Banda Aceh | Lintas Gayo – Forum Daerah Aliran Sungai Krueng Peusangan (FDKP) mengajak pemerintah 5 Kabupaten Kota di DAS Peusangan bekerjasama mengembangkan ekonomi hijau di DAS Peusangan tanpa merusak kawasan perlindungan yang menjadi daerah tangkapan air, mengingat jumlah lahan kritis yang terus meningkat akibat pembukaan lahan yang tak terkendali.
Menurut Koordinator Pelaksana FDKP, Suhaimi Hamid di Banda Aceh, Rabu (1/5/2013), Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Bireuen, Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe harus membuat Rencana Tataruang Wilayah (RTRW) berbasis ekosistem untuk memastikan kawasan tangkapan air terpenting di Aceh ini tidak semakin rusak di kemudian hari. Jika ekosistem DAS Krueng Peusangan rusak, maka ada 1 juta penduduk Aceh akan menerima dampak meningkatnya bencana alam dan kehilangan sumber air bersih. Selain itu sejumlah industri vital di Lhokseumawe menggantikan sumber air pabrik mereka dari Sungai Krueng Peusangan.
Suhaimi mengatakan wilayah DAS Peusangan merupakan kawasan ekonomi potensial yang menjadi sentra pertanian dan industri utama di Aceh. Pemerintah diharapkan tetap mempertahankan kesimbangan antara kepentingan ekosistem dan kepentingan budidaya dan industri. DAS Peusangan saat ini tercatat sebagai kawasan prioritas pertama nasional yang harus dilindungi karena ancaman degradasinya yang terus meningkat.
FDKP menilai untuk memastikan DAS Peusangan tetap berfungsi baik sebagai daerah tangkapan air, wilayah DAS ini seharusnya mempertahankan minimal 30 persen tutupan hutannya yang ada saat ini. “Kita berharap pemerintah 5 kabupaten dan kota di DAS Peusangan berkomitmen untuk tidak merubah fungsi kawasan hutan yang sudah ada,” kata Suhaimi.
Sejak 2010 Forum DAS Peusangan telah mengajukan konsep “Visi Peusangan” dalam penyusunan RTRW di 5 Kabupaten dan Kota yang wilayahnya masuk DAS Peusangan yakni Aceh Tengah, Bener Meriah, Bireuen, Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe. Semua daerah setuju untuk mengadopsi tataruang berbasis ekosistem dalam penyusunan RTRW Kabupaten/Kota.
Dalam Visi Peusangan, memuat usulan desaian RTRW yang berbasis ekosistem yang menyeimbangkan antara kawasan lindung dan kawasan budidaya. Saat ini DAS Peusangan di wilayah hulu hingga hilirnya cenderung dibuka untuk lahan perkebunan dan pertanian. Akibat pemanfaatan lahan yang tidak diatur, banyak lahan kritis di DAS Peusangan yang berpengaruh pada kualitas ekosistem. “Maka tak heran kalau di kawasan hilir seperti Bireuen dan Aceh Utara sering banjir di musim penghujan karena tidak ada lagi keseimbangan ekosistem,” kata Suhaimi.
Berdasarkan citra satelit 2006 – 2009 DAS Peusangan kehilangan tutupan hutan lebih dari 1200 hektar atau 300 hektar per tahun. Di Aceh Tengah, Bireuen dan Bener Meriah kehilangan tutupan hutannya cukup mengkhawatirkan karena adanya kegiatan pembukaan lahan yang tidak terkontrol dan ilegal logging.
Suhaimi meminta Pemerintah 5 kabupaten dan kota di DAS Peusangan tetap berkomitmen serius mengelola kawasan ini secara bersama. Apalagi para Bupati dan Walikota sudah menadatangani MoU kerjasama untuk mengelola DAS Peusangan secara bersama dan berkelanjutan pada 2011.
“Salah satu komitmen dari MoU ini adalah memastikan masing-masing kabupaten dan kota mengadopsi tataruang yang berbasis ekosistem, agar kawasan hulu dan hilir tetap terjaga dengan baik.”
Kerjasama pemerintah daerah di DAS Peusangan merupakan model pengelolaan DAS lintas daerah pertama yang ada di Aceh, dan sekarang mulai diterapkan juga modelnya di DAS Krueng Aceh dan DAS Krueng Tamiang. Belum lama ini Gubenur Aceh mendapat penghargaan dari Kementrian Kehutanan atas keberhasilan model pengelolaan DAS secara terpadu.
Melalui FDKP berbagai kegiatan sudah dilakukan diantaranya merestorasi sekitar 20 hektar lahan kritis di Bireuen, Aceh Tengah dan Bener Meriah. Sejumlah privat sektor membantu bibit pohon untuk kelompok masyarakat melalui mekanisme Imbal Jasa Lingkungan sebagai bentuk tanggung jawab karena menggunakan jasa air dari DAS Peusangan.
“Kita semua harus bekerja keras lagi merehabilitasi kawasan ini karena jumlah lahan kritis di DAS Peusangan mencapai 150 ribu hektar,” kata Suhaimi.
Kelompok masyarakat secara khusus telah dilatih untuk melakukan penanaman lahan kritis di DAS Peusangan. Belum lama ini dengan didukung Yayasan Leuser Internasional, FDKP melatih kelompok tani di 3 daerah untuk belajar teknik agroforestry dan membuat pembibitan.(SP/red.04)
“150 ribu ceachment area DAS Peusangan kritis, terdapat di Aceh Tengah, Bener Meriah dan Bireuen (detailnya di daerah mana saja? apakah halaman rumah orang termasuk?). dan FDKP telah merestorasi sebanyak 10 ha lahan sejak tahun 2010 di Bireuen”. sebesar apa tanda tanya dalam kepala anda? kalau dikepalaku mungkin sebesar kuda (lagu kude kul le). juga belum jelas berapa besar dana yang dihabiskan, digunakan untuk apa dan siapa saja yang menikmati? apakah dana tersebut diperoleh dari penjualan nama Danau Lut Tawar dan DAS Peusangan?????????????????