NAMA lengkapnya M. Amin tinggal di Desa Tansaran, Kecamatan Bebesen, Kabupaten Aceh Tengah. Kehidupan sehari-harinya tergolong miris bila kita langsung melihat kehidupan keluarganya, dengan satu istri dan tiga orang anak. M. Amin dengan postur tubuh tinggi hitam kelahiran tahun 1960, terlihat selalu tegar dalam menafkahi kebutuhan hidup keluarga. “ini sudah menjadi tanggungjawab saya selaku kepala keluarga”, tutur Amin digubuknya beberapa waktu lalu.
Untuk menghidupi keluarga, Amin sehari-hari bekerja di kebun masyarakat yang dibayar setiap hari dengan upah yang sangat minim, maklum Amin menyadari kerasnya kehidupan mengharuskan dirinya banting tulang untuk biaya keluarga.
Selain bekerja upahan, Amin juga bekerja sukarelawan membantu masyarakat sebagai Pengali Kubur. Itupun dilakukanya untuk amal ibadah bekal di kemudian hari. Walau tak jarang masyarakat yang memanggilnya untuk mengali kubur sering kali memberikan imbalan, namun Amin menolaknya. Karena dirinya bekerja iklas membantu masyarakat yang tengah ditimba musibah.
“Sering keluarga ahli waris memberikan bantuan berupa uang, saya menolak karena saya bekerja beribadah untuk masyarakat Gayo”, kata Amin siang itu usai pulang kerja.
Agar bisa menonton televisi, keluarga Amin dan istri bekerja sebagai guru honor mengupayakan TV dengan membeli secara kredit, begitu juga sepeda motor walau pembayaranya sering kali terlambat karena kekurangan biaya.
Didinding papan yang berlapis koran bekas, terlihat kecintaan keluarga Amin terhadap Ir. H. Nasaruddin. MM sang Bupati Aceh Tengah. Saat ditanya kenapa ada gambar Nasaruddin, Amin mengatakan, sosok bupati adalah panutan masyarakat Gayo yang selalu menjadi pembicaraan karena sering melakukan silaturahmi ditengah-tengah masyarakat Aceh Tengah.
Cerita lain yang sangat menyayat hati, Amin yang bekerja tanpa pamrih belakangan ini juga tinggal dirumah, bisa kita sebut tidak layak huni. Karena kondisi rumah bila hujan turun selalu membasahi ruang makan dan kamar tidur yang bberlantai tanah. Rumah yang dibangun dari hasil keringat itu, dengan bangunan papan, dibaluti dengan kertas koran. Hal ini dilakukan agar menghambat angin masuk ke ruang rumah.
Belakangan sebut Suryati kelahiran 1963, ada beberapa oknum dari pemerintahan yang datang melakukan pendataan mengenai rumah mereka. Namun sejauh ini belum ada realisasi untuk pembangunan tempat tinggal mereka.
Selama ini sebut Amin, keluarganya yang serba kekurangan sering bekerja sebagai penjaga alat-alat berat (beko-red), walaupun biaya penjagaan hanya cukup untuk membeli rokok dan bensin sepeda motor kreditan.
Beberapa bulan sebelumnya Amin pernah mendengar akan ada bantuan perumahan yang dikelola oleh Pemerintah Aceh Tengah (Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa), keluarga Amin sangat berharap dirinya menjadi prioritas untuk mendapatkan satu bagunan rumah. Karena belakangan Amin dengan ukuran tanah rumah 8×8 dengan bahan kontruksi serba kekurangan.
Amin hanya salah satu keluarga yang belum menerima haknya sebagai keluarga miskin di Takengon, masih banyak Amin-amin lainya yang penuh harap akan bantuan pemerintah setempat akan rumah yang layak huni. Dan semoga Pemerintah Aceh Tengah mendengarkan keluhan Amin yang tinggal satu atap dengan anaknya yang sudah bekeluarga, dan dianugrahi satu orang cucu.
Seharusnya, keiklasan Amin sebagai pengali kubur mendapat perhatian serius dari semua pihak, apalagi yang namanya pemerintah.
*Pengurus Balai Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh Tengah dan Bener Meriah, tinggal di Takengon.