.
Bermacam pendapat yang saya terima dan masukan, termasuk saya juga buat survey di FB (facebook) untuk mengetahui, apa sebabnya sebagian orang Gayo ingin membentuk ALA. Tapi, apa yang saya dapati bahwa, kebanyakan dari pendapat di FB semuanya masalah ketidak puasan terhadap Pemprov (Pemerintah Provinsi) Aceh. Masalah ketidakpuasan inilah membuat saya sangat ingin mengetahui, kenapa dan apa sebabnya tidak puas.
Masalah pendidikan dan pembanguan serta merasa di anaktirikan, salah satu penyebab dari semua ini, tapi apakah benar apa yang disuarakan mereka ini benar.
Apa yang dirasakan oleh orang ALA adalah benar, memang selama ini terasakan ketidakadilan pembangunan sehingga mereka menganggap pemisahan diri adalah cara terbaik. Dan ini wajar, sama seperti yang dirasakan oleh Aceh terhadap Jakarta.
Tapi apakah kesilapan ini harus ditudingkan secara total kepada Pemprov. Aceh, bagaimana dengan pemerintah setempat. Apakah mereka sudah bekerja maksimal untuk membangun negeri mereka.
Tidak pernah ada debat antara rakyat dan pemerintah setempat, tentang dana yang didapat dari Pemprov. Aceh, tidak ada transparan antara pemerintah dan rakyat.
Dalam hal ini seharusnya Pemerintah Daerah (Pemda) yang ada di ALA/ABAS memusyawarahkan dengan rakyat tentang apa sebenarnya dilemma yang dihadapi. Tapi, ini tak pernah ada, yang ada hanya meeting sesama pendukung ALA, sedangkan dengan yang lainnya sepertinya tidak pernah ada dialog.
Untuk menyelesaikan masalah ini sebenarnya cara terbaik yang harus dialakukan oleh Gubernur:
- Harus menyikapi ini dengan serius
- Membuka dialog langsung dengan para “Pemimpin” ALA
- Menyusun tawaran pembangunan yang konkrit sehingga dalam tempo 4 tahun akan terasa peningkatan pembangunan di ALA
- Harus ada pemetaan pembangunan berbasis kawasan, dimana ALA akan menjadi pusat pengembangan perkebunan, kehutanan dan wisata, daerah pesisir timur fokus pada pertanian, jasa pelabuhan dan transportasi, dan pesisir Barat pada pengembangan perikanan dan perkebunan.
Jawaban dari setiap konflik dan sengketa adalah dialog masalah tidak akan pernah selesai jika kita tidak pernah mau berdialog dengan musuh, dan kunci dari perdamaian adalah keadilan dan pembangunan.
Memang kalau dipikir-pikir lagi, gerakan yang dilakukan oleh ALA sudah tepat dan sudah saatnya. Dan, jikapun ALA terbentuk maka itu adalah kesilapan kita sendiri yang telah tidak adil dengan mereka.
Sebab keadilan bukan hanya dilihat dari jumlah anggaran tetapi sejauh mana kita menganggap ALA sebagai bagian dari kita, keluarga kita, baik secara sosial maupun budaya, dimanapun negara yang belum maju, minoritas selalu merasa menjadi warga kelas satu dan pemain utama.
Bagi saya, kesejahteraan rakyat dan keadilan menjadi hal yang utama daripada sekedar kebangaan teritorial PKA (Provinsi Kesatuan Aceh = NKRI).
Pertanyaanya adalah: Akankah ALA akan menjadi lebih baik setelah berpisah dengan Aceh? survey umum menunjukan bahwa sebagian besar daerah-daerah pemekaran gagal dalam kemandiriannya. Jadi untuk apa ALA berpisah, jika bisa tetap makmur dibawah Aceh, janganlah isu-isu ini hanya menjadi mainan politisi yang kalah dalam Pemilukada sehingga mengincar posisi-posisi politik baru di Provinsi ALA.
Bicara tentang APBA dan Pembangunan
Yang pertama, sudah jelas, dana APBA untuk Kabupaten/Kota, sesuai dengan program yang dibuat oleh dinas-dinas yang ada di provinsi. Demikian juga ada bantuan sesuai kebutuhan, juga ada dana dari Otsus dan Migas yang dibagi sesuai dengan cara bagi yang telah diatur.
Kedua, setelah uang itu sampai di Kabupaten/Kota bagaimana pembagiannya?
Setiap instansi/dinas berapa pembagiannya Ini tergantung dengan perencanaan dan visi misi walikota/bupati yang disesuaikan dengan aturan keuangan yang dibuat Mendagri. Jadi, intinya daerah itu tidak dicampuri provinsi dalam menyusun anggarannya.
Kalau begitu kenapa kita salahkan Pemprov. Aceh, kalau dana itu dikelola oleh Kabupaten/Kota, bisa kita simpulkan, bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota lah tidak tahu mengurus kemana uang yang diberikan dari Pemprov. Aceh.
Yang ketiga, masalah keterlambatan pembanguan infrastruktur di setiap Kabupaten/Kota, siapa yang bertanggungjawab dan apa saja tugas Pemprov. Aceh dalam pembanguan di Kabupaten/Kota.
Dalam hal ini kita tahu kalau dana APBK, tanggung jawab daerah. lain halnya dengan dana Otsus dasn Migas, tanggungjawab Pemerintah Provinsi Aceh. Jadi kalau dana APBK itu dikelola sendiri maka tak ada alasan kita menyalahkan Pemprov. Aceh
Yang ke empat adalah masalah pendidikan yang dikatakan tidak ada perhatian Pemprov. Aceh, sebenarnya seberapa besar andil Pemprov dalam soal pendidikan di Kabupaten/Kota.
Dari apa yang saya selidiki, dana Otsus, 40 persen dibagi ke daerah (Kabupaten/Kota) dan 60 persen digunakan Provinsi Aceh untuk daerah. Dari 60 persen alokasi provinsi, 20 persennya untuk Sektor Pendidikan seluruh Aceh.
Cuma perlu kita tanya pemerintah setempat, sampai dimana mereka mengurus “anak” daerahnya untuk mendapatkan pendidikan yang bagus. Kalau sekarang sudah ada internet, jadi kalau masalah beasiswa bisa juga diakses lewat internet. Tapi, dulu-dulu kemana saja pemerintah setempat (Kabupaten/Kota) mengalokasikan uang itu. Inilah yang harus rakyat tahu.
Tapi, sayangnya, rakyat ALA tidak kritis dalam hal begini. Dan untuk mengirim mahasiswa ke luar negeri memang keinginan bersama antara mahasiswa dan pemerintah setempat. Hal ini untuk memudahkan pengurusan dan peran pemerintah setempat adalah untuk meringankan beban mahasiswa-mahasiswi yang sedang menempuh masa belajar.
Sudah adakah hal ini dilakukan oleh pemerintah setempat, pernahkan ada dialog masalah ini antara pemerintah dan mahasiswa. Saya belum pernah dengar ada dialog seperti ini, makanya banyak mahasiswa yang sekolah di Perguruan Tinggi di Takengon tidak tahu bagaimana caranya untuk mendapatkan beasiswa.
Sedangkan tugas Dinas Pendidikan adalah memberikan penerangan yang membantu mahasiswa mengembangkan sayapnya. Kalau mau jujur, dalam urusan beasiswa wewenang pemerintah setempat sangat besar, asal ada persetujuan dari DPRK
Jadi Keadilan apa lagi yang Piperlukan?
Kalau mau salah Gubernur Aceh, memang berapi-api sekali. Sudah kah orang dari daerah ALA/ABAS pernah mencalonkan putra daerahnya untuk menjadi Gubernur? Setahu saya tak pernah.
Jadi jangan salahkan kalau Gubernur Aceh selalu terpilih dari daerah Aceh pesisir. Saya hanya bisa berpesan kepada saudara di ALA, KALAU MAU TUKAR MENU, TAK USAH BUKA WARUNG BARU.
Tulisan ini mungkin tidak selengkap yang ada harapkan. Tapi, apa yang saya harapkan adalah agar bisa dijadikan renungan bagi saudara di Gayo. Tanya pemerintah setempat, sampai dimana mereka berjuang untuk rakyat Gayo, kalau pemerintah sendiri saja loyo, untuk apa menyalahkan orang lain.
Tapi ini dunia demokrasi, bebas mau melakukan apa saja, asalkan tidak melanggar aturan dan undang-undang RI dan yang paling penting jangan sampai melanggar aturan Allah SWT. Selamat berjuang Saudaraku di ALA.
*Wartawan The ACEH TIMES Perwakilan Europa dan Pendiri PENA (Pembela Negeri Aceh
(Sumber : Pena Aceh)
Saya mengutip tulisan saudara Muchlis Gayo SH tanggal 17 Nopember 2012,rencana dan tetap berjuang untuk berdirinya Provensi ALA , pemekaran bukan hanya rentang kendali Pemerintahan dan Perekonomian akan tetapi lebih penting sebagaimana tulisannya tersebut dibawah ini,
Oleh karnanya seluruh Urang Gayo mari kita dukung dengan dana,pemikiran,tenaga, dan doa agar Provensi ALA segera terwujud, dan kepada saudaraku Johan Makomr Habib Jailani jangan membuat opini yang menduacam
Insya Allah Allah Swt, akan mengabulkan dan meridhai berdirinya Provensi ALA
Dibawah ini kutipan tulisan saudara Muchlis Gayo SH
• Orang gayo menjadi penghuni daerah yg kelak bernama Aceh sudah 7.400 SM, jauh sebelum berdirinya kerajaan Perlak, Pasai, Lamiri, Pedir, mereka berimigrasi dari indocina melalui ermuskra/genting kera, dan hidup berkelompok dipedalaman dibawa panji-panji kerajaan Linge, kerajaan yg tidak ditulis oleh orang Pertugis dan Belanda karena mereka hanya mampir di bandar pesisir, kondisi ini bukan berarti orang gayo dan sejarahnya tidak ada.
• Diera Gubernur A. Hasjmi hak pendidikan orang gayo dikebiri dengan menolak pelajar gayo kuliah di Unsyiah, dan yg terlanjur masuk dijadikan mahasiswa abadi, oleh sebab itu pelajar gayo merantau ke Medan, Padang, Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya yang melahirkan organisasi dan asrama KGAAT ( keluarga Gayo Alas Aceh Tengah ).
• Dalam perang Aceh mengusir Belanda orang gayo bergerilya menumpas Belanda dan baru tahun 1902 Belanda masuk ke gayo dan membunuh orang-orang Gayo dan Alas, jika perang dipesisir orang Gayo ikut terlibat tapi perang di Gayo Alas tidak ada orang pesisir yang membantu.
• Dalam era kemerdekaan ratusan orang Gayo mati dibunuh karena terlibat DI/TII, masa G30S/PKI 7.000 orang gayo mati digorok dan dibunuh tanpa proses sidang hanya karena daftar yang dibuat jaksa yang berasal dari lhok seumawe, masa AM/GAM ratusan rakyat Aceh Tengah terbunuh, ribuan yang terusir dan ratusan rumah serta gedung yang terbakar jauh lebih besar dibanding rumah-rumah yang dibakar di pesisir Aceh, apa yang diperoleh oleh pemuda gayo yang terlibat dalam gerakan tersebut ??? hanya sepenggal jabatan yang tidak resmi dengan sedikit uang saku jika menghadap.
Terimkasih saudarku Muchlis Gayo SH,
as,arie gayo
penulis dari pedalam Kalimantan timur peduli tanoh tembuni