Sabiqul Khair*
DISKURSUS tentang pelayanan publik merupakan bagian diskusi yang umurnya sudah setua birokrasi itu dilahirkan atau diciptakan. Max Weber sosiolog Jerman memunculkan lahirnya teori birokrasi dimana konsep keteraturan, efisiensi dan efektifitas diciptakan dalam sebuah sistem organisasi yang kemudian diadopsi dalam sebuah sistem pemerintahan. Teori birokrasi Max Weber ini yang kemudian mendunia hingga saat ini. Sistem ini diciptakan guna melahirkan ketertiban dalam sebuah pengelolaan pemerintahan. Singkatnya dengan sistem birokrasi lahir konsep manajemen pelayanan publik yang lebih mudah, cepat dan memberikan rasa nyaman kepada masyarakat.
Tugas utama birokrasi untuk melayani
Timbul sebuah pertanyaan kritis dalam diri kita dan sebagian besar masyarakat, “Apakah selama ini birokrasi sudah memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat, atau sebaliknya masyarakat yang melayani birokrasi”. Anekdot atau sentilan obrolan masyarakat seperti ini sudah jamak terjadi. Apakah pemerintah atau birokrasi akan terus tetap diam atau merasa nyaman dengan kondisi ini, sehingga melupakan hakikat dari pada tugas mulianya “melayani masyarakat”. Memang teori birokrasi Max Weber, menekankan pentingnya peraturan. Organisasi mempunyai peraturan dan pengaturan dan juga memberi perintah agar organisasi dapat berfungsi secara efektif dimana semua peraturan harus ditaati (Etzioni,1985;73). (http://defisulandari.wordpress.com). Artinya ada sistem yang mengatur bahwa birokrasi menjadi maksimal dan efektif jika tujuan dari pemerintahan melayani masyarakat, jangan terjebak dengan birokrasi yang kaku sehingga melahirkan sistem pelayanan publik yang berbelit-belit, lama dan panjang, contoh kecil dalam pembuatan KTP, Akte kelahiran, perizinan dan masih banyak kasus-kasus lain yang nota bene membuat masyarakat kecewa dan “sakit hati” terhadap pelayanan pemerintah daerah.
Dalam konteks desentralisasi dengan wajah otonomi daerah tentunya memiliki makna untuk mendekatkan, memudahkan masyarakat mengakses pelayanan publik bukan malah sebaliknya. Banyak cerita dan persoalan seputar keluhan masyarakat terhadap pelayanan pelayanan publik daerah, misalnya rumah sakit daerah, perawat dalam melayani pasien kurang ramah dan cenderung galak. Jika masyarakat bertanya tentang sesuatu dibilang cerewet dan lain-lain. Jadwal kedatangan dokter yang terkadang terlambat sehingga membuat pasien menunggu lama. Fasilitas rumah sakit yang masih belum memadai dan masih banyak persoalan lainnya. Kondisi ini merupakan hal yang harus disikapi secara positip bukan dengan cara reaktif. Sikapi kritik sebagai gizi atau nutrisi bagi tubuh dalam hal ini rumah sakit maupun birokrasi pemerintahan.
Persoalan pelayanan menjadi krusial dan penting dalam konteks ini, sehingga perlu edukasi SDM dalam pelayanan seperti adanya pelatihan service excellent yang berisi muatan pesan (tim building, smile, efektif communication) di rumah sakit maupun Puskesmas. Konsep pelayanan rumah sakit tidak hanya mengedepankan kemampuan medis, tapi butuh sentuhan – sentuhan kemanusian yang sedikit banyaknya memberikan kontribusi terhadap kesembuhan pasien. Sentuhan yang menenteramkan dan kata –kata positip yang mampu memberikan harapan akan kesembuhan pasien. Komunikasi yang efektif dan senyuman yang bersahabat harus terus diasah, sehingga nantinya lahir loyalitas pelanggan.
Menurut data yang dikemukan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pengestu dalam satu tahun kecenderungan masyarakat Indonesia yang berobat keluar negeri 1,2 juta orang dengan kurang lebih 1,2 triliun uang keluar dari Indonesia (http://beritadewata.com). Jumlah yang sangat fantastis. Bagaimana dengan masyarakat Aceh Tengah atau Aceh, apakah tidak jauh berbeda kondisinya tersebut. Mengingat banyak kita lihat dan dengar masyarakat Aceh Tengah dan Aceh berobat Ke Malaysia atau Singapura. Lagi-lagi salah satu hal yang menjadi alasan utama selain fasilitas adalah kenyaman, keramahan dan keamanan dalam pelayanan. Sudah saatnya birokrasi menampilkan wajah humanisnya dalam melayani. Memanusiakan manusia dalam pelayanan adalah hal penting yang harus dimiliki oleh birokrasi daerah, tanpa melihat strata dan kedudukan seseorang. Semoga kesadaran pemerintah daerah memperbaiki kualitas pelayanan menjadi hal nyata adanya. Amien.
*Direktur Eksekutif Pusat Pengembangan Kebijakan Daerah-Indonesia