Oleh: Azmi*
DI TENGAH situasi politik Aceh yang kurang begitu menguntungkan, pembahasan mengenai konversi hutan lindung di Aceh menjadi areal penggunaan lain (APL) terus mengemuka yang notebene juga merupakan salah satu qanun prioritas yang akan dibahas dan dirampungkan pada tahun 2012 oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.
Namun pembahasan demi pembahasan menemukan beberapa kendala yang juga terjadi pada pembahasan rancangan-rancangan qanun terdahulu, dalam kasus qanun RTRW Aceh penolakan terjadi dari sejumlah kalangan aktivis lingkungan dan lembaga swadaya masyarakat termasuk salah satu daerah yang masih merasa keberatan dengan rancangan RTRW ini yaitu pemerintah daerah Kabupaten Aceh Barat Daya, meskipun menurut pernyataan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, bahwa pihaknya akan segera menanda tangani Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh tersebut, karena pengesahannya sudah memasuki babak final.
Mengutip ulasan acehterkini.com, hutan lindung seluas 1,2 juta hektar di Aceh terancam musnah akibat rencana alih fungsi lahan dari hutan lindung menjadi hutan produksi, meskipun tudingan sejumlah aktivis lingkungan tersebut telah dibantah Kepala Dinas Kehutanan Aceh.
Menurut hemat saya keterancaman lingkungan di Aceh bukan lagi bersifat asumsi atau halusinasi karena memang sudah sangat nyata terjadi dan seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah Aceh dan pusat, hal itu bisa kita saksikan dari fenomena akhir-akhir ini yaitu terjadi banjir dan bencana longsor di Provinsi Aceh khususnya didaerah-daerah yang berada di kawasan rendah seperti Aceh Tamiang, Bireun, Abdya, Nagan Raya, Pidie, dan Aceh Tengah.
Khusus Aceh Tengah beberapa waktu yang lalu diinformasikan mengalami banjir sangat parah karena diterjang air bah di salah satu kecamatan yang bernama Celala yang sebelum-sebelumnya tidak pernah terjadi.
Kita harus menyadari bersama bahwa dampak dari kerusakan lingkungan itu jauh akan lebih parah dan besar pedihnya buat masyarakat, dibanding hasil yang didapat dari eksploitasi sumber daya alam secara serampangan oleh beberapa kalangan tertentu.
Senada dengan apa yang disinggung dalam diskusi mingguan yang diselenggarakan oleh Komunitas Pelajar Indonesia Yogyakarta (KUPY), yang bertempat di Asrama Mahasiswa Aceh Yogyakarta, pada tanggal 17 Mei 2013 mengenai “Agenda di balik konversi Hutan lindung Aceh menjadi APL”. Ada beberapa hal yang disoroti dalam diskusi tersebut yang mayoritas pesertanya berasal dari Mahasiswa Aceh yang sedang belajar di Jogjakarta mengenai perkembangan kasus RTRW Aceh saat ini, seperti yang dikemukakan oleh Nasrul Zaman (Kandidat Doktor di Universitas Negeri Sebelas Maret) Solo.
Beliau mendiskripsikan bahwa kerusakan alam di Aceh itu harus dilihat secara komprehensip struktural, karena kerusakan yang terjadi itu mayoritas disebabkan oleh pengambilan kebijakan pemerintah yang kurang tepat dan tidak efesien karena bertolak belakang dengan canangan-canangan program pemerintah daerah khususnya dibidang peningkatan ekonomi. Sebagai contoh program pemerintah untuk menigkatkan hasil tanam padi di Kabupaten Pidie yang menurut data sebelumnya menyuplai 20% kebutuhan beras Aceh, namun diwaktu yang sama pemerintah ingin mengurangi sumber mata air dengan cara konversi hutan lindung Aceh.
Selain hal tersebut, beliau menambahkan perlunya melihat fenomena adanya hasrat politik elit yang sarat kepentingan menguasai dan mendominasi sumber daya alam Aceh untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Selain itu perancangan RTRW juga dinilai melanggar berbagai procedural perundangan yang berlaku, karena tidak transparan, hal ini bisa disaksikan dari bagaimana pembuatan rancangan RTRW tersebut dilakukan tanpa RDPU untuk menyerap, mengakomodir dan melibatkan komponen aspirasi masyarakat sipil.
Dari perdebatan panjang dalam diskusi diatas disepakatilah beberapa rekomendasi penting yang ditujukan kepada pemerintah Aceh khususnya dan pusat umumnya oleh Mahasiswa Aceh Jogjakarta peserta diskusi dengan harapan agar alam di Aceh tidak teracam semakin rusak dan luas hutan tidak terus menerus semakin berkurang.
Hasil diskusi tersebut meliputi:
– Redesain kembali rancangan ide konversi hutan lindung menjadi APL demi kelangsungan hidup generasi saat ini dan masa yang akan datang.
– Bagi pemerintah daerah jangan mengurus alam secara serampangan dan tanpa kajian ilmiah yang jelas dan komprehensip, yang bisa di pertanggung jawabkan secara akademis.
– Mengharapkan pemerintah Aceh dan pusat lebih detail dan serius memperhatikan fungsi kawasan hutan lindung di Aceh yang saat ini sudah banyak disalahgunakan terutama di Kawasan Ekosistem Louser.
– Tindak tegas para pelaku perusak alam di Aceh.
– Tumbuhkan kreativitas dan inovasi serta kapasitas diplomasi politik ekologi, agar alam Aceh tetap lestari terjaga disamping kesejahteraan masyarakat terus ditingkatkan.
Hutan kita akan bertambah hancur jika manajemen politik dan kebijakannya terus-terusan seperti ini, seharusnya yang dilakukan pemerintah Aceh adalah Intensifikasi lahan pertanian bukan ekstensifikasi lahan dengan meningkatkan semangat meninggalkan alam yang baik pada generasi mendatang.(azmie_gayoe[at]yahoo.com)
* Mahasiswa Jurusan Studi Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) asal Gayo.