Catatan : Yusra Habib Abdul Gani*
Saat Tjut Wan Juriyah (Ibu) mengandung dan melahirkan saya; Abdul Gani (Ayah) sedang meringkuk dalam penjara Takengen, sebagai tahanan politik gerakan DI (Darul Islam) Aceh 1953-1962. Belum lama dan puas lagi mencicipi masa indahnya anak-anak di kampung, pada suatu malam kelam buta dan hujan deras, kira2 jam 23.00 malam awal tahun 1959, saya digendong Ayah dan Ibu menggendong adik saya, Rahmatsyah yang masih kecil keluar rumah bersama 2 famili lainnya (Kelurga Aman Syuhra dan Aman Dayani) menuju hutan Pintu Rime, Kenawat Takengen, Aceh Tengah. Sesampainya di kaki bukit kawasan perkebunan kakèk saya (Ra’di), pause di bawah bambu dalam keadaan “Remo beden” (basah kuyup) sebab hujan tak kunjung berhenti.
Saya tidak ingat lagi bagaimana kami tidur hingga terdampar di sebuah gubuk (kèm) berkasur rumput, berbantal peralatan militer USA. Dalam kèm ini kami tidur dua family ( Ayah, Ibu, saya, adik saya + Ama Dayani, Ine Dayani, Kak Dayani, Kak Masturi, Ansyar dan Pribadi). Menjelang malam berebut dengan adik untuk meniupnya dan mengempèskan bantal made-in USA itu. Saya melihat Ayah saya meletakkan geranat siap pakai berdekatan dengannya saat mau tidur. Baik pagi, siang dan malam, suara tak boleh keras, apalagi menangis, sebab kalau kalau musuh (TNI) dari kesatuan Deponegoro mengetahui dan datang menyergap. Masak nasi mesti tengah malam, supaya asapnya tidak nampak.
Di sinilah, buat pertama sekali saya diajar Ayah berbahasa Indonesia, katanya: “Kalau kamu terserempak dengan tentara Diponegoro dan ditanya: dimana Ayahmu?, Jawab: “Ayah saya sudah mati”. Untuk belajar hingga lancar mengucap kalimat: “Ayah saya sudah mati” hampir berminggu-minggu lamanya baru fasih.
Setelah dianggap “lulus” mengucapa kurang itu, barulah abang Ayah saya (Aman Aisyah) sesekali menjemput saya ke kèm “Pintu Rime”, mengajak saya turun ke kampung supaya tidak bosan. Biasanya Ayah mengantar saya dalam kawasan perkebunan pisang yang luas sekali, milik kakèk saya. Di siani berlangsung transaksi penyerahan “barang”. Alhamdulillah selama beberapa kali saya turun, tidak pernah jumpa dengan sosok orang berpakaian tentara.
Kalimat yang diajar kepada saya tujuannya untuk menipu/berbohong, walau saya masih kecil dan tidak mengerti apa-apa. Doktrin seperti ini baru saya fahami setelah masuk dalam revolusi perjuangan kemerdekaan dalam usia 40-an, dimana untuk “menyelematkan dan menghidupkan” nyawa seseorang, harus dikatakan dipakai rumus “terbaik”, artinya: kalau orang yang dicari tentara pergi ke arah Barat, katakan dia pergi ke arah Timur, kalau dia masih hidup, katakan sudah mati dan yang pertama diletakkan pada terakhir dan sebaliknya.
Kami baru turun gunung setelah perjanjian damai antara DI-Pemerintah pusat 1959 dan tahun 1961 masuk sekolah MIN Kenawat. Bang Ansyar –sekarang guru SD di Ponok Gajak Gajah– sempat stress dan menangis di Sekolah sebab dijuluki dengan “Ansyar DI (Darul Islam)”
Ada kenangan indah di sekolah MIN Kenawat, saat harus berpisah dengan Ibu Aisyah, guru Seni suara, asal Kpg. Hakim, Takengen. Saya menyumbang lagu dalam acara perpisahan yang sempat menguras air mata penonton. Entah bagaimana dan atas pertimbangan apa; Ibu Aisyah memberi nilai 5 kepada saya untuk mata pelajaran seni suara dalam raport, yang sebelumnya diberi nilai 8 bahkan 9.
Ternyata, kisah ini yang membuat saya teringat seumur hidup kepada guru saya ini. Extreem, tapi mendalam cintanya kepada saya, juga aku; hingga sekarang tak mampu melupakan.
Seterusnya, setelah dinyatakan lulus dalam ujian terakhir sekolah Tsanawiyah Boom Takengen tahun 1970, saya-lah satu-satunya siswa yang tidak diberi Ijajah. Tgk. Abubakar Bangkit, Kepala Sekolah mengatakan: “Kalau kamu sambung ke IAIN (MAN) ada Ijajah, jika tidak, tidak ada Ijajah.” Dengan modal berjanji akan menyerahkan fotocopy Ijajah Tsanawiyah, saya diterima menjadi siswa STM Pertanian, leting pertama tahun 1971.
Masalah baru muncul saat akan menempuh ujian akhir tahun 1973. Saya tidak punya Ijajah Tsanawiyah. Tragis! Seorang pengawas (orang gayo –namanya saya lupa) yang datang dari Banda Aceh, sangat merasa iba kepada saya, tapi tak boleh berbuat apa-apa. Lantas, saya hubungi Tgk. Abubakar Bangkit. Kata: “Ijajah saya belum datang dari Departemen Agama, Jakarta”, sementara itu, waktu sudah mendesak dan mèpèt.
Dalam situasi kritikal ini dan dengan berbekal pengetahuan menipu/berbohong (seorang anak pemberontak DI-Aceh); saya menempuh jalan pintas dengan mengetik salinan raport palsu dengan angka yang saya kehendaki sendiri. Misalnya: mata pelajaran Mustalah Hadits nilai 8, bahasa Inggris 9, sejarah 8, Aljabar 7, bahasa Indonesia 9, Al-qur’an 8, dst. Saya stèmpel sendiri dan dalam beberapa menit, saya belajar meniru tanda tangan Tengku Abubakar Bangkit.
Kemudian dengan style yakin, saya serahkan raport palsu ini kepada Bapak Yaman Hakim, Kepala Sekolah STM Pertanian, Aceh Tengah. Pendek cerita sayapun dinyatakan lulus ujian STM Pertanian, 1973, yang diumumkan melalui Radio Husin Bintang. (Ketika saya sempat berjumpa Tgk. Abubakar Bangkit buat terakhir sekali di Banda Aceh, akhir tahun lalu, kami larut dalam kisah lama –tapi tidak menyinggung sama sekali nasib saya yang dizalimi– dalam perjumpaan itu, beliau agak terasa bersalah dan dengan jantan meminta maaf kepada saya. “Kalau ada kesalahan saya, maafkan”. Katanya. “Sudah saya maafkan dan demikian juga sebaliknya” jawab saya.
Kisah menarik lainnya ialah, saat ujian Skripsi di Universitas Idonesia, penguji Utama ialah Prof.Dr. (maaf lupa namanya), dia Hakim Muda pada Mahmakah Agung RI. Hari itu, saya bersama rekan-rakan pergi ke Kampus UI rawamangun untuk memastikan jadwal Ujian Skripsi, tau-tau hari itu juga harus berlangsung ujian; sementara saya memakai baju T-Shirt, celana jeans dan sandal. Akhirnya terpaksa saya pinjam celana, sepatu dan baju lengan panjang milik sdr. Sujoyo Syam (alm). Oleh sebab baju ini sempit, dua kancingnya terlepas saat ujian berlangsung dan lebih tragis lagi, ujian hanya berlangsung singkat, sekitar 5 menit. Prof. Dr.? mengatakan: “Jika nama saudara saya tutup, isi skripsi ini sama dengan laporan masalah Investor asing dari BAPENAS, jadi saya tak sanggup mengujinya.” Saya serahkan kepada penguji lain. Judul Skripsi saya “Peranan Modal Asing berdasarkan Undang-undang RI.” Gagal! Kemudian, saya dibimbing dan diuji oleh Masni, SH, setelah saya permak skripsi baru dan lulus dalam dalam ujian Negara memperoleh gelar SH (Sarjana Hukum), jurusan Perdata dari Universitas Indonesia.
Sejak itu saya menjadi staff pengajar di FH-UMJ. Malangnya, pada 8. September 1990, 3 buah lory tentara menyerbu kampus UMJ, tujuannya menangkap saya, dengan alasan yang tidak saya ketahui. Alhamdulillah, saya diberi bala (sakit perut) oleh allah hari itu, sehingga tidak dapat pergi ke Kampus UMJ untuk memberi materi penataran P-4 pagi itu. Pihak Rektorat diancam supaya memberitahu alamat saya. Bertuah, bpk. Yose Rizal (Pembantu Rektor 1) menangguhkan 3 hari. Dalam jangka masa singkat inilah, pada 12 September 1990, saya terbang ke Singapore dan seterunya ke Malaysia.
Selama di Malaysia, Tengku Hasan di Tiro menunjuk saya sebagai pemimpin Majalah politik SUARA ACHEH MERDEKA yang sempat menerbitkan 10 edisi, dibantu oleh staff khusus: sdr. Iklil Ilmy Ilyas Leubé dan Musanna Abdul Wahab. Selain itu, aktif menulis di tabloid Harakah.
Jam sejarah perjuangan GAM berputar, pada 27 April 1998, Polisi Negeri Johor, dipimpin langsung oleh Let. Jend. Michael Ong, keturuan Cina (Kepala Inteligen negeri Johor) menangkap saya di sebuah rumah, di Lantai-5, Perumahan Samudra Johor Bahru. Saat itu, saya baru mengucapkan takbir shalat dhuhur, tiba-tiba terdengar ada orang menggedor pintu rumah, dimana saya dititipkan oleh Bang Hasan Johor. Let.Jend. Michael Ong langsung bertanya kepada Isteri sdr. Saleh (tuan rumah), “Dimana Yusra habib?” “Dalam bilik”. Jawab tuan rumah.
Saya langsung disergap oleh Let.Jend. Michael Ong dibantu oleh 4 orang anak buahnya bersanjata laras panjang dan pistol. Saya tenang saja saat diborgol dan setelah menggeledah seluruh isi rumah yang saya tumpangi satu malam itu, saya disuruh menanda tangani berkas acara. Alasan penangkapan adalah atas tuduhan merusak dan menghancurkan hubungan luar negeri dan menciptakan in-stabilitas dalam negeri Malaysia berdasarkan pasal 39 fakta Internal Security Acts (ISA). Kemudian, saya digari dan kami turun dari rumah di lantai 5 itu.
Di halaman parkir, saya menyaksikan sekurang-kurangnya 30 kenderaan dilengkapi senjata panjang dan pistol dalam keadaan siap-siaga. Saya bertanya pada salah seorang anggota polisi yang memeluk saya: “Tuan,… ramai benar, nak tangkap saya atau kenduri?” “Mana tahu, Yusra” Jawabnya.
Dari kasawan perumahan Samudra hingga ke Kantor quarters Polisi Johor, posisi kenderaan yang saya tumpangi berada di tengah, dikawal dan diapit dari depan-belakang, diiringi suara sereni, Weeeeewwww, weeeeeew, weeeeewwww. Dalam hati saya berbisik. “Ya, Allah, Engkau jadikan saya sebagai orang besar hari ini!” Sebab saya diperlakukan, layaknya seperti menjemput Kepala Negara.
Setelah dizinkan menjamak shalat dhuhur-Asyar, maka pad pukul 6 petang, saya diberangkatkan dari Johor ke Kuala Lumpur. Kenderaan yang saya tumpangi dikawal/diapit oleh 2 kenderaan di depan dan 2 kenderaan di belakang. Dalam perjalanan inilah, saya mendengar pembicaraan antara polisi dengan Kepala Polisi Kerajaan Malaysia, yang bertanya tentang saya. Polisi yang memeluk saya menjawab: “Tuan, mawar merah yang mekar itu sudah berada dalam genggaman tangan kami”. “Terima kasih” jawab Kepala Polis Kerajaan Malaysia itu. Dalam hati saya bebisik lagi, “Aku bukan Mawar merah, tapi bunga Renggali.”
Pada pukul 00:00, tiba di Kantor Polisi, Sentul di Kuala Lumpur. “Renggali” ini diserah terimakan dari polisi Johor kepada anggota intel di Kuala Lumpur, yang saya kenal baik orangnya. Dia tanya: “Sdr. Yusra, kok begini jadinya?” “Ya, biginilah jadinya”. Jawab saya. Setelah meringkuk 60 hari dalam tahanan Internal Security Acts (ISA) Malaysia, badan dunia UNHCR, cabang Kuala Lumpur menggugat keberadaan saya, sebab saya memiliki ID UNHCR.
Setelah Badan dunia (UNHCR) meloby kerajaan Malaysia, akhirnya sepakat memberangkatkan saya ke negara ke tiga, Denmark bersama keluarga. Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Muhammad mengatakan kepada pegawai UNHCR: “Ini orang –Yusra Habib Abdu Gani– berbahaya, bawalah dia ke luar negara.” Pada 29. Juni 1998, saya dibawa ke airport Subang dan diserah terimakan oleh Polisi Malaysia kepada pegawai UNHCR sampai memastikan saya masuk kedalam pesawat munuju Bangkok, Thailand. Dari Bangkok menuju Kopenhagen, Denmark.
Allah Maha Kuasa di atas segala-galanya. “Katakanlah: Ya Tuhan yang memiliki segala kekuasaan.Engkau berikan kekuasaan kepada siapa saja yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa saja yang Engkau kehendaki dan Engkau muliakan siapa saja yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau atas tiap-tiap sesuatu adalah Maha Kuasa.” ( Surat Ali-Imran, ayat 26 ) Kita berdo’a, semoga hari ini dan seterusnya dunia ini masih mau bersahabat dengan saya, diberi kesehatan, kekuatan jiwa oleh Allah dan hidup dalam keadaan damai.
*Penulis buku Self-government (Studi Banding Tentang Disain Admintrasi Negara)
jalan belum mentok,,,,,semangat itu masih mengalir