SENI merupakan hal yang tak terlepas ditengah-tengah masyarakat. Hidup tanpa seni didataran dengan ketinggian rata-rata 1200 meter dpl ini bagai sayur tanpa garam. Tak terkecuali dengan seni yang lahir ditahun 1984 di Aceh yang diprakarsai oleh anak-anak negeri berkabut ini.
Rahmad Sanjaya, pria kelahiran Takengon 1972 yang sejak tahun 1982 merantau ke Banda Aceh ini salah satunya. Dia dan beberapa temannya ditahun 1984 merubah kebiasaan berseni dengan sebutan musik kreasi baru yang mengubah mindset bermusik di Aceh yang populer saat itu adalah musik rock.
“Musik kreasi baru diawali dari kepenatan orang bermain musik di Aceh, hanya rock saja yang populer sedangkan yang lain tidak”, kata Rahmat Sanjaya, beberapa waktu lalu di Banda Aceh.
Atas dasar kepenatan itulah, Rahmad Sanjaya yang aktif berteater ini bersama rekan-rekannya, Alwin salah seorang sutradara sinetron dan Iwan Setiawan memulai sebuah garapan musik yang dikalaborasikan dengan puisi.
Pada waktu itu, Jaya sapaan akrab lelaki yang rumor itu dipercayakan untuk mengkomposisikan musik kreatif ini.
“Semua musiknya non lirik, hanya ilustrasi saja, dan setelah setahun yakni tahun 1985 kami sudah mencari lirik, dan melalukan uji coba selama 5 tahun dengan menggabungkan rafai dengan gitar serta harmonika”, kata Jaya.
Perjalanan musik kreasi dengan nama musikalisasi puisi masa itu saama sekali tidak dikenal di Aceh oleh seniman-senimannya, sehingga begitu munculnya jenis musik aliran baru ini terjadi kontroversi.
“Pada saat itu, musisi-musisi Aceh tidak berani menggabungkan alat musik gitar dengan rafa’i, tetapi kami melakukannya, sehingga ada yang kontroversi”, ceritanya.
Munculnya kontroversi itu, lanjut Jaya muncul inisiatif dari komunitasnya untuk menamakan komunitasnya tersebut dengan Bengkel Musik Batas dengan genre yang mereka buat sendiri bernama musik batas.
Ditahun 1987, genre musik batas ini mulai berkembang dikalangan musisi Aceh masa itu, bahkan genre musik yang masih tergolong baru dikenal oleh masyarakat Aceh pada masa itu bisa mengalahkan musik-musik lainnya, yang hampir setiap hari melakukan pementasan bahkan, musik ini mampu mendiamkan penggemar musik Rock di siang bolong.
“Tahun 1987 musik ini mulai berkembang dan hingga tahun 1999 musik ini populer ditengah-tengah musisi Aceh namun belum berkembang keseluruh penjuru Aceh”, kenang Jaya.
Pada masa itu, musikalisasi puisi pun ternyata tidak dikenal di Indonesia, Mas Girbi, dan pada tahun 1999 salah seorang seniman nasional yang berkunjung ke Aceh dan melihat apa yang dimainkan oleh musisi-musisi Aceh saat itu hingga dia terkagum melihatnya.
“Ini jenis dari musik musikalisasi puisi, itu yang dinyatakan oleh Mas Girbi”, tambah Jaya.
Jaya juga mengatakan, saat ini perkembangan musikalisasi puisi ditengah-tengah masyarakat Aceh sudah menyebar rata, hasilnya saat ini musikalisasi puisi sudah banyak dipertandingkan dan dijadikan ekstra kurikuler disekolah-sekolah tingkat SMP dan SMA, dan saat ini banyak kampus yang sudah mulai terbiasa dengan jenis musik yang boleh dikatakan baru dikenal di Aceh itu.
“Perkembangan muspus di Aceh saat ini berkembang pesat, pada tahun 1999 dan 2000 lalu saya diundang untuk berkunjung ke Malaysia untuk mengikuti Dunia Islam Dunia Melayu dan Visit Malaysia Years, mereka mengatakan betapa hebatnya muspus di Aceh”, lanjutnya.
Jaya menambahkan, bahwa anak-anak Gayo yang terlahir dilembah-lembah pengunungan yang dingin ini memiliki visi dan misi yang kuat terhadap perubahan, salah satunya dibidang seni.
“Kami telah mencoba 29 tahun yang lalu, ternyata bisa menciptakan jenis musik baru di Aceh dan saat ini dikenal dengan nama musikalisasi puisi, anak-anak Gayo saat ini juga pasti bisa melakukan perubahan kerena kita memang memiliki visi dan misi yang kuat akan perubahan itu, termasuk seni”, pungkas Jaya.
(Darmawan Masri)