Buruh: Bukan Budak Pesuruh

Oleh: Muhammad Ali Murtadlo*

Muh. Ali MurtadloSEBAGAI warga negara yang iba tentu kita miris menyaksikan nasib buruh di Indonesia. Banyak buruh kita yang kurang diperhatikan oleh pemerintah. Maka tak jarang yang memilih kerja di luar negeri menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Data Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menunjukan hingga saat ini tak kurang dari 6,5 juta jumlah TKI yang bekerja di 142 negara. Sungguh jumlah yang fantastis.

Harus kita akui, pemerintah memang sudah memperhatikan nasib buruh. Terbukti dengan adanya UU No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Dalam pasal 86 UU ketenagakerjaan juga disebutkan bahwa setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas: (a) keselamatan dan kesehatan kerja; (b) moral dan kesusilaan; dan (c) perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. Menurut undang-undang tersebut sudah jelas-jelas bahwa buruh  memiliki hak untuk memperoleh atas hal-hal di atas. Namun pelaksanaannya masih jauh dari harapan.

Budak Pesuruh

Perbudakan memang sudah tidak dikenal lagi di dunia. Dalam islam perbudakan sudah dihapus sejak Nabi Muhammad datang membawa ajaran islam. Namun ironisnya di Indonesia perbudakan itu masih saja terjadi. Belum lama ini berbagai media santer memberitakan, ada sebanyak 22 buruh pabrik pengolahan aluminium di Tangerang mengalami nasib pilu dan terluka batin. Mereka bekerja keras belasan jam dalam sehari dan tanpa digaji. Tak jarang juga mereka disiksa seperti budak tanpa belas kasih. Mereka bukan lagi buruh namun sudah diperlakukan layaknya budak.

Kata buruh sendiri cukup menarik ditelaah. Kata buruh pada masa pemerintahan Soeharto menjadi momok karena dianggap ke-kiri-kirian. Tidak jarang para aktivis buruh langsung dicap kiri atau komunis serta dianggap subversif karena dianggap mengganggu stabilitas dan keamanan negara. Hal ini tidak terlepas dari keterlibatan kaum buruh dalam politik di masa kolonial dan orde lama. Oleh karena itu kata karyawan, pegawai atau pekerja dianggap lebih “aman” dan bergengsi dibanding buruh.

Dalam catatan sejarah banyak pula hal menarik yang berhubungan dengan kaum buruh. Pemogokan demi pemogokan yang dilakukan oleh kaum buruh pada tahun 1920-an membuat pemerintah kolonial Hindia Belanda terpaksa mengeluarkan undang-undang larangan mogok yang dikenal dengan artikel no.161 bis pada 10 Mei 1923. Namun, undang-undang tersebut tidak mampu menahan gejolak arus pemogokan yang melanda pabrik-pabrik dan onderneming-onderneming di Jawa sehingga dikeluarkanlah peraturan baru yaitu artikel no.153 bis dan 153 ter yang tertuang dalam besluit (keputusan) raja 1 Mei 1926.

Para founding father kita pun sebenarnya adalah aktivis buruh. Seperti Dr. Soetomo yang membentuk Serikat Kaum Boeroeh Indonesia (SKBI) pada 8 Juli 1928 di Surabaya. Sayang organisasi ini hanya bertahan selama setahun karena pada 1 April 1929 menggabungkan diri dengan “Liga Menentang Kolonialisme serta Penindasan” yang dianggap berbahaya oleh pemerintah kolonial sehingga SKBI dibubarkan. Atau kakak Ki Hajar Dewantoro, R.M. Suryopranoto aktivis Persatoean Pergerakan Kaoem Boeroeh (PPKB) yang dikenal dengan sebutan “Raja Mogok”. (Achmad Sunjayadi: 2007)

Demikian pula Sutan Sjahrir yang tahun 1934 menerbitkan pamflet Pergerakan Sekerdja. Buku kecil ini memuat ceramahnya di depan Persatoean Boeroeh Kereta Api Indonesia. Sjahrir menjelaskan tentang “nilai lebih”,”upah nominal-upah riil” yang berguna membangkitkan kembali gerakan buruh. Alasannya, menurut Sjahrir di dalam masa kemerdekaan kelak belum tentu kaum buruh juga merdeka.

Memang benar pernyataan Karl Marx bahwa sepanjang sejarah umat manusia hanya ada dua kelas, kaya dan miskin. Dua kelas itulah yang berkonflik sampai sekarang. Si kaya berupaya mempertahankan status kelasnya dan si miskin berupaya meningkatkan statusnya. Para buruh yang mayoritas miskin tentu berupaya bertahan hidup dan jika beruntung naik kelas menjadi golongan kaya. Caranya, tentu bukan dengan revolusi yang lebih condong anarki seperti anjuran Marx. Tapi lebih santun dengan saling menghargai satu sama lain.

Mau jadi majikan, karyawan, pekerja maupun buruh sejatinya hanyalah untuk mengisi kehidupan yang beragam. Sutan Syahrir mengatakan“Als iedereen wil baas worden, wie zal werken?” Jika semua orang ingin menjadi bos, lantas siapa yang akan kerja? Namun demikian, tidak sepantasnya buruh diperlakukan sebagai budak pesuruh!(ali_murtadlo22[at]yahoo.com)

*Aktivis Laskar Ambisius (LA) dan Gerakan IAIN Sunan Ampel Menulis (GISAM), IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.