Terkait pemberitaan media online Lintas Gayo yang mengangkat tema genre musikalisasi puisi, yang diawali kemunculan berita tentang lelaki Gayo bernama Rahmad Sanjaya yang karyanya dibeli oleh produser musik asal Jakarta, Jum’at 22/3. Disusul kemudian dengan tulisan Darmawan Masri (Ternyata Anak Gayo yang Kenalkan Musikalisasi Puisi di Aceh” edisi 25/3, dan dua features saya yang berjudul “Musikalisasi Puisi Sebuah Genre Berapresiasi” 27, 28/3.
Topik ini kemudian menjadi bahan diskusi aktual dikalangan seniman. Baik di Banda Aceh, Bireun, Langsa, Sabang dan sejumlah komunitas seni lainnya. Pasalnya mereka baru tau bahwa keberadaan jenis musik ini, awalnya dibawa dan digerakkan oleh sahabat mereka sendiri yang selama ini kerap duduk ngopi dan bercanda bersama. “Wah, saya baru tau ternyata orang penting itu tak selamanya glamor”, kata Hamzah anggota sebuah komunitas film dan cinematografi di Banda Aceh Kamis, 28/3.
Dari diskusi dan interaksi ini kemudian saya juga menemukan sebuah catatan penting terkait sejarah muncul dan berkembangnya musikalisasi puisi di Aceh. Selain keterangan dari sejumlah seniman, saya juga menemukan beberapa dokumen dari beberapa komunitas dalam bentuk booklet. Sebagaimana tulisan sebelumnya, dokumen booklet ini memberi tambahan data sekaligus menguatkan dari apa yang menjadi kajian dan analisa saya prihal genre musikalisasi puisi, khususnya di tanah Sultan Alaidin Johansyah ini.
Meski nama putra Gayo ini tercatat dalam buku Leksikon Sastra Indonesia tulisan Pamusuk Eneste terbitan Kompas (2002), dalam bidang musikalisasi puisi di Aceh Rahmad Sanjaya adalah seniman pertama yang mengembangkannya. Pertama sekali ia membentuk kelompok Canang Cerekeh pada tahun 1989 bersama Mas Kirbi dan Teater Mata, nama itu kemudian berganti menjadi Canang Gong, selanjutnya berganti lagi dengan nama Kelompok Musik Polos (1998-1990).
Kelompok ini mengalami banyak pembaharuan, termasuk pergantian nama dan Rahmad Sanjaya mengubah nama kelompok Musikalisasi Puisi Aceh dengan nama Bengkel Musik Batas yang memiliki orientasi layaknya sebuah bengkel, namun yang di tukangi adalah nada dan syair puisi yang sengaja di gubah dalam bentuk musikal.
Bengkel Musik Batas didirikan pada tanggal 10 November 1991 di Banda Aceh oleh Rahmad Sanjaya yang bermula dari kampus Teknik Sekolah Tinggi Teknik Iskandar Thani. Jay, (sapaan Rahmad Sanjaya), sering tampil di berbagai acara bersama Eddy Syahputra (mantan kelompok Musik Polos dan anggota teater Mata). Pada tanggal 8 November 1992 anggota Bengkel Musik Batas mulai bertambah diantaranya Erol, Iwan Setiawan, MY Bombang, Dama, Totok, Zoel Kirbi dan Maulana Akbar. Fase berikutnya personilnya semakin bertambah dengan bergabungnya Winaharto, Khairin, Evi TL, Evi Takengon, Novi, Magdalena (Mustika Art Entertement), Ningsih, Anna, Nurlaily, Dedek Nasmawati dan Darmansyah. Keanggotaan ini semakin hari terus bertambah. Inilah kelompok pertama Musikalisasi puisi di Aceh.
Berdirinya kelompok musik yang dianggap aneh oleh sebagian besar seniman Aceh saat itu, tidak menyurutkan langkah Rahmad Sanjaya yang di daulat sebagai ketua dan penggerak kelompok ini. Berbagai keritikan, bantahan, caci-maki bahkan cemoohan sering mendera mereka. Pelaku dan pecinta seni di Aceh baru tehenyak ketika Bengkel Musik Batas menggelar pementasan di berbagai tempat di Banda Aceh, Lhoukseumawe dan sejumlah tempat lainnya. Bengkel Musik Batas semakin berkibar setelah mereka tampil sebagai pengisi acara “Nalamda” (Nada dan Da’wah) di TVRI dengan format musikalisasi puisi.
Dalam ekpresi seni kolaborasi, kelompok ini pula yang pertama kali menggabungkan alat musik tradisional seperti rapai, genderang dan serune kale dengan alat musik modren seperti guitar, belira, keyboard dan guitar bass. Efek kolaborasi alat musik tradisi Aceh dengan alat musik standar tersebut melahirkan ketidaknyamanan di kalangan beberapa seniman saat itu. Diantara mereka ada yang marah dan tidak apresian dengan konsep dan penampilan mereka. Ketidak senangan sebagian besar dari seniman itu seolah ingin membubarkan kelompok ini dengan segala cara. Fakta ini atas kesaksian Jay sendiri yang mengalami langsung dinamika berkesenian kala itu.
Namun Bengkel Musik Batas yang sebagian besar anggotanya dari Teater Mata pimpinan Mas Kirbi ini terus berkarya, bahkan berbagai inspirasi baru muncul seperti air bah. Dalam tataran teoritik, Bengkel Musik Batas berani dan bertanggungjawab mengeluarkan tiga konsep rumus musikalisasi puisi yang sebelumnya belum pernah ada. Format dalam formulasi Aceh itu adalah: 1) Modern + Tradisi + Kreasi, 2) Tradisi + Modern + Kreasi, 3) Kreasi + Tradisi + Modern. Selain itu Bengkel Musik Batas juga mengeluarkan semacam diktat bahan ajar teknik dasar dalam mengaransmen Musikalisasi Puisi. Rumus itu diantaranya adalah; Interpretasi (analisa dan penelaahan puisi), Penentuan irama (ritme dan tonasi), Penyeimbangan bunyi (harmonisasi musikal), Pemolesan (artistik musikal, instrumen), Pemberian bobot irama, eksperimentalia (pengujicobaan) dan yang terakhir adalah Pembakuan konsep aranger.
Bengkel Musik Batas yang berarti segalanya serba terbatas, baik skil bermain musik dan daya cipta komposisi. Meski demikian kelompok ini selalu aktif melakukan latihan, jadwal mereka antara jam 20.00 hingga 04.00 dini hari. Latihan setiap malam memberi arti penting bagi tumbuhnya kemampuan para anggota menjadi semakin maksimal. Disinilah lagu-lagu yang berformat musikalisasi puisi muncul satu demi satu. Tidak itu saja Bengkel Musik Batas juga menghasilkan banyak resume penting terhadap konsep Musikalisasi Puisi yang terus di kembangkannya dalam beberapa generasi musikalisasi puisi alumnus didikan mereka.
Bengkel Musik Batas yang berdiri tahun 1991 dan bubar tahun 1996 menggarap komposisi dan aransmen musikalisasi puisi sebanyak 125 buah seluruh aransmen dan lagu di ciptakan oleh Rahmad Sanjaya, memiliki 15 generasi, dengan jumlah anggota 140 orang baik aktif maupun non aktif.
Dalam perkembangan berikutnya Rahmad Sanjaya membentuk Komunitas Musik Merdeka yang beranggotakan Ahsan Khairuna, Da’yul Makruf (keduanya tercatat sebagai anggota Cupa Band dan teater Rongsokan IAIN Ar-Raniry), Mahrona (kini berprofesi sebagai Dokter Umum di Rumah Sakit Datu Beru Takengon), Charli, Zulkarnain, Ani dan Ria Bunga. Inilah personil pertama Komunitas Musik Merdeka yang telah tampil membawa nama harum Gayo dan Aceh di Convensyen Dunia Islam Dunia Melayu Kuala Lumpur, University Malaya, Malaka dan Langkawi Malaysia tahun 2000. Mengisi acara hiburan utama dalam peringatan Perdamaian Aceh (GAM-RI) dua tahun berturut-turut (2007-2008). Hingga pertengahan tahun 2009, Komunitas Musik Merdeka pimpinan Rahmad Sanjaya telah menghasilkan komposisi dan aransmen Musikalisasi Puisi sebanyak 998 buah puisi, dan menelurkan album perdana mereka yang bertajuk “Jaya”. (Salman Yoga S)