“Dele ni Surak” Bukan Nilai Klub Didong Itu Baik

M Yusin Saleh

Takengon | Lintas Gayo – Budayawan Gayo, M. Yusin Saleh keluhkan krisis sosok yang mampu menjadi Juri dalam berseni Didong Jalu akhir-akhir ini.

“Gayo sudah krisis sosok yang layak menjadi juri dalam berseni Gayo Didong Jalu,” kata M. Yusin Saleh kepada Lintas Gayo di Takengon, Jum’at 26 April 2013.

Solusinya, kata Yusin, perlu diadakan pendidikan atau pelatihan agar sosok juri Didong Jalu kembali muncul (ter-upgrade).

Akibat krisis juri Didong Jalu ini, pengakuan Yusin, dirinya kerap terpaksa menolak saat diminta menjadi juri Didong, karena terjadi silang pendapat dengan juri lain saat penentuan pemenang.

“Ada juri yang menilai ke klub Didong mana yang banyak di-aplause penonton maka ke klub tersebut diberikan gelar juara,” kata dia.

Padahal, menurut Yusin, harusnya mesti dinilai adab, syair, lagu, kekompakan gerak dan lain-lain. “Tidak serta merta yang disukai penonton otomatis sebagai klub terbaik,” kata M. Yusin Saleh.

Dia mencontohkan saat Ceh Sahak mengarang dan melagukan syair Didong “Petani perlu kude/ke gere lepas mujujung rege/entimi peralai sawah roa-roa”.

Syair ini menurut Yusin, saat itu hanya bisa difahami oleh Ceh Lakiki dan membalas syair tersebut, “belanga roa kemiring/kelneng kelnong gere penge we”. 

Diceritakan Yusin, rupanya Ceh Sahak saat menciptakan lagu itu ternyata mengumumkan dirinya baru menikah dan berpesan kepada orang lain dengan syairnya agar tidak usah beristri lebih dari satu jika tidak mampu.

Dan oleh Ceh Lakiki menanggapi pernikahan Ceh Sahak dengan syair pengakuan sekaligus kritik karena tidak mengetahui pernikahan sahabatnya tersebut.

“Intinya Didong dulu halus sekali bahasanya, tidak seperti sekarang. Dan yang unggul bukan tergantung kepada dele ni surak (banyaknya aplause-red) dari penonton,” pungkas M. Yusin Saleh. (Kha A Zaghlul)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.